Kepada Abah Taufiq Ismail
Kubaca puisimu sejak lama, bah
Namun nyatanya belum banyak yang berubah
Bertahun-tahun kau tulis puisi, menegakkan kebenaran
Pada akhirnya, akankah ia didengarkan?
Pada malam-malam sunyi kau dendangkan doa
Kau suarakan mereka yang tertindas, kau lemparkan segunung fakta
Namun adakah mereka menerima?
Ucapmu, negara kita kolusi dan nepotisme nomor satu
Ah, duhai engkau benar, dan puisimu selamanya benar
Namun abah, kemanusiaan telah lama mati
Ia dikubur sebelum negara ini berdikari
Dan kini di zaman politisasi
Baliho-baliho calon penguasa timbul seperti jamur
Dibawahnya para pengemis berteduh
Kemudian berkata 'duhai, seandainya biaya baliho ini untukku, takkan mungkin aku kelaparan'
Dibawah baliho itu kami memandang Indonesia sembari bertanya; akankah penguasa ini membawa sejahtera?
Abahku, Taufiq Ismail
Kau tulis puisi tentang betapa malunya engkau menjadi orang Indonesia
Kau rangkai kata penjabaran tentang boroknya negara kita
Tentang tipu menipu yang nomor satu
Tentang akhlak kita yang roboh
Tentang hukum kita yang tidak tegak berdiri
Tentang kita yang curiga kepada tetangga
Sebab aku dan dirimu sama, sesak dengan tipu daya
Ke media sosial ku cari berita, dengan bandar slot kepergok aku
Ke depan rumah aku berjalan, dengan penjudi diajak aku
Ke kampus aku menuntut ilmu, dengan pungli ditikam aku
Kini pun aku malu seperti dirimu
Ah duhai abah, betapa kini kami semakin sesak dengan tipu menipu
Dan engkau benar, tipu menipu kita memang masih menjadi nomor satu
Selamat ulang tahun sastrawan terkemuka tanah air yang aku banggakan, namamu akan membumbung tinggi dalam sastra. Dan engkau akan abadi selamanya didalam puisi. Salamku kepadamu abah Taufiq Ismail, kami mencintaimu selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H