Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah Bau Badan dan Akhlak yang Terlupakan

20 November 2022   20:00 Diperbarui: 20 November 2022   20:50 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah Bau Badan dan Akhlak Yang Terlupakan

Hampir tidak ada yang menyukai bau badan, dan hampir tidak ada yang mau berdekatan dengan orang semacam itu. Sebab bagaimanapun kita sama-sama paham bahwasanya bau tubuh merupakan salah satu hal yang dapat menggangu aktifitas sosial, dan tentu saja dapat menggangu hubungan antar pertemanan.

Permasalahannya adalah tidak semua orang benar-benar paham mengapa mereka mengalami bau badan; beberapa teman saya bahkan berasal dari kalangan miskin dan perantauan, tidak hanya untuk mandi, makan pun susah, sehingga dalam hal ini, mandi dan membeli kebutuhan yang dapat meningkatkan aroma tubuh menjadi kebutuhan sekunder.

Terkadang saya menghirup aroma asing bila berada didekatnya, aroma entah berantah yang berasal dari suatu tempat di muka bumi ini dan tidak mau ditinggali. Akan tetapi sebagai seorang teman, saya bisa bertahan disampingnya karena saya sedikit memahaminya. Dan selain itu, aroma kami tidak jauh berbeda.

Memang menyedihkan bagaimana orang-orang seperti mereka terkadang terdiskriminasi dari sosial karena ketidakmampuan---atau ketidaksadaran--mereka untuk berada selevel dengan orang-orang yang lebih tinggi dari mereka. Mereka minder dan tidak tahu harus bagaimana, mengutip sebuah puisi; mereka merasa seperti binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang.

Pada kehidupan zaman sekarang entah itu orangtua atau kita sendiri,  kerap menuntut orang lain untuk berubah namun jarang melihat latar belakang mereka dan bagaimana kondisi mereka, dan yang lebih parah adalah kita menutup mata dan tidak peduli.

Saya tidak mempermasalahkan instansi di Aceh tersebut, sebab bagaimanapun lembaga pendidikan merupakan wadah untuk para peserta didik sebelum terjun ke dunia sosial yang nyata, terlebih sebagai mahasiswa sudah saatnya untuk memahami kodrat mereka sebagai agen perubahan di lingkungan sosial. Dan bau badan, tentu dapat membuat suatu gerakan perubahan memiliki hambatan.

Namun pertanyaannya sederhana; bagaimana instansi tersebut menegur atau memberitahu mahasiswa tersebut agar tidak bau badan? Sebab bayangkan saja seorang dosen menegur mahasiswa tersebut didalam kelas, didepan teman-teman lainnya, membunuh mentalitas dari anak tersebut. Bukankah itu kejam dan tidak manusiawi?

Memang maksud dosen itu baik dan mengatakan hal yang baik, namun melakukan tindakan tersebut tentu seolah melempar keras sebuah berlian kepada orang lain dan membuatnya terluka. alih-alih menyadari itu berlian, ia tentu akan menganggap bahwa itu hanyalah batu yang tidak berguna. Terlebih bagi sebagian orang---khususnya laki-laki--harga diri lebih tinggi daripada apapun, dan ketika harga diri mereka terinjak, maka kita akan menjadi musuh mereka selamanya.

Didalam Islam sendiri, menegur orang bau itu ada seninya. Kita tidak diperbolehkan menegur orang didepan umum sebab dapat menjatuhkan mental mereka, kita tidak diperbolehkan berkata kasar dan mengumpat mereka, langsung menjudge mereka bau sebab Islam mengajarkan lemah lembut dalam menegur, kita tidak diperbolehkan membicarakannya dibelakang sebab termasuk ghibah dan bisa merusak sillaturahim dengannya, dan kita tidak diperkenankan untuk mudah berputus asa serta terus bersabar dalam menegur, sebab manusia pada hakikatnya pelupa. Dan maka dari itu, tegurlah dengan cara yang baik dan tepat.

Sebenarnya saya mempercayai bahwa beberapa orang memang bukannya tidak ingin tampil rapi, harum dan wangi didepan publik, namun terkadang beberapa diantara mereka tidak tahu dan tidak bisa melakukannya. Lagipula kita tidak pernah tahu apakah mahasiswa itu bekerja sendiri atau tidak, anak perantauan atau tidak, dan bagaimana jika ia merupakan seorang miskin yang membantu orangtuanya bekerja? Tegakah kita?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, jikalau anda tidak makan selama tiga hari dan menemukan sejumlah uang di kantong anda, maka tentu anda akan membeli makanan terlebih dahulu karena anda membutuhkannya, mengesampingkan apakah anda pernah mandi atau tidak selama lima hari. Apalagi kalau air di kontrakannya belum dibayar dan ia memiliki ketakutan untuk meminta bantuan orang lain, bisa berabe masalahnya.

Dan maka dari itu, daripada terus menerus menuntut mereka untuk berubah, mestinya kita bertanya pada diri kita sendiri: apa peran kita agar dia bisa berubah? Atau bagaimana cara terbaik untuk membuat orang tersebut berubah?

Menjawab pertanyaan ini tentu bisa membantu hubungan sosial anda lebih baik, daripada langsung menjudge bahwa mereka adalah anjing jalanan dari kumpulannya yang terbuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun