Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akulah Samudera, Banjir yang Menari di Atas Kotamu

3 Maret 2021   15:46 Diperbarui: 3 Maret 2021   15:59 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup seperti air yang tenang dan kemudian cuaca berubah, angin menghamparkan kita pada kenyataan yang tidak kita inginkan, kita menjadi tsunami, menghantam pesisir pantai dan melenyapkan rumah-rumah, manusia tercerai berai seperti anai-anai dan tubuhnya menyatu bersama kami, kita jahat, katamu, namun kita tidak memiliki pilihan.

Aku adalah samudera, aku menyaksikan kalian hidup tahun demi tahun, dari kalian kecil, dewasa, lalu menua dan mati, tapi tentu saja aku tidak tahu dimana kalain dikubur, karena kurasa, itu urusan bumi, urusanku adalah berbincang-bincang dengan langit dan kapan ia menguapkanku, menjadikan aku awan lalu memberikan hujan ke kota kalian.

Aku suka menjadi awan, rasanya begitu tenang bersama triliyunan teman-temanku, kami berbincang kepada angin dan bertanya kemana kami akan dibawa, lalu angin akan mengatakan bahwa kami akan diterbangkan ke Jakarta, wah! Jakarta! Aku menyukai Jakarta dengan cahaya-cahaya, aku menyukai Jakarta dengan segala kesibukannya, aku menyukai Jakarta dengan segala keindahannya.

Namun aku tidak menyukai orang-orangnya, aku membenci mereka, aku membenci mereka karena mereka selalu jahat, mereka, seperti kota-kota lain yang pernah aku kunjungi selalu menuhankan uang, mata mereka hijau sehijau dollar dan tubuh mereka seolah tidak berharga karena mereka menghamba kepada uang, apapun, jika untuk uang, mereka akan melakukannya, bahkan sampai memakan tahi sekalipun!

Jakarta bagiku adalah cahaya dengan segala kegelapannya, bahkan ditempat ini, kami tidak pernah diterima, kami dibenci, kami dikutuk seperti Allah mengutuk Fir'aun, kami dicaci maki dan tidak pernah diharapkan untuk ada. Padahal, air adalah kehidupan untuk umat manusia, namun sepertinya mereka tidak memperdulikan hal tersebut lagi, karena bagi mereka, uang adalah segalanya.

Kota juga mengajarkanku bahwa kemajuan tekhnologi akan membuat tuhan dikesampingkan, hal itu bermula pada suatu hari aku dibawa oleh angin menuju Jakarta dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa tuhan bisa dibeli, bahkan harganya murah sekali! Seharga sepatu Sneaker KW! Untuk masyarakat urban, sepertinya  laptop lebih mahal daripada tuhan itu sendiri.

Tapi tentu saja, tidak semuanya. Ketika angin mengirimku ke Jakarta beberapa tahun lalu, aku melihat orang-orang lemah dan tertindas bersujud diatas sajadah mereka, hal itu merenyuhkan sekali, aku suka melihat cahaya-cahaya yang dibuatnya menuju langit, aku suka dengan segala cahaya-cahaya yang menyala pada jam dini hari, walaupun beberapa diantaranya digunakan untuk mabar PUBG.

Kunjunganku ke Jakarta telah memberikan aku informasi bahwa ada dan tidaknya tekhnologi tidak akan membuat eksistensi tuhan pergi. Ingatan akan tuhan akan selalu ada, redup memang, namun ada.

Kembali kepada topik yang akan aku ceritakan, oh apa ya? Oh ya, seperti yang aku bilang, datangnya aku hanya akan membuat kehebohan untuk orang-orang Jakarta, aku tidak tahu mengapa, namun angin berkata bahwa aku selalu membuat banjir, aku memberikan rasa dingin yang sangat di malam hari dan orang-orang akan mulai tidur diatap rumah mereka. Sebenarnya tenang saja, sebab tidur diatas atap rumah akan membuat kita melihat bintang-bintang yang berkedip manja, bukan karena mereka menertawakanmu, namun sebab mereka juga kedinginan, bukan karena tidak adanya api, namun lebih tepatnya, mereka kesepian.

Aku tidak bisa berbincang dengan bintang karena ia sangat-sangatlah jauh, bahkan ketika aku memberikan surat kepada angin, angin juga menolak karena ia tidak mampu menembus atmosfer, pak atmosfer berkata bahwa ia tidak bisa mengizinkan angin pergi karena tugasnya memang menjaga agar kami tetap di Bumi, aku tidak tahu mengapa beliau berkata demikian, padahal kami tidak dipedulikan di Bumi, lihat saja, pohon ditebang, aku dijadikan bak sampah dan gunung dijadikan tempat bermain anak-anak nakal, mereka tidak peduli dengan ada atau tidaknya kami, bahkan jika kami pergi ke luar angkasa, otak sombong manusia tentu saja bisa menciptakan pengganti kami.

Aku pernah protes seperti itu namun pak Atmosfer tidak memberikan kami wadah untuk bercerita karena dia harus melindungi bumi dari meteor dan asteroid yang akan menimpanya. Pak Atmosfer semakin lama aku melihatnya, dia semakin tua dan lemah, mungkin ia melemah karena asap dari pabrik-pabrik yang tidak tahu diri, atau bisa jadi karena manusia yang semakin lama semakin menjadikan pembangunan sebagai inti kehidupan. Padahal, tidak seperti itu, inti dari kehidupan bagiku sendiri adalah bagaimana manusia bisa menyatu dengan alam, rukun antar sesama dengan melupakan ego kita sendiri. Namun sepertinya hal itu mustahil, manusia itu egois dan akan selalu begitu, hanya karena tetangga memiliki mobil mewah, mereka menggadang gadang menjual ginjal untuk menjadi serupa, hanya karena negara tetangga memiliki nuklir, mereka menggadang gadang untuk menciptakan dengan alasan keamanan untuk negeri.

Pada akhirnya, apa yang mereka ciptakan hanya untuk memusnahkan diri mereka sendiri, hanya untuk memberikan pesan siapa yang berkuasa dan siapa yang berhak dipanggil raja. Apakah mereka lupa bahwa mereka akan mati? Apa mereka lupa bahwa mereka akan diadili di hari esok? Tidak, mereka ingat, hanya saja mereka tidak peduli, mereka hanya memberi ego mereka sendiri tumbuh dan berkembang.

Aku adalah samudera yang memantaumu dibalik sampah-sampah yang kau buang kepada kami, aku akan menjadi ombak ketika angin menyatu bersamaku dan aku akan menjadi hujan ketika uap menyatu bersamaku.

Aku adalah samudera yang turun ke kotamu dan selalu engkau benci, padahal sebenarnya, siapa yang kamu benci? Kamu tidak membenci kami, kamu membenci kotamu yang tidak dapat menampung kami sebab egomu lebih tinggi daripada sekedar memberikan ruang untuk pohon-pohon yang ada, bukankah kamu yang menggantikan mereka? Sekarang kamu menyalahkan kami atas tragedi yang kami bawa?

Sebenarnya siapa yang menciptakan tragedi? Aku, atau kamu?

Tidak perlu menjawab, sebab egomu akan mengatakan kami!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun