Sejak kecil, saya dididik untuk sebisa mungkin jangan meminta bantuan dari orang lain yang bukan keluarga. Saya juga dididik untuk mendengarkan dan menghormati keputusan orang lain. Contoh nyatanya: Kalau saya bertanya "Ma, boleh ga makan kerupuk...?" kalau mama saya bilang "Ga." Jangan berusaha menanyainya lagi. Bila saya bertanya lagi "Boleh yha Ma..." mama saya akan berkata "Kalau sudah dijawab ngga ya berarti ga boleh. Kalo masih ngeyel (maksa) mendingan ga usah tanya tadi, putusin sendiri. Ntar kalo batuk (dapat masalah) obatin (selesaikan) sendiri." -dengan tampang marahnya. Kalau saya coba memelas/maksa sekali lagi. Dengan keras mama saya akan menjawab "TERSERAH, kalau jadi orang ga bisa ngerti kata ‘ngga' ya terserah". Kalau sudah begitu, saya ga jadi makan deh....
Masalah meminjam juga. Keluarga saya memang pernah mengalami fase hidup yang keadaan ekonominya hanya cukup untuk kebutuhan primer. Pernah suatu waktu, saat itu saya masih SD. Saya tertarik dengan mainan seorang teman. Saya ingin pinjam dan memainkannya sebentar. Teman saya bilang "GA boleh." Lalu saya menangis dan mengadu pada mama. Tapi jawaban mama waktu itu "Kalau ga boleh ya sudah, jangan maksa, orang lain tambah sebal kalau kamu maksa. Kalau memang ga punya ya ga usah main itu, main yang lain aja."
Pernah juga ada tugas sekolah butuh diketik. Saya ga punya mesin tik. Ada tetangga yang punya. Mama mau pinjam, ternyata tidak diperbolehkan. Mama saya langsung bilang "Oya sudah, makasih." Lalu pulang, dan berkata pada saya "Udah, ditulis aja tugasnya. Kalau dimarahin, bilang memang ga punya." Tapi... beberapa minggu kemudian, (sesudah tugas saya dikumpulkan...) saya pun dibelikan mesin tik...
Semakin besar (beneran badan saya makin besar :p), setelah saya mulai bisa mengerti berita, ada berita tentang orang yang bunuh diri karena tidak bisa bayar hutang. Komentar mama saya "Itu namanya orang bego. Kalau ga mampu tuh ga usah kepingin. Jangan pernah hutang. Percuma, bayar bunga malah rugi. Kalau orang mau kasih, ya dia akan kasih. Kalau orang ga mau kasih, percuma, ntar abis dipinjemin, malah diungkit-ungkit terus. Mendingan nabung, kalau sudah ada baru kepingin. Apa-apa tuh diusahain sendiri." Ini merujuk pada keadaan keluarganya dulu, yang supaya punya uang saku, kerja terima jahitan... belajar sama kakaknya yang sudah duluan bisa. Lalu, uang hasil kerja digunakan lagi untuk les ketrampilan salon... kalau mau bisa bikin roti, belajar sambil bantu orang... maksudnya, kerja ga dibayar hanya supaya bisa dapat ilmunya... adiknya mama, nabung di celengan, sampai penuuhh benar-benar penuh, baru dibuka, dihitung, baru dipikir bisa untuk beli apa. (waktu itu bisa untuk beli mobil Colt T).
Setelah melewati masa kecil, saya pun terbentuk untuk tidak mudah meminta, tidak mudah meminjam, dan mudah menyerah pada jawaban ‘Tidak' yang pertama. Teman-teman saya tahu hal ini. Pernah satu waktu ada tugas menggambar. Saya tidak punya spidol yang cocok sebagai warna kulit. Teman saya punya spidol 36 warna. Saya pun coba meminjamnya ternyata teman saya jawab "Ngga, ntar abis warnanya..." Saya pun tidak mencoba lagi. Tapi teman saya yang lain berusaha membujuk dengan memelas, dan menawarkan bantuan untuk pelajaran lain. Teman pemilik spidol warna itu pun akhirnya berkata "Ya sudah, kamu boleh, tapi kamu (saya) ngga, kecuali kalau kamu mintanya kaya dia tadi."
Waktu itu, saya sedih karena gambar saya akan jadi tidak sempurna. Tapi saya juga ada perasaan "Ah, ngga apa-apa, ngapain melas-melas. Pokoknya gambar ini bisa jadi dengan apa yang saya punya. Kalau memang ga punya, ya jangan kepingin. Kalau memang dia niat bantu, pasti pinjamkan. Kalau cuma pengin dipuji-puji, ngapain, aku mujinya karena pengen dipinjamin, dan dia pinjamkan karena aku puji."
Beranjak dewasa, ketemu banyak ragam karakter orang, saya ketemu pribadi yang menurut saya aneh. Yaitu yang berkata "Tidak" tapi berharap dibujuk lagi. Misalnya "Yuk, ikut bantu kepanitiaan Natal, kamu kan bisa bagian acara..." Lalu, orang itu jawab "Tidak" tapi... sikapnya seperti masih ingin dibujuk. Benar saja, setelah dibujuk, mau deh... Bahkan kerja dengan semangat... Sedang makan bersama disuruh nambah atau habiskan lauk yang ada jawabnya "Cukup... tidak usah..." Tapi kelihatan sekali masih ingin... Tapi dia menunggu piringnya diisikan. Kalau saya, jawab "Cukup." Lalu orang itu mengambilkan untuk saya, saya merasa marah, karena merasa pendapat/kata-kata saya tidak dianggap.
Ada juga kebalikannya. Jawab "Mau" tapi kemudian tidak mengerjakan... Misalnya "Yuk, ikut bantu kepanitiaan Natal, bagian acara yah?" "Oke..." Jawabnya. Tapi kemudian, rapat tidak datang dengan beragam alasan, tanggung jawab tidak diselesaikan, baru muncul saat H-1 saat rapat terakhir, lalu saat acara dengan pede pakai name tag panitia... Bisa juga tipe ini menghilang beberapa lama, lalu baru muncul setelah semua beres... Dengan mudah minta maaf karena beberapa waktu lalu ga jadi bisa bantu... Berjanji untuk yang berikutnya mau bantu... Tapi kemudian yah begitu lagi...
Sekarang, saya belajar... Orang punya ragam karakter... Memang sebaiknya, jangan menyerah dengan jawaban "Tidak" yang pertama. Banyak kesempatan hilang bila terlalu mudah menyerah. Cari tahu, apa yang bisa kita lakukan untuk membujuknya, tanpa perlu memelas... Celah apa yang bisa kita kerjakan, agar dia merasa kita tidak hanya memanfaatkan dia, tapi sama-sama menguntungkan... Juga sebaiknya, jangan terlalu senang dengan jawaban "Ya" yang pertama... Uji sedikit demi sedikit, sejauh mana komitmen "Ya"-nya itu... Supaya saya tidak terlalu banyak rugi juga... Kalau ternyata hanya ya di permukaan, berusaha memaklumi saja... Manusia memang dididik dengan cara berbeda... :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H