Aku berusaha menahan tangis. Jika dilihat jelas sekali hidungku memerah dan mataku berkaca-kaca. Semua orang menatapku. Seolah mencari sesuatu dari kehadiranku hari ini. Aku hanya mampu tersenyum seperti biasanya. Seolah semuanya baik-baik saja.
Semua orang bertanya tentang hubungan kedekatan kami berdua. Semua orang yang bertanya kadang tidak mau mengerti, mereka lebih banyak sekadar ingin tahu tak lebih. Aku pun hanya dapat membalas dengan senyum ketika mereka bertanya.
Bukankan jatuh hati itu adalah sebuah karunia, Tuhan? Lalu mengapa kebanyakan orang-orang tergesa-gesa menyatakan perasaannya? Lalu mengapa kebanyakan orang sibuk memendam luka menahan perasaan? Bukankah jatuh hati itu sebuah perasaan harfiah yang sederhana?
Tentang perasaanku padanya biarlah aku memendam hingga resah tak lagi terbendung, hingga asa akan terlepas. Aku bukan orang yang mudah untuk jatuh hati. Butuh waktulama untuk mempercayai seseorang singgah terlebih menetap di hatiku. Jadi, jika suatu hari nanti aku mampu mengungkapkan perasaanku padanya hanya ada dua kemungkinan dia telah menjadi pasanganku atau aku telah berani membuang perasaanku padanya.
Benar, jika mereka tanya perasaanku padanya adalah nyata, namun salah jika mereka bertanya kedekatan kami berdua adalah sebuah ikatan. Aku tak perlu sebuah ikatan yang dijelaskan dengan kata-kata ‘berpacaran’. Aku hanya butuh penyataan yang saling menguatkan ketika hati mulai melemah. Hanya sebuah kepastian tidak lebih! Walaupun aku tahu sebuah kepastian hakikatnya hanya ada pada Tuhan.
Aku tahu hubungan kami berdua hanya akan menyakitkan berbagai pihak terlebih seseorang yang menyukai dia dalam diam, sama seperti aku. Sudah itu aku hanya bisa melihat dan membuktikan bahwa doaku pada Tuhan tentangnya lebih kuat dibandingkan orang itu. Aku tahu hubungan kami seperti hubungan tanpa status, teman bukan, pacar pun bukan. Sungguh aku tak bermaksud melakukan hal itu. Aku hanya tak ingin memaksa kekuasaan Tuhan.
Tentang perasaannya padaku, aku tahu persis dia pun memiliki perasaan yang sama. Tapi bukankan perasaan ini lebih indah jika kami sama-sama terdiam dalam sebuah doa? Aku hanya tak ingin keegoisanku, kecemburuanku membabi buta layaknya dia adalah milikku. Padahal jelas sekali dia dan aku hanya sekadar milik Tuhan. Kebersamaanku sekarang dengannya saja sudah cukup membuat hatiku sakit ketika dia berdekatan dengan wanita lain. Padahal aku jelas tahu wanita itu hanya klien dari pekerjaannya. Bagaimana jika dia menjadi milikku saat ini? Aku curiga aku akan selalu bersitegang dengannya untuk hal-hal sepele seperti ini.
Lagi pula bukan kah masalah hati dapat berubah-ubah setiap saat? Bukan kah kami dulu pernah saling menjauh, dipisahkan jarak dan waktu, membenci satu sama lain tanpa sebab dan takdir membuat kami seperti ini sekarang? aku hanya tak ingin suatu saat nanti aku akan kembali membencinya. Aku hanya tak ingin mendahului waktu.
Aku tahu seberapa pun aku ingin memilikinya jika dia bukan milikku maka dia akan pergi menjauh. Seperti saat ini. saat ia memilih kembali kepada pemiliknya yang abadi. Aku hanya mampu mendoakannya dengan ikhlas. Karena itu hari ini di hari pemakamannya. Aku harus mampu menyatakan perasaan hatiku padanya untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
“Marsya sayang Ridwan. Maafin Marsya tidak pernah mampu menyatakan ini pada Ridwan. Tapi Marsya tahu kok, Tuhan lebih sayang sama Ridwan. Karena itu Marsya minta maaf, karena Marsya harus melepaskan Ridwan. ”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H