Mohon tunggu...
Hanifati Laili Mazaya
Hanifati Laili Mazaya Mohon Tunggu... -

teknologi industri pangan 2009, UNPAD

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jatuh Hati kepadanya

6 April 2014   14:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin berhembus perlahan menuju bibir pantai, menyapu sebagian peluh karena sengatan matahari. Kerudung abu-abu yang ia kenakan ikut berkibar terkena angin, persis bendera merah putih di atas tiang kapal nelayan. Pandangannya kemudian teralih pada saya, ia sekilas tersenyum, kemudian kembali asik memandangi birunya pantai.
Saya jatuh hati padanya. Mungkin hal itu lah yang tak akan saya sanggup ucapkan. Bagaimana mungkin bisa saya ungkapkan jika ia terlebih dahulu yang menyatakan. Dimana ego saya sebagai seorang lelaki? Terlalu banyak waktu yang berlalu tanpanya. Apakah mungkin Ia masih sama dengan yang dulu?


“Heh, jelek! Kok ngelamun sih? nanti kesambet ajudan Nyai Roro Kidul loh!” ucapnya mengagetkan saya. Terlalu!


Banyak yang berubah darinya, bahkan kata-kata yang sering ia ucapkan dulu terlihat begitu berbeda. Sekasar apapun ia berbicara saat ini, ia nampak begitu anggun dan lembut. Mungkin karena kerudung yang sekarang melekat manis di tubuhnya.


“Haduh kalian temu rindu ya? Pacarannya sengaja ya jauh-jauh dari kita?” goda Agil pada kami berdua.


“Ih, apaan sih, Gil? Mana gue tau sih Jupri pake ngedeket ke arah gue,” ucapnya asal menyingkat nama saya seenaknya. “Jupri, lo kok diem aja sih? jelasin dong kalau kita gak ada apa-apa. Heran deh kenapa sih kita dari jaman SMA sampe sekarang masih aja digosipin,” tambahnya lagi.


Rasanya ingin sekali menjitak kepalanya, gemas. Kenapa harus saya yang mejawab? Kenapa tak ia tanyakan saja pada hatinya yang dulu jatuh kepada saya? Memangnya dulu saya jatuh hati padanya? Jangan harap! Mana mungkin saya jatuh hati pada gadis manja yang sukanya ngomel-ngomel dan marah-marah tak jelas pada saya.


“Au nih si Agil ada-ada saja deh! Kan udah gue bilang kalau si Sukun jadi istri gue udah gue talak lima lah!” ucap saya menimpali perkataannya.


Saya terbiasa memanggilnya Sukun kalau ia memanggil saya Jupri. Padahal tak ada satupun huruf di namanya yang terbaca ‘Sukun’. Namanya Clarisa Humairah.


“Ye, emang siapa yang bilang lo berdua nikah? Gue bilangnya lo berdua pacaran. Wah, lo kebelet nikah ya sama Aira?” kata Agil kembali mengoda.
Ia hanya membalas perkataan Agil dengan mata sinisnya.


“Udah ah udah, gue takut lah sama kalian berdua. Hahaha. Anak-anak yang lain udah pada mau cari makan nih. Lo berdua mau di sini aja atau gimana?’ tanya Agil setengah mengancam. Bagaimanapun juga yang punya mobil kan Agil. Yang membuat saya dan 3 orang teman  lainnya sampai sini kan juga si Agil.


Kami berlima kemudian makan di sebuah saung ikan bakar dekat patai. Saya memandangnya lagi. Terlalu banyak yang berubah, tak ada lagi gaya makan menggunakan tangan yang diakhiri jilatan-jilatan di semua jarinya. Bagaimana mungkin saya bisa lupa, hal itu. Ketika ia dengan gamangnya berkata ‘Cara makan yang paling nikmat tuh yang begini!”. Kini ia terlihat lebih kemayu, menggunakan sepasang garpu dan sendok. Membuka satu persatu daging ikan gurame yang terselip duri.


“Eh, Aira pacar lo sekarang siapa?” tanya Windi tiba-tiba.


Ia yang sedari tadi fokus pada piring makannya, memandang ke arah Wendi. Ia menghela nafas sebentar sebelum menjawab pertanyaan Windi. Membuat hati ini ikut bergetar. Benarkah ia telah sepenuhnya mencuri hati saya?


“Sempet deket lebih dari tiga tahun sama teman di kampus. Terus tiba-tiba gue ditinggal nikah deh. Hahaha. Lucu ya,” tawanya pecah.
Tawa khas yang selalu ia keluarkan saat sedang mentertawakan dirinya sendiri. Mungkin ini, satu-satunya yang belum berubah darinya. Mungkin ini adalah satu-satunya yang membuat saya ingin terus menjaganya. Agar ia tak tersakiti lagi. Oleh siapapun itu, termasuk saya dulu, yang membiarkannya menyatakan perasaannya tanpa jawaban dari saya.


“Eh, ada HP yang getar nih. Punya siapa tuh?” tanya Amel yang duduk di sebelah saya.
Saya kemudian mengeluarkan hp dari saku celana. Memeriksa sebentar nama dilayar HP yang terpampang. Ragu, saya memencet tombol hijau dan berjalan sedikit menjauh.


“Halo? Iya ini Zul juga lagi sama teman-teman SMA. Pulangnya sedikit malam tidak apa-apa ya? Apa? Oleh-oleh? Boleh, boleh, kamu mau dibawain apa? Oh, oke gampang. Si Kakak sudah pulang sekolah belum?” ucap saya masih bercakap dengan seseoarang di sana. Seseorang yang sangat membutuhkan tanggung jawab saya. Hampir 20 menit saya menghabiskan waktu untuk berbicara dengan orang itu, kemudian saya menutup telepon.
Hanya ini, hanya ini yang saya lakukan demi Aira yang tanpa sadar telah saya cintai sedari dulu. Menjauh. Saya tak ingin membuatnya menertawakan dirinya sekali lagi. Cukup kali itu, saat ia menyatakan perasaannya pada saya, saat Gita menyatakan bahwa ia telah mengandung anak saya. Maafkan saya, Aira, mungkin definisi jatuh hati padamu bagi saya adalah menjauh darimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun