Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belum Ada Negara Hancur Gara-gara Lonte, tapi Banyak Negara Hancur karena "Agama"

28 November 2020   17:18 Diperbarui: 28 November 2020   17:27 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perbincangan saya di  Facebook pada  suatu forum, sebuah TS sedikit membakar amarah saya namun saya tidak bisa berkata apa-apa. TS itu sederhana:

*Belum Ada Negara Hancur Fara-Gara Lonte. Tapi Banyak Negara Hancur Karena "Agama"*

Tak bisakah kita menyadari bahwa hidup rukun berdampingan dalam perbedaan itu sangat indah dan sangat mahal harganya. Libya, Irak dan Suriah dulunya juga hidup normal seperti kita. Tidak ada yang menyangka jika semua kedamaian itu bisa berubah 180 derajat hanya gara-gara lengah membiarkan isu agama mengalir bergulir deras menghantam pilar-pilar negara. Negara-negara ini hancur bukan karena lonte.

Akhirnya saya bisa mengambil kesimpulan. Indonesia beruntung punya Nikita Mirzani, perempuan pemberani yang tidak takut berjuang menghadang gerombolan pelacur politik dan pelacur agama yang mengganggu kedamaian tanah airnya. Sebab Nikita dan kita tak ingin Indonesia menjadi Suriah. Begitulah kura-kura.

*Negara2 Timur Tengah hancur karena salah memahami agama oleh orang2 yg mabuk agama, bukan karena salah memahami Lonte.*

Saya pun merenung sejenak, lalu berkomentar di kolom komentar "Kaum Sodom lonte nggak sih?" lalu dia menjawab "darimana datanya kalo Sodom banyak lonte?"

Aku tersenyum.

Jika saya mendengar curhatan orang pada TS itu, saya tidak bisa menyalahkan namun tidak  bisa juga membenarkan, sebab kalimat 'banyak negara hancur' tersebut memiliki sword moment dimana kalimat itu bisa menjadi bumerang balik bagi penggunanya. 

Faktanya, jika kita menilik sejarah sejenak, kita akan menemukan bahwa banyak juga agama yang  menjadi faktor kebangkitan negara;  Madinah, Mekkah,  dan Turki, menjadi negara yang bangkit karena agama. Sementara di Indonesia pribadi, agama memiliki andil besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pada dasarnya, kehancuran mulai terjadi ketika agama dijadikan alat untuk oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Bahkan sampai sekarang, ISIS masih menjadi kontroversi dimana kejadian 11 September yang melahirkan paham Islamophobia masih diperdebatkan benar atau tidaknya dari pihak muslim sendiri atau rekayasa semata. Dan walau fakta mencatat bahwa itu bukan perbuatan islam, namun palu telah diketuk, dan fitnah telah terjadi.

Agama sendiri bagi Indonesia adalah hal yang sangat sensitif untuk dibahas, kita mungkin tidak akan lupa dimana Ahok didemo karena kasus penghinaan Al-Qur'an, atau peristiwa boikot Prancis yang terjadi belakangan ini. Semua terjadi karena perihal agama. Apalagi kasus Habieb Rizeq dan Nikita Mirzani yang sedang tenar, tiada lain tiada bukan adalah karena kasus dimana masyarakat Indonesia   terlalu mencintai habib dan ulama Indonesia (agama).

Saya sangat menyayangkan kenapa Nikita Mirzani menyebut Habieb Rizieq Syihab sebagai seorang tukang obat, juga menyayangkan kenapa ulama sekaliber Maher suka menyebut kata-kata kasar dan semakin memperkeruh suasana. Saya pribadi jika disuruh memilih, masih  ragu apakah FPI harus dihapus atau tidak, karena di zaman yang penuh fitnah ini, serigala bisa jadi domba dan domba bisa jadi serigala.

Terkait dengan pertanyaan apakah negara bisa hancur karena lonte, jawabannya adalah: kenapa  tidak?

Pada kenyataannya lonte merusak tatanan manusia dan norma yang ada pada masyarakat. Pada skala kecil, kita bisa melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa tingkah laku masyarakat kita kepada lonte adalah penolakan karena merusak aturan yang ada.

Sementara di Amerika sendiri yang kita ketahui dimana letak pergaulan bebas beredar. Perempuan disana bahkan tidak ada yang mau dipanggil bitch walau mereka pernah melakukannya. Dari hal ini kita dapat mengambil asumsi bahwa lonte di skala yang kecil saja sudah merusak, apalagi jika pada skala yang lebih besar?

Saya percaya bahwa tidak satupun negara yang mau dipanggil negara lonte, atau bahasa kerennya; The Nation of Bitch. Negara punya marwah atau harga diri, dan lonte tentunya bukanlah suatu cara untuk mendapatkan harga diri.    

Namun jika anda masih tidak percaya, anda bisa membuat negara sendiri dengan lonte-lonte sebagai penduduknya. Lagipula, sinetron sebelah masih membutuhkan materi untuk adegan liang lahadnya.


Sekian dari saya dan terima kasih.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun