Mohon tunggu...
Kebijakan

Tradisi yang Menyimpang, Haruskan Diteruskan?

8 Maret 2019   17:48 Diperbarui: 8 Maret 2019   17:50 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu kebiasaan yang sering kita bicarakan adalah suatu kebiasaan buruk. Padahal suatu tradisi atau kebiasaan itu tidak selalu berorientasi kepada tradisi yang negatif ,namun juga bisa berorientasi positif. Tradisi menurut pengertiannya adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan. Kalau bicara soal tradisi, tentu memiliki spesikulasi tersendiri. Uniknya di sini, tradisi yang dibicarakan bukanlah tentang punggahan menjelang puasa, acara pingit pra nikah, ataupun acara 7 bulanan yang katanya bisa menentukan jenis kelamin si jabang bayi. Lalu, tradisi seperti apa?

Di indonesia, para pejabat tinggi sering blusukan ke daerah-daerah tempatnya memimpin. Biasanya akan dibuat acara yang cukup mewah. Kursi barisan paling depan diisi pejabat dan orang-orang yang bertahta, kursi yang kedua diisi tangan kanannya, dan kursi yang paling belakang diisi rakyat biasa.

Dari segi makanan yang dihidangkan juga jelas berbeda. Mereka dihidangkan kue kotak dengan aneka rasa yang menggugah selera. Nah,pas giliran rakyat biasa hanya ada kue dengan tiga macam jenis yang seadanya. Sebenarnya secara gak langsung sistem pembedaan kasta sudah jelas diberlakukan dalam hal ini.

Dalam hal persamaan di depan hukum jelas nampak sekali perbedaannya. Kalau pejabat negara yang terlibat tindak pidana, kasus mereka di proses dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, kasus yang besar saja bisa direkayasa seolah-olah tindak pidana biasa dimana mereka sendiri adalah korban atas kesalahan pihak lain. Fakta-fakta yang memberatkan bukan jaminan bahwa sepenuhnya kesalahan itu adalah ulah mereka. Tak jarang pihak-pihak yang sebenarnya tidak tahu menahu akar dari persoalan tersebut yang menjadi kambing hitam.

Bisa kita bandingkan kasus yang menjerat salah satu buruh tani dimana ia dituntut 5 tahun penjara lantaran memungut kaus lusuh di pagar rumah tetangganya, dan kasus nenek Asyani yang diduga mencuri 7 batang kayu jati milik perum perhutani dengan tuntutan 5 tahun penjara dengan kasus korupsi mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang hanya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta rupiah, sedangkan kerugian yang ia timbulkan sebesar 1 miliar rupiah.

Jika kita analisis, bukankah buruh tani dan nenek Asyani hanya merugikan seorang pihak saja, akan tetapi kasus yang menjerat Ratu Atut Chosiyah telah merugikan negara. Dampaknya tentu saja kemiskinan akan semakin merajalela, hutang negara bertambah. Sebuah negara nyaris terancam hancur karena kasusnya. Dimana penegakan pasal 27 ayat 1yang berbunyi,

"Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Selanjutnya, ini hal yang terbilang sangat lucu dan unik untuk dibahas. Tahu apa? Ya, tradisi menjelang pemilu, baik itu pilkada, pilpres, ataupun pemilihan anggota legislatif. Dimana para pendukung masing-masing paslon sibuk menonjolkan kelebihan jagoannya. Mereka rela berdebat agar paslon jagoan mereka menjadi pemenangnya dan menduduki kursi jabatan. Tak jarang berita hoax bertebaran menjelang pemilu.

Menurut hasil olah data yang dilakukan oleh Polmark Research Center, terdapat 4,3% responden yang  mengaku hubungan pertemanannya rusak karena pilpres tahun 2014. Kalau seperti ini yang terjadi, bagaimana suatu negara dapat menjadi negara yang maju, aman, tentram dan damai, bila kinerja pemerintahnya saja tidak dipercaya. Bagaimana suatu tujuan negara untuk mengatasi permasalahan dalam negeri dapat terselesaikan kalau rakyatnya saja enggan berpartisipasi dan hanya tahu mengkritik saja.

Inilah tradisi yang berkembang berkembang sampai saat ini. Untuk itudalam mewujudkan negara yang berkualitas baik dalam segi pemerintahan maupun rakyat yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme diperlukan wawasan kebangsaan yang luas guna menghilangkan tradisi yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa serta memupuk sikap toleransi antar SARA agar terwujud NKRI dengan  kedaulatan yang utuh dalam konteks berkebangsaan yang global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun