Â
Â
Yukl*) mendefinisikan kepemimpinan transformatif sebagai proses yang mempengaruhi perubahan-perubahan utama dalam sikap-sikap dan asumsi-asumsi para anggota organisasi dan membangun komitmen untuk misi dan tujuan-tujuan organisasi. Para pemimpin transformatif "meneriakkan" gagasan-gagasan ideal yang sangat tinggi dan nilai-nilai moral kepada para pengikutnya, dan memacu untuk bekerja semaksimal mungkin dan bertindak atas nama kepentingan organisasi.
Bass dan Avolio*) menegaskan bahwa para pemimpin transformatif menginspirasikan para bawahan dengan sebuah misi yang bisa dikerjakan melalui kerja ekstra personal, lalu memotivasi para karyawannya untuk mencapai dari yang mereka pikir akan dicapai. Para pemimpin transformatif memiliki kemampuan untuk memotivasi para bawahannya untuk bersedia dengan sukarela melakukan pekerjaan melampaui harapan-harapan melalui 3 (tiga) cara yaitu:
- Pertama, menimbulkan tingkat kesadaran akan tujuan organisasi dan cara mencapainya.
- Kedua, mendorong rekan sekerja untuk menempatkan tujuan organisasi di atas kepentingannya sendiri.
- Ketiga, memuaskan dan menstimulasi kebutuhan-kebutuhan orang-orangnya ke tingkat yang lebih tinggi.
Untuk mencapai hasil-hasil ini, para pemimpin transformasional harus memiliki dan memperlihatkan empat karakteristik yakni:
- pengaruh yang diidealisasikan atau karisma,
- motivasi inspiratif dan stimulasi intelektual, dan
- perhatian individu.
Para pemimpin memperlihatkan pengaruh yang diidealisasikan atau karisma, memiliki visi, pengaruh yang kuat, dan sebuah misi. Mereka juga menanamkan kebanggaan dan kehormatan kepada bawahannya. Para karyawan memiliki tingkat kepercayaan dan rasa percaya diri yang tinggi, cenderung mengadopsi visi mereka, berusaha mengidentifikasi dengan mereka, dan mengembangkan rasa loyalitas yang kuat kepada mereka. Ketika seorang pemimpin menyarankan bawahannya untuk memberikan solusi-solusi alternatif pada masalah-masalah dan menantang asumsi yang ada maka dia telah memberikan stimulasi intelektual.
Seorang pemimpin yang kharismatik tidak mengambil otoritas dan legitimasasi kepemimpinannya dari peraturan, posisi atau tradisi, namun dari keyakinan dan kepercayaan para karyawannya. Kekuasaan bersifat personal, dapat memberi keberanian, tantangan-tantangan kepada bawahannya untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan memberikan stimulasi intelektual.
Lebih lanjut Bass menyatakan salah satu hubungan relasional para pemimpin transformasional dan para karyawannya dikarakteristikan oleh kebanggaan dan kehormatan. Bawahan seringkali mengembangkan tingkat kepercayaan yang tinggi dan percaya diri pada pemimpin dan bangga mengidentifikasi diri mereka dan mengembangkan rasa loyalitas yang tinggi padanya. Oleh karena itu para pemimpin transformasional tidak meletakkan dirinya pada peraturan, posisi atau undang-undang untuk melegitimasi kepemimpinannya.
Mereka menentang status quo dan memberi keberanian kepada para karyawan untuk mengeksplorasi cara-cara baru dalam mencapai tujuan-tujuan dan maksud-maksud organisasi. Para bawahan di bawah kepemimpinan semacam itu tidak akan ragu-ragu memberikan gagasan-gagasan mereka, kritis dalam menyelesaikan permasalahan dan cenderung memacu proses pemikiran.
Perguruan tinggi yang identik dengan budaya akademik dan institusi para intelektual yang mewakili jenjang pendidikan tertinggi, dan tempatnya kelompok orang-orang yang berpikir, tentu sangat cocok mengembangkan gaya kepemimpinan ini, yang sekaligus dapat menjadi laboratorium budaya organisasi khususnya gaya kepemimpinan.
Â