Howard Gaardner memang telah menemukan konsep multiple intelegent puluhan tahun yang lalu, yang membagi manusia menjadi 9 tipe kecerdasan, akan tetapi pertanyaan kita pada akhirnya kembali kepada pertanyaan inti; apakah guru telah sanggup dan memahami 9 kecerdasan tersebut? dan apakah mereka telah mampu membawa peserta didik kearah ranah tersebut?
Jika jawaban masih tidak, bagaimana kita berani bermimpi bahwasanya anak-anak dapat dibimbing kembali ke kodratnya sembari melepas stigma yang masih ada dalam masyarakat? Namun jika jawabannya iya, maka pertanyaannya, berapa persentase guru istimewa tersebut yang kita punya?
Memang dunia pendidikan masih bisa menciptakan asesmen untuk menentukan kecerdasan peserta didik kearah 9 tipikal kecerdasan yang dilakukan secara objektif, namun peserta didik adalah peserta didik, mereka adalah manusia yang bisa berubah-rubah dan berkembang sehingga asesmen objektif bisa jadi salah. Untuk mengurangi persentase yang salah tersebut, sekolah bisa melakukan asesmen 2-4 kali dalam satu tahun dengan cara yang objektif pula. Akan tetapi bagaimanapun, dalam hal pembelajaran differensiasi, dunia pendidikan baik itu kurikulum dan sistem pendidikan harus melepas segala kepercayaan mereka terhadap guru, sebab hanya guru yang bersentuhan langsung dengan peserta didik, bukan pemerintah yang membuat kurikulum.
Dengan adanya pembelajaran differensiasi, dunia pendidikan kedepannya akan baku hantam melawan stigma dan bahkan bisa jadi melawan doktrin negatif agama yang mengatakan anak adalah investasi akhirat. Hal tersebut jelas merupakan tantangan yang harus dilewati, namun jika sekolah bisa menciptakan budaya sekolah yang baik dan supportif serta didukung dengan Guru-Guru yang kompeten pula dan mampu memandang peserta didik sebagai manusia, maka pembelajaran differensiasi masih bisa ditanamkan. Namun tentu saja itu bisa dengan mulus dilakukan jika pemerintah kita yang aduhai tidak mengganti kurikulum lagi, yang berpotensi membuat SDM guru di sekolah menjadi tertekan dan malah meningkatkan stress guru karena harus mempelajari konsep pendidikan yang beda lagi.
Sudah cukup guru stress akibat orangtua peserta didik yang nyangnyengyong sampai berbusa, sudah cukup guru stress akibat birokrasi dan administrasi yang harus dipenuhi sebagai data, dan sudah cukup guru stress akibat memikirkan masak makanan apa di esok hari, sebab dalam urusan gaji, uang mereka sudah puas dikebiri.
Pemerintah memang bisa menaikkan gaji guru, tapi untuk urusan ini, mereka mana mau?
Senin, 1-1-24
Opini ini berasaskan buku referensi Penerapan Model Pembelajaran Differensiasi karya Bayuni dkk. dan pandangan penulis terhadap dunia pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H