Semoga Gempa Itu Segera Berlalu
Sedih saya mendengar berita duka dan bagaimana foto-foto korban gempa di Cianjur bertebaran di media sosial, apalagi beberapa foto-foto tersebut dapat menimbulkan trauma bagi yang melihatnya. Dalam hal ini saya hanya berharap semoga foto-foto tersebut tidak sampai ke tangan keluarga sebab takutnya kendati badai telah berlalu, namun kenangan dan trauma akan tetap abadi.
Gempa selalu mengingatkan saya pada tahun 2018 yang kacau dengan reruntuhan bangunan yang bisa kita temukan pada jalan-jalan dan retakan-retakan yang bisa kita saksikan membekas pada dinding-dinding rumah. Namun tentu saja bukan hanya rumah dan segelintir benda-benda berharga yang menjadi kenangan, namun juga orang yang pernah tinggal didalamnya.
Sekitar 200 orang meninggal kala itu baik yang tertimbun material alami maupun buatan, bahkan ada juga yang tidak ditemukan kendati excavator terus bekerja mengeruk puing-puing yang tidak ada habisnya.
Kami semua hidup dalam ketakutan dan dibayangi kematian yang tidak pernah kami ketahui darimana datangnya, seolah semua bangunan yang menjulang tinggi memiliki mata dan siap menimpa kami kapanpun yang ia mau.
Kami semua hidup didalam ketakutan tanpa pernah benar-benar yakin apakah esok hari kami masih bisa melihat matahari atau tidak. Kami memeluk Al-Qur'an dan membacanya, berharap secuil keimanan yang kami miliki dapat mengusir musibah itu sesegera mungkin. Dan tenda-tenda yang kami dirikan adalah harapan, sebab rumah yang selama ini kami tinggali entah mengapa menjadi kutukan.
Namun selain kemelaratan yang kami rasakan, hal yang lebih parah adalah masyarakat KLU (Kabupaten Lombok Utara) yang tersiksa karena air disana tidak dapat dikonsumsi karena berbahaya, dan hampir semua sumur tidak bisa digunakan selayaknya. Terlebih kondisi geografis Lombok Utara yang berada pada dataran tinggi membuat masalah seperti angin keras serta hujan yang menyebabkan bala bantuan tidak bisa bergerak leluasa sebab mendapat ancaman tanah longsor yang dapat membunuh satu batalion dengan sekali sergap.
Aku hanya bisa membaca tentang mereka melalui berita dan layar TV, juga dari cerita-cerita keluargaku yang memiliki relasi tentang kejadian yang terjadi. Cerita yang paling aku sedihkan dari keluargaku adalah sebab disana tidak ada makanan dan minuman yang bisa menunjang kebutuhan primer mereka, masyarakat disana menjelma egois dan mementingkan diri sendiri; entah mencuri, membegal bala bantuan, dan banyak lagi yang lainnya tanpa pernah bisa aku ketahui apakah cerita itu benar atau tidaknya.
Masyarakat Lombok hidup dalam penantian panjang dengan harapan semua akan berlalu secepat mungkin, dengan ancaman tsunami yang dapat meluluhlantahkan kami, dengan ancaman bangunan-bangunan yang kami bangun sendiri, dengan ancaman-ancaman sosial yang timbul dari kemiskinan. Kami semua hanya bisa memeluk diri kami sendiri, menghibur dengan apa yang kami miliki, dan percaya dengan secuil iman yang kami miliki.
Aku mempercayai bahwa badai pasti akan berlalu, hanya saja bagi mereka yang didalam badai dan mendapatkan tekanan setiap saat pasti akan merasa bahwa badai itu seolah amerta selamanya.
Maka dari itu saya berharap bahwasanya kita sebagai masyarakat Indonesia juga sebagai Kompasianer, mesti membuat gerakan-gerakan yang dapat meringankan mereka baik secara logistik maupun mental. Sebab seperti sebelumnya, gempa yang terjadi akan memberikan PR yang harus kita pikirkan bersama.
Untuk saat ini saya juga berharap Kompasiana segera melakukan gerakan melalui komunitasnya, baik itu untuk mengumpulkan logistik yang berupa uang, pakaian, dan kebutuhan pokok lainnya yang segera bisa kita sumbangkan kepada mereka. Atau jika memang terlalu berat, cukup membuatnya menjadi topik pilihan agar Kompasianer secepatnya menyatu untuk membuat gagasan.
Selanjutnya kita mesti bergerak untuk segera menyelesaikan Pekerjaan Rumah kita bersama, yang diantaranya adalah:
- Bagaimana kita sebagai Kompasianer memberikan bantuan tenaga, logistik, maupun gagasan solusi kepada pemerintah maupun masyarakat yang terkena gempa?
- Bagaimana kita membuat anak-anak tidak lagi trauma kepada gempa sehingga mereka berani untuk berada di bangku sekolah lagi?
- Dorongan mental apa yang bisa kita berikan kepada keluarga korban yang sedang kehilangan sanak keluarga dan materi mereka?
- Untuk informasi dan keselamatan mereka terkait gempa, informasi penting seperti apa yang bisa kita berikan?
- Untuk kedepannya dan tidak terjadi kesalahan yang sama, bagaimana Kompasianer bisa memberikan gagasan rumah yang tahan gempa?
Aku tidak akan pernah tahu bahwa apa yang aku sampaikan akan bisa menggerakkan hati nurani orang lain atau tidak, namun hal yang aku ketahui adalah saat musibah menerpa, semua menjadi abu-abu yang buram dan temaram, kita hidup dalam situasi yang tidak akan pernah kita ketahui arahanya akan kemana hingga kita akan menyadari bahwa pada saat itu, kita hanya punya bersama.
Kita hanya punya bersama...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H