Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Ingin Hidup, Namun Aku Tidak Ingin Hidup Seperti Ini

21 April 2022   00:07 Diperbarui: 21 April 2022   00:12 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Hidupku: Aku ingin hidup, namun aku tidak ingin hidup seperti ini.

Lagi-lagi mimpiku sedang dalam masa pertaruhan, dan ini bukan yang pertama kalinya aku mengalami hal serupa, melainkan sudah banyak kali. Hanya saja ketika aku mencoba memikirkan cara untuk keluar dari masalah ini, aku gagal. Bagai tangan raksasa yang memegang kakiku dan mencegahku untuk melangkah lebih jauh, membuatku terjatuh.

Aku kerapkali menghadapi masalah-masalah eksternal dan bisa menghadapinya dengan santai, aku beberapa kali tersesat di jalan namun bisa kembali kearah yang lurus, aku kerap ditertawakan dan dianggap gila, namun pada akhirnya bisa berdamai dengan semua hal itu.

Namun ketika masalah itu datang dari dalam diri, aku hanya bisa terdiam. Laksana bulan yang cerah namun kini dimakan gelap; aku tak bisa apa-apa. Diriku tak berkutik dan tak berdaya, ingin memiliki sayap untuk menjauh dari masalah itu, namun sayap itu patah pula.

Dan disinilah aku, berada pada titik terendah dengan segala kegagalan-kegagalanku yang telah lalu. Dimana hal-hal yang aku bangun nyatanya adalah sekelumit kegagalan yang telah terjadi, dan aku tidak bisa menghapusnya.

Lagu lama itu mengatakan bahwasanya kau harus berdamai dengan diri sendiri, namun bagaimana aku bisa berdamai? Diri bagai Rusia-Ukraina yang tidak diketahui dimana titik temu perdamaiannya. Mereka ingin bertempur sampai jiwa raga hancur, sampai setiap inchi susunan atom ditubuhku melebur.

Dan aku sesak, ingin bernafas lebih banyak, ingin menghirup oksigen lebih banyak. Namun dalam jurang kejatuhan ini sungguh aku tidak bisa menghirup apapun selain panas dan hawa yang merangkak dari dinding-dindingnya. Memakan jiwaku perlahan-lahan agar menyatu bersama mereka.

Aku ingin lepas, aku ingin mengusir rasa kebas. Hal yang kumiliki saat ini masih belum cukup bila aku ingin menjadi orang yang lebih bermakna. Aku harus melangkah walau kaki ini patah, atau harus merangkak bila hawa itu menjadikan aku tengkorak.

Aku ingin hidup, namun aku tidak ingin hidup seperti ini.

Kaset lain mengatakan bahwasanya aku harus melakukan sesuatu, entah memeluk alam yang merdu serta menyatu bersama kicauan burung-burung di gunung Semeru. Sebagian lain berkata kau butuh waktu untuk sendiri, menguntai makna dari sunyi senyap di lembah-lembah yang sepi. Namun bagaimana aku bisa sendiri? Sebab selama ini aku terbiasa sendiri, dan keheningan tidak akan lagi memihak kepadaku.

Aku ingin melompat pada suatu jurang yang sangat dalam, merasakan setiap detik-detik kematian yang akan aku hadapi, namun kemudian sayap muncul dan mengantarkan aku ke permukaan lagi. Bagaimana ya, rasanya? Sepertinya seru kendati semua itu hanyalah mimpi.

Jatuh dan bangun, dua kata yang sulit untuk dipisahkan. Dan aku sedang memilih jatuh untuk melihat diriku pada titik terendahnya, memaknai setiap detik yang aku jalani, menguntai ribuan pemkanaan dari setiap bulir-bulir tragedi yang terjadi. Intinya aku ingin hidup, namun tidak dengan hidup yang seperti ini. Tidak dengan nasib yang seperti ini.

Kaset lain juga mengatakan bahwasanya aku harus kembali kepada Tuhan, terkesan religius, namun ini malah menjadi lucu. Sebab kini aku menjadi bingung; pintu Tuhan mana lagi yang harus aku ketuk? Ritual mana lagi yang harus aku lakukan? Perjalanan kemana lagi yang harus aku tempuh? Bukankah semuanya adalah sekelumit kesia-siaan belaka? Sebab dalam ibadah orang mungkin akan merasakan ketentraman, namun terkadang aku tidak bisa merasakan Tuhan itu lagi.

Aku sedang jatuh, dan hatiku sedang mengeruh. Adakah doa yang menjagaku malam ini? Seperti saat kudoakan mereka yang tidak pernah didoakan?

Namun mengharapkan doa adalah hal yang lucu, sebab pada akhirnya doa diisi oleh keegoisan kita masing-masing. Meminta ketika butuh, meninggalkan ketika sudah tidak butuh. Dan kendati aku mengharapkan doa, mungkin aku tidak akan bisa merasakannya lagi. Sebab aku sedang jatuh, dan dapatkah doa itu membuatku utuh?

Aku tidak ingin mati, aku tidak ingin melompat dari jurang, tertabrak mobil, disambar petir, ditusuk, gantung diri, diracun, dibakar, diseret, tenggelam, dimakan hewan buas, ditembak, maupun cara-cara bunuh diri lainnya. Tidak. Aku ingin hidup lama, menguntai masalah itu dengan rasa yang berbeda, dengan perspektif yang jauh lebih bermakna.

Aku sedang jatuh, namun aku akan merangkak lagi perlahan-lahan, membuat rasa yang hilang itu kembali utuh, merangkainya menjadi kesatuan yang tangguh, melepas segala hal yang membuatku rapuh sehingga segala dukaku pada akhirnya terbasuh.

Memang aku sedang jatuh, tapi aku tidak ingin mati saat ini. Aku akan hidup lebih lama, memaknai hidup ini dengan cara yang berbeda; dengan cara yang paling sempurna.

Rabu, 21 April. Ditulis saat mood menulisku hancur lebur, aku jadi tidak produktif lagi dan aku merutuki diriku begitu lama sampai waktuku terbuang-buang percuma. Namun aku tidak akan berhenti menulis, sebab aku ingin hidup dengan segala kekuranganku, dengan segala penderitaan ini.

Artikel Sebelumnya : Akankah Kita Saling Meninggalkan?

Artikel Sebelumnya : Aku Akan Mencintaimu Seperti Shubuh

Artikel Sebelumnya : Baju Lebaran dan Runtuhnya Makna Ramadhan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun