Bilapun ada, sangat sedikit sekali kawasan konservasi di Pulau Jawa yang tersambung satu sama lain. Begitupun kawasan lindung. Meskipun di beberapa tempat, keduanya masih bersambung dengan hutan produksi atau hutan produksi terbatas, karakteristik ekosistemnya berbeda. Kawasan-kawasan ini terpisah sama sekali tanpa ada, atau kalaupun ada, hanya sedikit sekali bentuk hutan alami sebagai penghubungnya. Dalam ilmu konservasi biodiversitas, disebut terfragmentasi, terpisah, terpecah. Padahal, kawasan konservasi atau lindung adalah representasi ekosistem hutan alam yang baik. Kalau hutan produksi, pada skala waktu tertentu, pohonnya harus ditebang, menimbulkan gangguan pada ekosistem. Di sinilah perbedaan utamanya antara hutan konservasi/lindung dengan hutan produksi.
Gambaran kondisi mikro, di dalam hutan konservasi/lindung, terdapat tumbuhan dan satwa liar. Ada yang asli, ada yang reintroduksi, ada pula yang introduksi. Namun, tidak seperti manusia dengan mobilitas tinggi dan kemampuan melewati berbagai bentuk wilayah geografis, tidak menyulitkan pertemuan dengan manusia lain di tempat lain yang berjauhan.Â
Namun bagi flora dan fauna, bukanlah perkara mudah. Hanya burung yang bisa melakukan mobilitas cukup jauh tanpa mendapat gangguan berarti. Itupun tidak semua jenis burung. Beberapa diantara burung, selanjutnya menjadi polinator atau penyebar biji, untuk menumbuhkan flora di tempat lain yang berjauhan, melalui eek-nya. Tapi beberapa jenis burung lain tidak bisa terbang jauh karena beberapa sebab. Jadi, apalagi flora yang secara alami tidak bisa menyebarkan dirinya pada tempat jauh tanpa bantuan.
Pada jenis satwa liar terestrial atau yang hidup di atas tanah, kondisi terpisah tentu menjadi perkara tujuh turunan. Ketemu jurang, jadi masalah. Ketemu sungai lebar, kesulitan melintas. Ketemu tebing, ya balik kanan. Lha bayangkan bila itu terjadi pada satwa arboreal atau yang hidup di atas pohon, kecuali burung tadi lho ya, masalahnya jadi berlipat ganda dan kuadrat tak terhingga. Masalah infinity....
Jadi, keterpisahan hutan setidaknya menimbulkan masalah; terhambat atau terhentinya perpindahan tumbuhan dan satwa liar ke wilayah hutan lain, bilamana posisinya berjauhan. Yang terjadi kemudian adalah, fungsi alami regenerasi hutan, hanya terjadi pada kawasan hutan di situ situ saja. Tidak bisa terjadi antar kawasan hutan. Tidak bisa menyebar ke kawasan hutan di tempat lain.Â
Bisa jadi kemudian, persebaran tumbuhan dan satwa liar juga hanya terjadi di kawasan itu itu saja. Ada burung A dan tumbuhan A di hutan A saja. Ada musang B dan pohon B di hutan B saja. Dan seterusnya. Padahal, sebelum fragmentasi terjadi, burung A dan musang B ada di semua hutan A dan B. Demikian pula pohonnya, yang mengindikasikan keragaman jenis tumbuhan dan satwa liar sebagai indikator kesehatan ekosistem. Lalu masa depan hutan Jawa di 20 tahun ke depan sebagai ekosistem yang seimbang, akan seperti apa..?? Itu misteri pertama.
Tidak selesai disitu, ketidaktersambungan antar kawasan konservasi/lindung, memunculkan diskursus baru. Dalam ilmu konservasi biodiversitas, salah satunya bercerita bahwa pada kawasan dengan minimum viability population/MVP (populasi minimum yang menjamin kelangsungan hidup) tumbuhan dan satwa liar cukup, memungkinkan mereka berkembang biak dan bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Anggaplah ratusan tahun. Tapi bila MVP tidak tercapai, berpotensi terjadi perkawinan dengan kekerabatan pendek.Â
Istilah yang sering kita kenal sebagai incest, perkawinan sedarah. Akibatnya, kebugaran fisiknya rendah, yang lalu secara terus menerus menghasilkan keturunan yang buruk. Cacat fisik adalah gejala yang paling umum dijumpai. Beberapa yang lain bisa bertubuh kerdil, motorik buruk, daya tahan tubuh lemah sehingga gampang sakit, dan gejala degradasi fisik dan perilaku lainnya.
Untuk mengatasinya, perlu ada pertukaran individu agar terjadi pertukaran genetik dengan tujuan mengembalikan kebugaran tubuhnya. Proses yang tidak mudah bukan...?? Lha bayangkan, bila di satu kawasan hutan, diperkirakan hanya ada 5 ekor macan tutul. MVP-nya jelas tidak cukup. Lalu perlu menangkap 1-2 individu untuk ditukar dengan macan tutul dari hutan lain. Akan sulit sekali, dan tentunya butuh biaya besar. Belum lagi bila melakukan upaya yang sama pada lutung, musang, kancil, rusa, atau binturong.
Dan bila ketersambungan tidak terjadi, pertukaran genetika alami tidak terjadi, maka akan seperti apakah masa depan hutan Jawa 20 tahun ke depan, masih menjadi misteri.
Meskipun perkembangan ilmu pengelolaan biodiversitas saat ini dituntut pada tingkat bentang alam, dalam pelaksanaannya tidaklah mudah. Pertama, harus diakui, hingga saat ini belum tersedia data yang cukup memadai untuk mengatakan hutan yang terpisah dan tersisa itu dalam kondisi baik atau tidak baik. Ekosistemnya sehat atau tidak sehat. Luasannya cukup atau tidak cukup. Kasat mata, masih baik, masih sehat, masih cukup. Itu secara kasat mata. Benarkah demikian..??Â