Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Menulis Komedi Sulit untuk Dilakukan?

24 Desember 2023   12:33 Diperbarui: 27 Desember 2023   02:45 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Stand up comedy adalah pertunjukkan komedi yang ternyata sudah dimulai sejak tahun 1800-an. (Sumber: Freepik/master1305 via kompas.com) 

Jika kita melihat penulis komedi di Indonesia, saya rasa hanya sedikit yang bisa menyamai kemampuan menulis Raditya Dika dan Ferdiriva Hamzah, penulis tersebut terkenal dengan kemampuan mereka dalam menciptakan gelak tawa bagi mereka yang membaca bukunya.

Raditya Dika? Sudah jelas. Ia memiliki kemampuan storytelling yang bukan kaleng-kaleng, memiliki punch-line yang tidak terduga, dan pemilihan diksi yang mengundang tawa. Jika anda belum mengetahui punchline itu apa, hal itu adalah istilah dalam dunia komika yang mengacu kepada 'humor' yang tidak terduga.

Untuk memperjelasnya, saya akan mengutip salah satu kisah sarkas dari buku Mati Tertawa Ala Russia yang disunting oleh Z. Dolgolopa.

Pada saat pemimpin dunia meninggal, mereka berada di surga dengan bahagia, namun kemudian beberapa pemimpin itu merasa khawatir akan rakyatnya yang masih ada di dunia yang mereka rasa masih sengsara, akhirnya mereka pun menghadap kepada Tuhan.

Kennedy pun bertanya kepada Tuhan "Tuhan, berapa lama lagikah baru rakyatku berbahagia?"
"Lima puluh tahun lagi," kata Tuhan.
Kennedy menangis, dan berlalu.
De Gaulle menghadap Tuhan dan memohon, "Tuhan, berapa lama lagikah baru rakyatku berbahagia?"
"Seratus tahun lagi," jawab Tuhan.
De Gaulle menangis, dan berlalu.
Krushchev menghadap Tuhan dan memohon, "Tuhan, berapa lagikah baru rakyatku berbahagia?"
Tuhan menangis, dan berlalu.

(Mengutip dari Mati Ketawa Cara Russia karya Z. Dolgolopa, hal 2)

Kita dapat melihat bahwa dalam cerita tersebut 'punch-line' nya terletak pada akhir cerita, suatu hal yang tidak terduga dan mindblowing sebab berbeda dengan sebelumnya yang para pemimpin menangis dan berlalu, kini Tuhan tersebut yang menangis dan berlalu. Hal tersebut secara sarkas mengatakan; rakyat Kruschev mustahil untuk bahagia.

Kumpulan pendek seperti itu mungkin masih mudah untuk dilakukan, namun jika pada akhirnya kita harus menulis novel komedi dan mengumpulkannya menjadi satu buku, itu cukup riskan. 

Pasalnya kita harus menaruh punchline sebanyak plot cerita, dan itu harus proporsional, terlalu banyak punchline akan membuat  pembaca 'jengah' karena tertawa, namun tidak ada punchline akan membuat pembaca merasa membeli buku komedi yang salah.

Pembangunan narasi, dialog, deskripsi, sangat menentukan arah komedi yang akan dilontarkan. Melontarkan pemikiran pembaca yang menebak akan seperti namun ternyata seperti itu, susah. 

Menulis cerita misteri atau detektif, kita bisa menggiring mereka menggunakan metode Red Herring dan plotwist. Menulis cerita komedi? Sama saja melepaskan banyak ikan Red Herring dan berharap pembaca terpancing pada semua jebakan tersebut.

Berkaca dari buku-buku komedi yang pernah saya baca, kegagalan menulis cerita komedi terjadi akibat penulis masih belum mampu membentuk suasana 'humor' dalam cerita, dan bahkan ketika suasana humor tersebut bisa tercipta, beberapa penulis gagal dalam mengeksekusi suasana humor tersebut sehingga tidak jadi mengundang gelak tawa.

Alasan lainnya adalah, suatu tulisan komedi tidak jauh berbeda seperti kita melakukan stand-up komedi. Bedanya stand-up komedi bisa kita demonstrasikan dengan gimmick dan perilaku yang lucu.

Sementara tulisan hanya berasaskan kemampuan penulis melakukan narasi dan sebisa mungkin menciptakan pembaca memvisualisasikannya. 

Jika kedua hal ini maupun salah satunya gagal ketika diimplementasikan, maka pasti komedi tersebut tidak menjadi lucu. Itulah mengapa, timbal balik antara pembaca dan penulis harus bisa terjalin agar narasi yang disampaikan wadidaw dan tepat.

Faktor lain juga? Relevansi cerita. Joke bapak-bapak yang bagi sebagian orang 'cringe' akan tetap mudah mengundang gelak tawa bagi bapak-bapak, namun belum tentu hal itu bisa masuk ke telinga anak muda dan akan menanggapi joke tersebut dengan alis yang meninggi sebelah; Maksud lo apa?

Dalam kasus ini, kita bisa berkaca kepada Raditya Dika saat melakukan Stand-Up Komedi. Mengapa beliau sukses menyampaikan komedi walaupun sudah berumur tua? 

Sebab yang dibawa adalah permasalahan percintaan remaja yang akan selamanya relevan dengan para remaja, bahkan orang dewasa pun akan tetap relevan sebab mereka masih bisa mengenang masa-masa percintaan remaja mereka.

Dan itulah letak masalahnya, komedi yang kita tulis tidak akan selamanya sempurna sebab susah untuk menciptakan relevansi yang bisa diterima semua orang, akan tetapi kendati itu susah, bukan berarti itu mustahil.

Saya kemudian menyadari bahwasanya komedi menjadi relevan jikalau ada masalah yang bisa dirubah menjadi gelak tawa. Dan masalah tersebut, haruslah umum dan dapat diterima semua orang. 

Permasalahan dirumah seperti nyokap lebih galak seperti kuntilanak, polisi gendut yang ngupil disamping jalan, temen dekat kamu yang kocaknya minta ampun, atau diri anda sendiri serta kemalangan....masih bisa jadi korban.

Dalam hal ini, saya mengutip dari sebuah novel komedi Dibawah Bendera Sarung yang menjadikan permasalahan salah satu penyanyi wanita yang salah mengucapkan judul lagu.

"Baik, pada malam kali ini saya akan membawakan sebuah lagu dengan judul, Mujanat Cinta"

Penyebutan lagu tersebut mengundang gelak tawa kami sebagai penonton, sebab judul asli lagu tersebut adalah Munajat Cinta. Permasalahannya adalah, tidak ada satupun yang tahu kalau Mujanat adalah istilah untuk seorang perempuan yang dibalut kain kafan...

(Mengutip Novel Dibawah Bendera Sarung karya Nailal Fahmi, hal...sejujurnya saya lupa halaman berapa, soalnya novel tersebut saya baca bertahun-tahun yang lalu, dan tetap worth it untuk dibaca, apalagi untuk anak pesantren)

Pada akhirnya, menulis novel maupun cerita komedi merupakan tantangan tersendiri, sama halnya dengan kita ngelawak di tongkrongan, kadang hahahah kadang...hah? 

Dan terkadang ditonjok temen sendiri karena cringe, bahkan dihapus dari KK oleh keluarga karena gagal membawakan komedi saat kumpul acara besar.

Dan lagipula, tidak ada paksaan untuk tertawa, tugas penulis adalah menciptakan alasan mengapa hal itu lucu bagi pembaca, dan jika tidak lucu bagi pembaca, tidak masalah. 

Kita hanya boleh terpaksa tertawa jika dosen memberikan komedi, atau atasan kita dikantor memberikan joke. Tertawalah, konon kalau anda tertawa, anda bisa naik pangkat.

Atau perlu saya menulis panduan tertawa di depan bos agar anda naik pangkat?

24 Desember 2023, FYI, saya juga mencoba menulis komedi di blog Kura-Kura Pejalan saya, hehe. Karena saya sedang belajar, sangat berharap menerima koreksi.

Dibuat penulis (ayolah Kompasiana, apa saya harus terus mengisi kolom ini agar gambarnya tetap terbit?)
Dibuat penulis (ayolah Kompasiana, apa saya harus terus mengisi kolom ini agar gambarnya tetap terbit?)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun