Salah satu puisinya, yang merupakan Rubaiyat ke-7 mengatakan:
Aduh, sungguh waktu telah berlalu
Sementara kami para pecinta
Berada di samudera yang pantainya tidak kelihatan
Hanya ada perahu, malam, dan mendung
Kami berlayar pada samudera kebenaran
Dengan karunia dan petunjuknya
Dalam tafsiran saya, Rubaiyat ketujuh ini sedang menyampaikan bagaimana Jalaludin Rumi dan pecinta-Nya melewati hari-hari tanpa kepastian yang akan berakhir dimana. Sebab mereka sedang berada pada samudera kehidupan dan sedang menunggu kapan kehidupan itu akan berakhir.
Kemudian bait selanjutnya yang adalah tiga bait terakhir sedang mengutarakan bagaimana kehidupan itu sendiri. sebagai seorang sufi, perahu yang dimaksud diibaratkan dirinya yang hanya membawa diri, sementara malam mengindikasikan bagaimana hari-hari berlalu, atau juga mengindikasikan bagaimana para sufi terjaga setiap malam untuk beribadah, sementara mendung mengindikasikan bagaimana kehidupan yang memiliki ritme kesedihan.
Para pecinta tersebut berlayar pada samudera kebenaran, yang dimaksud kebenaran disini tentu tiada lain tiada bukan adalah Islam itu sendiri.
Dan bait terakhir, dengan karunia dan petunjuknya kemungkinan merujuk kepada Al-Quran, atau merujuk kepada dunia dan Al-Quran. Sebab dunia itu sendiri merupakan suatu karunia sementara petunjuk kehidupan sudah jelas adalah Al-Quran dan Sunnah.
Dalam Rubaiyat ke 27, Jalaludin Rumi melantunkan syair berikut:
Aku setitik debu
Dan perjumpaan denganmu adalah matahari
Aku sakit dirundung gundah
Dan kau adalah sumber obatku
Aku terbang dibelakangmu
Tanpa sayap, tanpa bulu
Sungguh aku adalah jerami,
Dan kau lampu bagiku
Dalam hal ini kita dapat mengetahui bagaimana Jalaludin Rumi yang seolah merepresentasikan dirinya seperti setitik debu yang tidak berguna. Benar, sebuah debu yang diterbangkan oleh angin, sebuah debu yang tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan matahari yang nyatanya jauh berkali-kali lipat daripada Bumi.
Rumi merasa bahwa ia bahkan buka siapa-siapa dihadapan Yang Maha Besar, akan tetapi pada bait selanjutnya Jalaludin Rumi mengatakan bahwa kendati dirinya sakit dan gelisah, Tuhan yang Maha Suci adalah sumber obatnya.