Pada zaman orde baru ketika itu Indonesia dipimpin oleh Soeharto terjadi sebuah krsisis ekonomi Asia yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei. Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang tidak hanya berdampak besar pada kehidupan politik, sosial, dan ekonomi negara, tetapi juga membawa dampak yang mendalam terhadap hak asasi manusia (HAM). Peristiwa ini terjadi bersamaan di tengah krisis ekonomi yang parah akibat dampak krisis moneter Asia 1997, yang memicu kemarahan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Soeharto yang saat itu telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Kerusuhan tersebut menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan mengarah pada reformasi politik di Indonesia. Namun, di balik peristiwa tersebut, terdapat berbagai pelanggaran HAM yang mencuat, yang masih menjadi perhatian hingga saat ini. Pelanggaran HAM tersebut memberikan dampak yang sangat parah. Â
Latar Belakang Kerusuhan Mei 1998
Krisis ekonomi Asia yang dimulai pada tahun 1997 memberikan dampak yang sangat parah untuk negara  Indonesia. Pada saat itu nilai tukar rupiah jatuh drastis, inflasi meningkat tajam, dan sektor perbankan terpuruk mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat, daya beli masyarakat menurun, dan ketimpangan sosial semakin lebar. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto, yang dianggap tidak mampu mengatasi krisis, semakin meningkat dan membuat masyarakat frustasi sehingga melakukan banyak pelanggaran HAM.
Pada saat yang sama, ketidakadilan sosial dan korupsi yang semakin merajalela di badan pemerintahan membuat masyarakat frustasi. Pemerintahan Soeharto dikritik karena kekuasaan yang sangat terpusat, serta penindasan terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Selama Orde Baru, banyak aktivitas politik yang dibatasi, organisasi masyarakat yang kritis dilarang, dan media massa dikelola dengan sangat ketat. Pada Mei 1998, protes-protes besar terjadi di berbagai kota besar, termasuk Jakarta. Aksi demonstrasi mahasiswa yang dipicu oleh kenaikan harga barang, pengangguran, serta ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto semakin meluas. Demonstrasi tersebut akhirnya berubah menjadi kerusuhan besar yang terjadi di Jakarta pada 13 hingga 15 Mei 1998.
Kerusuhan ini melibatkan pembakaran, penjarahan, dan kekerasan yang menyebabkan banyak korban. Salah satu peristiwa paling tragis adalah penyerangan terhadap warga keturunan Tionghoa yang menjadi sasaran kekerasan massa. Banyak laporan yang menyebutkan adanya pemerkosaan, pembunuhan, serta perusakan rumah dan toko milik warga Tionghoa. Kejadian ini menjadi simbol dari ketegangan etnis yang memuncak dalam kerusuhan tersebut.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 tidak hanya menandai runtuhnya rezim Orde Baru, tapi juga menyisakan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Beberapa bentuk pelanggaran HAM yang terjadi selama kerusuhan ini antara lain:
- Kekerasan Fisik dan Pembunuhan
Selama kerusuhan Mei 1998, terdapat banyak laporan mengenai pembunuhan terhadap para demonstran dan warga sipil yang tidak terlibat langsung dalam kerusuhan. Banyak orang yang tewas karena kekerasan aparat keamanan, baik dari tentara maupun polisi, yang melakukan tindakan represif untuk membubarkan massa.
- Pemerkosaan dan Kekerasan Seksual
Salah satu aspek yang sangat mencuat dari kerusuhan Mei 1998 adalah adanya laporan pemerkosaan terhadap perempuan, terutama yang berasal dari etnis Tionghoa. Banyak saksi yang melaporkan bahwa perempuan-perempuan Tionghoa menjadi sasaran pemerkosaan massal oleh para pelaku kerusuhan. Kejadian ini merupakan bentuk kekerasan seksual yang berat dan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat memprihatinkan.
- Pelanggaran Terhadap Etnis Tionghoa
Salah satu aspek yang mencolok dalam kerusuhan ini adalah adanya kekerasan yang sangat sistematis terhadap warga keturunan Tionghoa. Banyak rumah, toko, dan properti milik warga Tionghoa dihancurkan, dibakar, dan dijarah. Kelompok etnis ini menjadi sasaran kebencian yang dipicu oleh situasi sosial dan ekonomi yang sulit, serta sentimen etnis yang dipolitisasi oleh sejumlah pihak. Akibatnya, banyak orang Tionghoa yang merasa terancam dan menjadi korban diskriminasi serta kekerasan.
- Pelanggaran Kebebasan Berpendapat
Sebelum kerusuhan Mei 1998, pemerintah Orde Baru telah melakukan represi terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Segala bentuk oposisi terhadap pemerintah di bawah Soeharto selalu dibungkam. Protes mahasiswa yang berujung pada kerusuhan merupakan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan pembatasan hak-hak dasar mereka untuk menyuarakan pendapat. Namun, kekerasan yang ditanggapi dengan cara militeristik oleh pemerintah semakin memperburuk keadaan.
- Tindak Lanjut dan Upaya Pemulihan HAM
Setelah jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang membuka peluang bagi perbaikan di bidang politik dan hak asasi manusia. Namun, kerusuhan Mei 1998 meninggalkan luka yang mendalam, dan pelanggaran HAM yang terjadi selama kerusuhan tersebut belum sepenuhnya mendapatkan penyelesaian yang memadai.
Berbagai organisasi hak asasi manusia, seperti Komnas HAM, serta kelompok masyarakat sipil, mulai melakukan upaya-upaya untuk mengungkap kebenaran terkait pelanggaran HAM yang terjadi. Meskipun demikian, banyak korban yang merasa bahwa mereka tidak memperoleh keadilan yang layak. Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut, baik itu aparat negara maupun pihak-pihak yang terlibat dalam kekerasan etnis, belum sepenuhnya dipertanggungjawabkan.
Upaya untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi korban kerusuhan Mei 1998 masih terus dilakukan melalui mekanisme hukum dan pengadilan HAM. Namun, banyak pihak yang menganggap bahwa upaya-upaya ini berjalan lambat dan tidak maksimal. Masih terdapat keraguan besar terhadap keseriusan negara dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk dalam konteks kerusuhan Mei 1998.
Kesimpulan
Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa yang tidak hanya mengubah arah perjalanan politik Indonesia, tetapi juga menjadi salah satu babak kelam dalam sejarah pelanggaran hak asasi manusia di negara ini. Kekerasan fisik, pemerkosaan, perusakan properti, dan diskriminasi etnis yang terjadi selama kerusuhan tersebut menunjukkan betapa seriusnya masalah pelanggaran HAM yang perlu diatasi.
Meskipun telah terjadi perubahan politik dengan berakhirnya rezim Orde Baru, masalah penyelesaian pelanggaran HAM pasca-kerusuhan tetap menjadi tantangan besar. Keberlanjutan upaya untuk menuntut keadilan bagi korban dan memperbaiki mekanisme perlindungan hak asasi manusia di Indonesia menjadi penting agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan. Peran masyarakat sipil, organisasi HAM, dan lembaga negara seperti Komnas HAM masih sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa hak-hak korban dihormati dan pelaku kekerasan dapat diadili secara adil.
Daftar Pustaka
Mietzner, Marcus. Pemilu Indonesia 1998: Ekonomi Politik Transisi Demokrasi . Institut Studi Asia Tenggara, 2004
Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto di Indonesia . University of Wisconsin Press, 2006.
Robinson, Geoffrey. Sisi Gelap Surga: Kekerasan Politik di Bali . Jagung
Sen, Krishna, dan David T. Hill (eds.). Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi . Routledge, 2007.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI