Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Melawan Stigma: Mungkinkah Indonesia Menerapkan Pembelajaran Differensiasi?

1 Januari 2024   17:41 Diperbarui: 3 Januari 2024   13:28 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diambil oleh penulis

Pendidikan Melawan Stigma; Mungkinkah Indonesia Menerapkan Pembelajaran Differensiasi?

Jauh sebelum Indonesia menerapkan Kurikulum Merdeka, Ki Hajar Dewantara telah mengemukakan opini paling mutakhir tentang dunia pendidikan, yaitu guru maupun dunia pendidikan harus bisa mengembalikan peserta didik kepada kodratnya. Dengan tercapainya kodrat tersebut Ki Hajar Dewantara percaya bahwa manusia pada akhirnya akan menemukan kebahagiaan dan kebebasannya. (Penerapan Model Pembelajaran Differensiasi karya Bayuni dkk, pendahuluan)

Tujuan ini tentunya nampak indah, terlebih kita sama-sama mengetahui bahwasanya manusia tidak akan mungkin dan tidak akan pernah serupa, kita tidak bisa menafikkan fakta bahwa beberapa orang memiliki kemampuan berpikir lebih hebat dibandingkan dengan yang lainnya, beberapa orang lainnya begitu pandai dalam merasakan dan memiliki empati yang tinggi, dan beberapa lainnya memiliki kemampuan yang lebih unggul dalam bidang psikomotorik dibandingkan yang lain.

Perbedaan lahiriah maupun batiniah manusia ketika mereka dilahirkan yang ikut andil dalam tahap perkembangan merupakan anugerah langsung dari Tuhan, akan tetapi tidak serta merta anugerah tersebut bisa dipertahankan sebab dunia pendidikan yang idealis pada kenyataannya akan melawan dunia nyata yang realistis. Kita bisa mengatakan bahwasanya peserta didik di sekolah merupakan anak yang berbakat menggambar dan memiliki kemampuan pewarnaan yang indah, namun jika ia tidak mendapatkan nilai yang bagus di sekolah, sama saja akan menjadi kenyataan pahit bahwa bakat anak tersebut akan 'dibunuh' dirumah.

Di Indonesia, adalah hal yang lumrah jika kita melihat orangtua memarahi anaknya disebabkan kegagalan anak tersebut mencapai apa yang telah ditetapkan sekolah, nilai ini harus tembus KKM, harus mendapatkan ranking 1, harus menang lomba ini dan menang lomba itu. Maka sekiranya kita sama-sama memahami bahwasanya sekolah bagi beberapa oknum orang terkadang bukan sebagai tempat dan niat untuk mendidik anaknya, melainkan sebagai tempat perjudian ego orangtua agar anak mereka bisa dibandingkan dengan anak orang lain, sebagai tempat saling mengunggulkan dan adu gengsi.

Dalam beberapa kasus, anak-anak yang terlahir bahkan sudah tidak lagi dilihat sebagai manusia yang berkembang, melainkan sebagai investasi jangka panjang baik itu untuk materi duniawi maupun akhirat. Hal yang pada akhirnya menciptakan anak-anak kita tidak merasakan kebahagiaan baik di rumah ataupun di sekolah, sebab manusia mungil itu merasa terbelenggu, yang pada akhirnya ketika dalam proses menjadi dewasa, mereka melakukan perlawanan balik dengan melakukan tindakan kriminal dan hal-hal yang normal kita sebut sebagai kenakalan remaja.

Peserta didik bahkan terkadang tidak menemukan kebahagiaan mereka di sekolah dan lebih memilih untuk pulang dan bermain gadget, hal tersebut dapat ditandai dengan kenyataan pahit ketika guru melemparkan pertanyaan didalam kelas pada akhir pembelajaran sebagai ajang refleksi, maka peserta didik tidak bertanya tentang materi pembelajaran, melainkan pertanyaan 'Bu, kapan kita pulang?'. Hal tersebut bisa menjadi bukti kuat bahwasanya pembelajaran didalam kelas (ataupun kegiatan di sekolah) masih membosankan untuk mereka. 

Saya pribadi cenderung takut kalau anak sekolah seumuran mereka telah melakukan tindakan-tindakan yang kita sebut sebagai formalitas, sebab tidak sedikut oknum guru yang juga melakukan kegiatan ajar-mengajar sebagai suatu kewajiban belaka agar tidak dipotong gaji, hal semacam itu dapat dilihat bila kita melihat oknum guru yang selalu kabur duluan sebelum jam pulang peserta didiknya.

Hal diatas tentu merupakan beberapa hambatan yang akan ditemui guru ketika melakukan pembelajaran differensiasi, sebab guru akan mendapatkan dorongan yang bersifat eksternal, melainkan juga internal. Guru akan berhadapan dengan kapabilitas dan kompetensi diri, baik itu rasa malas dan usaha ekstra untuk memahami peserta didik sesuai dengan kodratnya.

Dalam implementasinya, pertanyaan terbesar kita terhadap pembelajaran differensiasi adalah satu; apakah guru-guru di lembaga pendidikan telah mampu melihat peserta didik sebagaimana manusia? Atau tidak jauh beda dengan orangtua mereka dirumah?

Sebab pada akhirnya musuh utama pembelajaran differensiasi adalah dua, satu, stigma masyarakat yang telah mengakar jauh didalam pikiran tentang kesuksesan harus ini dan anak berbakat harus itu. Kemudian dua, guru mesti mampu melihat kecendrungan anak kearah mana. Hal tersebut tidak akan mungkin bisa dilakukan guru yang mengajar hanya sebagai kewajiban, atau bahkan mereka yang menjadi guru karena calo dan ada bantuan orang dalam. Bahkan untuk guru yang telah memiliki pengalaman mengajar yang lama, belum tentu juga bisa melihat peserta didik sebagaimana 'kodratnya'.

Howard Gaardner memang telah menemukan konsep multiple intelegent puluhan tahun yang lalu, yang membagi manusia menjadi 9 tipe kecerdasan, akan tetapi pertanyaan kita pada akhirnya kembali kepada pertanyaan inti; apakah guru telah sanggup dan memahami 9 kecerdasan tersebut? dan apakah mereka telah mampu membawa peserta didik kearah ranah tersebut?

Jika jawaban masih tidak, bagaimana kita berani bermimpi bahwasanya anak-anak dapat dibimbing kembali ke kodratnya sembari melepas stigma yang masih ada dalam masyarakat? Namun jika jawabannya iya, maka pertanyaannya, berapa persentase guru istimewa tersebut yang kita punya?

Memang dunia pendidikan masih bisa menciptakan asesmen untuk menentukan kecerdasan peserta didik kearah 9 tipikal kecerdasan yang dilakukan secara objektif, namun peserta didik adalah peserta didik, mereka adalah manusia yang bisa berubah-rubah dan berkembang sehingga asesmen objektif bisa jadi salah. Untuk mengurangi persentase yang salah tersebut, sekolah bisa melakukan asesmen 2-4 kali dalam satu tahun dengan cara yang objektif pula. Akan tetapi bagaimanapun, dalam hal pembelajaran differensiasi, dunia pendidikan baik itu kurikulum dan sistem pendidikan harus melepas segala kepercayaan mereka terhadap guru, sebab hanya guru yang bersentuhan langsung dengan peserta didik, bukan pemerintah yang membuat kurikulum.

Dengan adanya pembelajaran differensiasi, dunia pendidikan kedepannya akan baku hantam melawan stigma dan bahkan bisa jadi melawan doktrin negatif agama yang mengatakan anak adalah investasi akhirat. Hal tersebut jelas merupakan tantangan yang harus dilewati, namun jika sekolah bisa menciptakan budaya sekolah yang baik dan supportif serta didukung dengan Guru-Guru yang kompeten pula dan mampu memandang peserta didik sebagai manusia, maka pembelajaran differensiasi masih bisa ditanamkan. Namun tentu saja itu bisa dengan mulus dilakukan jika pemerintah kita yang aduhai tidak mengganti kurikulum lagi, yang berpotensi membuat SDM guru di sekolah menjadi tertekan dan malah meningkatkan stress guru karena harus mempelajari konsep pendidikan yang beda lagi.

Sudah cukup guru stress akibat orangtua peserta didik yang nyangnyengyong sampai berbusa, sudah cukup guru stress akibat birokrasi dan administrasi yang harus dipenuhi sebagai data, dan sudah cukup guru stress akibat memikirkan masak makanan apa di esok hari, sebab dalam urusan gaji, uang mereka sudah puas dikebiri.

Pemerintah memang bisa menaikkan gaji guru, tapi untuk urusan ini, mereka mana mau?

Senin, 1-1-24

Opini ini berasaskan buku referensi Penerapan Model Pembelajaran Differensiasi karya Bayuni dkk. dan pandangan penulis terhadap dunia pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun