[caption caption="DPR"][/caption]
Saat ini cukup mudah  bagi masyarakat untuk dapat mengetahui apa saja masalah aktual atau bagaimana kinerja eksekutif, yaitu melalui laporan harian di legislatif (www.dpr.go.id). Masalah aktual dapat kita ketahui dari laporan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilaporkan oleh Komisi terkait. Kita lihat masalah aktual di komisi X (notula RDP 16 Februari) yang antara lain membidangi pendidikan tinggi. Masalah atau pertanyaan yang muncul pada RDP terakhir adalah APK, BOPTN, Beasiswa dan revitalisasi LPTK.Â
Angka Partisipasi Kasar (APK)
Salah satu masalah atau topik yang sering muncul di dalam rapat DPR (Komisi X) dengan pemerintah yang menangani pendidikan adalah masalah APK, yaitu proporsi mahasiswa dalam kelompok usia jenjang pendidikan tinggi (19-23 tahun). Tidak heran karena APK merupakan indikator kunci kinerja utama dari kementerian. APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk di masing-masing jenjang pendidikan. Bagaimana capaian APK pendidikan tinggi? OECD menyatakan bahwa untuk negara berkembang APK minimal harus 36.
Penggunaan kelompok usia pendidikan tinggi yang baru yaitu 19-23 tahun dimulai sekitar 4Â tahun yang lalu. Sebelumnya adalah 19-24 tahun. Sekarang juga ada wacana untuk mengubah menjadi 18-23 tahun. Terlepas dari masalah pengelompokan umur, masalah yang lebih penting justru berapa angka atau jumlah usia penduduk usia pendidikan tinggi Indonesia saat ini dan jumlah mahasiswa Indonesia yang valid.
BPS pada sensus terakhir tahun 2010 masih menggunakan kelompok umur 19-24 tahun menyatakan bahwa jumlah penduduk usia pendidikan tinggi adalah 23.902.077. Saat itu jumlah mahasiswa sebanyak 5.280.374 (ESBED). Dengan demikian APK pada tahun 2010 adalah 22,09. Melalui ekstrapolasi dengan data tingkat kelahiran 1,54%, maka dapat diketahui bahwa APK pendidikan tinggi pada tahun 2015  adalah 23,9. Apabila menggunakan kelompok umur 19-23, APK akan naik menjadi 28,7. Ini yang dikatakan oleh Dirjen Dikti saat itu bahwa "tanpa saya bekerja APK sudah naik".Â
Jadi bagaimana?. Disebutkan di dalam laporan resmi Kemristekdikti, APK pendidikan tinggi saat ini adalah 33,6, kurang sedikit lagi untuk batas minimal (walaupun ada versi yang berbeda/lebih rendah,  dari bahan paparan pejabat kementerian). Mestinya ada penjelasan yang disertakan sehingga masyarakat dapat dengan gamblang memahami dan percaya. Berapa jumlah mahasiswa dan berapa jumlah penduduk usia pendidikan tinggi, dan berapa APK yang benar.
Kita anggap saja ini angka politis. Yang penting harus diketahui bahwa APK jenjang pendidikan tinggi hanya satu angka, tidak seperti jenjang dasmen yang juga dibuat per provinsi dan bahkan APM.
BOPTN dan atau Uang Kuliah Tunggal (UKT)
Sesuai amanah Undang-undang 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi harus memberikan beasiswa dan atau bantuan biaya pendidikan minimal 20% kepada mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi. Program untuk melaksanakan amanah ini adalah pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Bidikmisi. Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan sebagian biaya kuliah yang harus ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Dikti menetapkan paling sedikit 5% mahasiswa yang diterima tiap program studi membayar UKT sebesar Rp0–Rp 500.000 (kelompok I), dan 5% membayar Rp501-Rp1.000.000 (kelompok II).
Pada tahun 2014 pelaksanaan UKT ini dari sisi nominal persentase dua kelompok UKT memang telah memenuhi jumlah minimal secara nasional, bahkan melebihi 10%. Namun Dikti atau perguruan tinggi belum dapat menjamin atau menyatakan bahwa mahasiswa yang terpilih masuk kelompok I dan II telah memenuhi kriteria kemampuan ekonomi yang ditentukan. Dengan kata lain, apakah penerima bantuan biaya pendidikan berupa keringanan SPP telah tepat sasaran? Cukup banyak pernyataan dari masyarakat atau mahasiswa yang menyatakan bahwa proses penentuan UKT kelompok I dan II belum dilakukan secara objektif dan transparan. Beberapa mahasiswa yang masuk kelompok I atau II diketahui anak orang cukup mampu dan ditengarahi juga terjadi nepotisme didalam seleksi. Selain itu masih banyak perguruan tinggi yang belum menerapkan kelompok UKT dengan konsisten, belum memenuhi persentase minimal atau bahkan tidak ada kelompok I atau II. Evaluasi inilah yang harus dilakukan oleh Dikti dan perguruan tinggi dan melaporkan kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas dan keterbukaan informasi.
Beasiswa Bidikmisi
Sepuluh persen dari kewajiban perguruan tinggi dalam menyediakan 20% bantuan biaya pendidikan dilakukan melalui program Bidikmisi, yaitu bantuan biaya pendidikan berupa pembebasan biaya kuliah dan pemberian bantuan biaya hidup bagi calon mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu yang dilaksanakan mulai tahun 2010. Secara bertahap program ini terus disempurnakan baik dari aspek mutu maupun efektivitas program. Sejak tahun 2013 telah terintegrasi dengan SNMPTN dan SBMPTN. Dengan demikian kualitas akademik calon penerima program ini tidak diragukan. Pada awal peluncuran program, kuota yang disediakan sejumlah 20.000 dan terus ditingkatkan, sehingga pada tahun 2016 kuota yang disediakan sebanyak 60.000.
Identik dengan UKT, titik rawan efektivitas program terletak pada penentuan atau seleksi calon penerima. Masih terdapat berbagai laporan dari masyarakat dan mahasiswa yang menyatakan bahwa program ini banyak yang salah sasaran. Kriteria ukuran ketidakmampuan ekonomi memang telah ditentukan secara rinci, begitu pula sanksi bagi yang berupaya manipulasi data ekonomi. Namun selalu saja ada masalah baik karena ketidaklengkapan data calon penerima atau bahkan suatu kesengajaan oleh panitia seleksi. Pada tahap pelaksanaan titik lemahnya adalah keterlambatan pencairan dana, baik untuk penyelenggaraan pendidikan maupun bantuan biaya hidup. Setiap tahun selalu ada laporan mahasiswa penerima yang berhenti kuliah karena tidak sanggup bertahap hidup akibat keterlambatan yang kadang lebih dari 3 bulan.
Area perbaikan juga harus dilakukan pada skema pembiayaan. Biaya penyelenggaran pendidikan (SPP) yang belum sinkron dengan BOPTN dan dana pengelolaan yang belum tegas pengaturan peruntukannya. Dengan demikian evaluasi program yang perlu dilakukan adalah penekanan pada integritas pengelola agar dapat menyeleksi calon penerima dengan lebih tepat sasaran, pengelolaan dana bantuan agar tidak terjadi keterlambatan berulang serta sinkronisasi dana penyelenggaraan pendidikan dan dana pengelolaan.
Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA)
Jauh sebelum program Bidikmisi diluncurkan, beasiswa PPA telah lama eksis. Program ini diluncurkan mulai tahun 2004 dan telah mengalami berbagai perubahan baik dari sisi ketentuan, nama program, nominal beasiswa maupun kuota. Sebelum tahun 2010, beasiswa ini diprioritaskan bagi mahasiswa berprestasi yang memiliki keterbasan ekonomi. Namun seiring perkembangan, khususnya setelah diluncurkan program Bidikmisi dan berkurangnya kuota, maka PPA lebih diarahkan kepada mahasiswa berprestasi secara komprehensif (kurikuler, ko dan ekstra kurikuler), walaupun masih dilihat aspek ekonomi. Berbeda dengan Bidikmisi yang diberikan sejak tahun pertama hingga lulus, beasiswa PPA diberikan paling cepat mulai semester kedua, karena seleksi berdasarkan prestasi semester pertama,dan dapat dihentikan ketika prestasi penerima menurun.Â
Tiga tahun terakhir, kuota beasiswa ini terus turun mulai dari 240.000 pada tahun 2013, 180.000 pada 2014, 120.000 pada 2015 dan rencana terakhir 2016 dialokasikan 50.000. Evaluasi yang dapat dilakukan adalah mempertimbangkan integrasi beasiswa ini dengan bantuan biaya pendidikan atau beasiswa lain. Bila diperlukan beasiswa ini dihapuskan dari urusan pusat dan dialihkan atau diserahkan ke perguruan tinggi yang memang telah banyak memiliki atau mengelola berbagai beasiswa dari berbagai sumber.
Revitalisasi LPTK
Ini sebenarnya bukan barang baru. Program ini telah gencar dicanangkan sekitar sepuluh tahun yang lalu, pasca diterbitkan UU Guru dan Dosen. Mungkin karena dinamika kepemimpinan di perguruan tinggi dan kementerian, sehingga revitalisasi LPTK ini menjadi baru lagi. Bisa dikatakan masalah perbaikan kualitas LPTK ini masih bermain dan berputar di tataran konsep, padahal yang terpenting adalah segera dibuat/revisi ketentuan kemudian eksekusi dan tentu saja disertai komitmen pendanaan.
Masalah ini sebenarnya sangat mendesak. Semakin ditunda maka akan menjadi bom waktu. Dengan jumlah prodi kependidikan (S1) sebanyak 4.764 (forlap.dikti.go.id), dan jumlah mahasiswa kependidikan (S1) sebanyak 1.051.636, maka ini sudah mengerikan. Dengan produktivitas 15% saja, berapa  jumlah lulusan yang dihasilkan, di sisi lain berapa kebutuhan guru. Ambil saja 70% yang berminat dan memnuhi syarat jadi guru. Bagaimana pemerintah menyelesaikan hal ini?. Berbagai mismatch jumlah dan jenis. Menjalankan sergur, PPG dan asrama, dosen, dan seabreg persoalan iringan. Moga Bapak/Ibu pemangku urusan diberi kesehatan untuk mengemban amanah yang berat ini.
Kita tunggu penjelasan yang benar dan resmi di RDP berikut
http://www.kompasiana.com/mazdik/pengelolaan-beasiswa-pascasarjana-dan-lpdp_56ca8f3183afbda70b9e349c
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H