Mohon tunggu...
Maya Triziana
Maya Triziana Mohon Tunggu... -

suka baca, tidur, jalan2, nonton film kecuali horor, seorang IOC via d'BCN

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lelahku Dalam Kasih-Mu

17 Februari 2015   04:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Apakah yang kuinginkan? Entahlah, rasanya terlalu banyak. Terlalu banyak untuk dapat kuperjuangkan. Aku hanya ingin memilih satu. Satu-satu, begitulah seharusnya kujalani. Agar tak perlu kuhadapi kelelahan seperti ini. Tapi bagaimana dapat kupilih? Ketika semua begitu penting bagiku, dan waktu, hmmm itu tak pernah melambat. Tak pernah berulang, sementara aku tak pernah berganda.

Masa hidup yang singkat ini, namun tuntutan begitu banyak. Ah, sebenarnya, apalah arti tuntutan itu? Jika aku tidak menganggapnya begitu penting? Aku bisa kan tak menghiraukannya saja? Bisa kan aku fokus pada hal yang menyenangkan bagiku saja tanpa perlu peduli pada yang lain?

Apa sih tujuan manusia hidup? Bukankah untuk menjadi bahagia? Lalu kenapa kita mesti menyulitkan diri dalam berbagai proses? Apakah benar, akan lebih bahagia saat kuselesaikan tuntutan-tuntuan itu? Pemaksimalan berbagai potensi dan talenta, pengisian berbagai cabang ilmu dan keterampilan, kehidupan sosialisasi dengan beragam pribadi, yang semuanya itu melahirkan beragam tuntutan untuk kupenuhi dari hari ke hari.

Harus bisa, harus lulus, harus punya nilai baik, harus berkembang, harus makin maju, harus makin pintar, harus makin mengerti, harus makin menguasai, harus terus naik, harus luwes, harus pengertian dengan keinginan orang lain, harus tahu kapan waktu bicara kapan mengalah, harus tahu apa yang harus dikatakan, harus tahu bagaimana bersikap, harus tahu apa yang akan dilakukan, harus tahu apa yang harus dilakukan, dan harus tahu bagaimana menikmati hidup. HA!!

Semuanya demi apa? Demi hidup yang lebih baik? Demi hidup yang maksimal? Demi hidup yang dapat dikatakan berarti? Demi standar hidup sempurna yang bukan hanya dari orang lain yang kita anggap penting, tapi juga dari Allah Bapa pencipta kita? Bahwa aku telah menghasilkan buah-buah yang tetap, telah menyelesaikan pertandingan dengan baik, bahwa aku telah hidup sesuai dengan rancangan-Nya? Bahwa aku berkenan bagi-Nya? HA!!

Aku tak sanggup. Sungguh tak sanggup. Bahkan sebenarnya, aku tak ingin. Oh ya, aku ingin jadi lebih baik, tapi tak perlu sebaik tuntutan itu. Ya, aku ingin lebih berguna bagi dunia di sekitarku, tapi tak harus kan untuk mencapai standar mereka itu? Dan...., ya, aku bahagia, ketika aku bisa menyelesaikan masalahku dan mendapat hasil yang baik. Tapi, aku juga bahagia ketika tak ada masalah yang harus kuselesaikan. Eh, tapi aku juga sering bosan saat terlalu lama tak ada hal khusus yang perlu kuselesaikan. Hahahahaha ah, aku jadi makin melantur. Pasti karena lelah ini. J

Bapa, Kau pasti tertawa dengan pikiranku ini kan? Pasti, kau tertawa dengan fluktuatifnya aliran dan kedutan gelombang di otakku ini. Karena Kau tahu, ya, aku tahu kalau akhirnya, aku akan menyerah dengan pikiranku, dan kembali menjalani hidupku dengan berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan itu sebagai tujuan hidupku. Bapa pun pasti tahu, kalau akhirnya, inilah yang akan kupinta dari-Mu: "Bapa, berikanlah hikmat-Mu bagiku. Agar aku mampu jalani hidupku sesuai jalur yang Kau rancangkan bagiku."

Hikmat-Mu, inilah yang menyelamatkan aku, sehingga pikiranku tak menyesatkan aku. Hikmat-Mu, adalah penjagaku untuk aku dapat berpikir dan bersikap tetap dalam koridorku sebagai seorang manusia yang Kau ciptakan dengan maksud dan tujuan tertentu. Dan aku percaya, itulah yang terbaik bagiku, yaitu menjalani hidupku dengan usaha terbaikku untuk tetap dalam rancangan-Mu. Dan sementara aku berkutat dengan perjuangan ini, aku juga percaya, keajaiban-Mu, kemahakuasaan-Mu akan senantiasa melingkupiku. Itu akan tersedia senantiasa bagiku, nyata dalam hidupku, selama aku masih dalam kasih-Mu.  :)

activate javascript

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun