[caption caption="LPDP dan Kementerian pendukung"][/caption]
Salah satu permasalahan yang 'masih' diberitakan oleh media yang nongkrong di DPR adalah tentang beasiswa. Bersumber dari hasil rapat dengar pendapat pemerintah dengan DPR terkait permasalahan pengelolaan beasiswa pemerintah program Magister-S2 dan Doktor-S3, yang awalnya akan 'dilimpahkan' ke kementerian teknis, kini tidak lagi, malah DPR cenderung berkehendak memisahkan atau setuju memindahkan pengelolaan beasiswa dari Kementerian Ristekdikti ke LPDP. Padahal LPDP sebenarnya bukan 'orang lain'.
Pikiran untuk 'memisahkan' itu mungkin berangkat dari pemahaman bahwa LPDP dan Kemristekdikti merupakan dua lembaga yang sama sekali berbeda. Pemahaman ini bisa jadi benar. LPDP sebenarnya lahir dari rahim Kemristekdikti (saat itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), walaupun dengan keterlibatan intensif dua kementerian lain, yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan, dan tentu saja DPR. Namun ibu kandung LPDP tetap Kemristekdikti karena dana abadi yang dikelola merupakan dana fungsi pendidikan (APBN-P Tahun 2011). Hanya karena alasan teknis, terutama alasan kemudahan pengelolaan dan keluwesan, maka diputuskan dana abadi tersebut akan dikelola oleh LPDP yang berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan, namun tetap menyertakan Kemristekdikti dan Kementerian Agama sebagai Dewan Penyantun dan Dewan Pengawas.
Walaupun LPDP lahir dari Kemristekdikti yang memiliki tugas dan fungsi melaksanakan program beasiswa S2 dan S3 khusus untuk dosen, setelah berjalan tiga tahun telah dapat diketahui bahwa LPDP menuju arah yang berbeda dengan Kemristekdikti ibu kandungnya. LPDP memiliki karakter yang berbeda.
LPDP telah mulai menemukan jati dirinya bahwa dia ditugaskan (baca: menugaskan dirinya sendiri) untuk mencari dan mendidik pemimpin Indonesia masa depan melalui berbagai program beasiswa Pascasarjana di dalam dan di luar negeri, mulai dari yang kelas reguler sampai dengan kelas khusus, presidential. Bidang-bidangnya disesuaikan dengan prioritas pembangunan seperti Teknik, Sains, Pertanian, Kelautan, dan Kesehatan. Sebagai penunjang LPDP juga menjalankan program lainnya seperti pendanaan riset, dan beasiswa tugas akhir.
Overhead LPDP masih tinggi
Siapa yang dapat mengakses beasiswanya? Siapa saja boleh. Yang penting Warga Negara Indonesia (WNI), memiliki komitmen tinggi dan memenuhi syarat secara akademik. Biaya pengelolaan LPDP sangat besar. Pada laporan keuangan tahun 2013, dana yang digunakan untuk membiayai program Rp58,3 miliar, sedangkan dana operasional sebanyak Rp35,3 miliar, atau 60% dari dana program. Artinya untuk operasional lebih dari separuh biaya program. Semoga di tahun-tahun berikutnya biaya operasionalnya semakin kecil.
Berbeda dengan LPDP, Kemristekdikti dalam menjalankan program beasiswanya tidak memiliki keleluasaan sebagaimana LPDP, baik dari sisi keuangan maupun program. Kalau LPDP dapat menentukan visi, misi dan arah programnya, Kemristekdikti terikat dengan kriteria dan target-target yang harus dipenuhi berdasarkan amanah Undang-undang dan terikat dengan ketentuan teknis administratif dan keuangan sebagai Satker (bukan BLU). Apabila LPDP dapat menerima semua WNI dan setelah lulus bebas memilih menjadi apa saja, Kemristekdikti hanya dapat menerima dosen tetap perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan, atau lulusan S1 terbaik di kampus yang berniat menjadi dosen. Biaya operasionalnya juga jauh lebih kecil. Tahun 2015 dana untuk program beasiswa S2/S3 sebesar Rp660,2 miliar, sedangkan untuk pengelolaan tidak lebih dari Rp3,3 miliar. Hanya 0,005%. Itupun sudah termasuk biaya pembekalan penerima beasiswa yang sebenarnya termasuk biaya program juga. Memang tidak dapat dibandingkan karena LPDP membiayai hampir seluruh komponen pengeluaran, termasuk gaji dan upah.
Berbagi beban
Saat ini, sesuai data Pangkalan Data Dikti, jumlah dosen tetap di bawah Kemristekdikti sebanyak 195.200 orang, dan 32.600 orang diantaranya masih bergelar Sarjana. Artinya mereka harus kuliah Magister-S2 apabila tetap ingin menjadi dosen, karena syarat dosen minimal berpendidikan S2. Apabila sampai dengan tahun 2016 tidak berkualifikasi S2, maka dosen yang bersangkutan harus berubah status menjadi tenaga kependidikan.
Meminjam istilah yang biasa digunakan di pengadilan, saat ini Kemristekdikti memiliki tunggakan perkara sebanyak 32.600 dosen yang harus meningkatkan kualifikasinya menjadi Magister. Apabila tahun ini akan lulus sekitar 7.500 orang dari sekitar 17.000 yang sedang menempuh S2, ditambah yang tidak memenuhi syarat karena alasan umur, biaya sendiri atau alasan lainnya sebanyak 15.000 orang, maka tunggakan Kemristekdikti tinggal sekitar 10.100 orang.