Demokrasi ialah salah satu bentuk pemerintahan yang semua warganya memiliki hak yang setara dalam mengambil keputusan masing-masing, agar mereka dapat berpartisipasi langsung (baik secara langsung maupun melalui perwakilan). Cakupan demokrasi sendiri sangat luas, yaitu mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan terjadinya praktik kebebasan berpolitik. Dari segi struktural, sistem demokrasi yang ideal ialah sistem politik yang memelihara keseimbangan konsensus dan konflik.
Bangsa Indonesia sendiri merupakan bangsa heterogen yang terdiri dari beraneka suku, ras, agama, golongan, adat, budaya, dan bahasa. Dikarenakan hal itu, perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Pasang surut yang dimaksud di sini membahas mengenai penyususnan suatu sistem politik yang memastikan kepemimpinan  harus cukup kuat dalam melaksanakan pembangunan.
Menurut Voltaire, "suara rakyat adalah suara Tuhan" (Vox Populi, Vox Dei). Pada masa kini, frase "Vox Populi, Vox Dei" tersebut, terus digunakan guna menekankan seberapa pentingnya demokrasi, partisipasi rakyat, dan otoritas yang berasal dari rakyat dalam sistem politik.
Pada beberapa tempat di Indonesia, sering di temui beberapa mural atau graffiti. Memang jika dilihat dari segi umum, hal ini biasa saja. Namun jika dilihat dari segi penguasa, hal ini merupakan suatu bentuk penyuaraan aspirasi masyarakat selain dengan melakukan unjuk rasa, menyuarakan melalui media sosial, dan lain-lain.Â
Masalah mengenai grafiti ini juga sempat membeludak pada tahun 2018, dan terulang lagi pada tahun 2021. Sebagai contoh yaitu adanya mural bertuliskan 'Wabah Sebenarnya Adalah Kelaparan' yang muncul di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel). Tidak diragukan lagi, mural ini bertujuan untuk menyinggung kinerja sistem pemerintahan atau diary politics di Indonesia mengenai adanya wabah pandemic Covid-19 yang tengah melanda Indonesia pada 2021 saat itu.
Menurut Warren (1992) politik baru yang berupa diary politics ini disebut sebagai the secondary level of political practies.sehingga hal ini dapat dianggap sebagai salah satu medium komunikasi politik, saat aspirasi dan suara rakyat tidak pernah didengarkan. Padahal, warga negara telah mengamanatkannya melalui penguasa (wakil rakyat) dan elite politic lainnya terutama pada saat proses elektoral.
Namun apakah penguasa (wakil rakyat) dan elite politic tersebut serta komponen lainnya telah menciptakan, membangun, dan mengembangkan konsolidasi demokrasi. Padahal sesuai yang dicontohkan justru kebalikannya.Â
Dan juga, sayang sekali jika Indonesia yang menganut sistem presidensial ini mengalami kemandekkan yang berpengaruh terhadap kohesivitas kebangsaan yang multikulturalisme. Sebagai representasi warga negara, mestinya mereka memahami segala persoalan yang dialami.
Pengambilan Langkah reshuffle oleh kepala negara atau presiden tentu bukan tanpa alasan. Hal ni dikarenakan reshuffle biasanya dilakukan setelah dilakukannya serangkaian evaluasi dan pertimbangan, sehingga nantinya reshuffle akan mencapai tujuan untuk membuat pemerintahan berjalan lebih baik. Ada beberapa faktor yang terkait sehingga presiden mengambil Langkah ini, yaitu :
- Menteri Mengundurkan Diri atau Meninggal Dunia
Pengunduran diri atau kematian seorang menteri dapat menyebabkan hadirnya kursi kosong. Hal ini mendorong presiden untuk segera mencari pengganti agar sistem pemerintahan tetap dapat berjalan lancar.
- Tidak Memenuhi Standar Kinerja Menteri
Reshuffle biasanya dilakukan ketika ada satu atau beberapa menteri yang dinilai memiliki kinerja yang tidak memuaskan. Dengan pergantian tersebut, diharapkan orang yang menjabat (pengganti) nantinya dapat menunjukan kinerja yang lebih baik untuk kedepannya.
Kinerja menteri yang kurang memuaskan biasanya juga akan berdampak pada program pemerintah, yang menjadi tidak berjalan dengan baik. Dengan mencopot menteri yang kinerjanya kurang baik dan menggantinya dengan orang baru, diharapkan program-program pemerintah bisa berjalan dengan baik.
Pandemi Covid-19 yang terjadi pada tahun 2019-2021 lalu, melumpuhkan berbagai aspek di Indonesia yang menimbulkan berbagai kecemasan pada ruang lingkup masyarakat. Pemerintah telah berupaya penuh guna mencegah dan menangani dampak pandemi tersebut dengan semaksimal mungkin. Namun tetap saja masyarakat masih merasa bahwa pemerintah, terutama menteri, masih belum dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Hal ini juga telah disadari oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengenai kurangnya atau menurunnya efektifitas kinerja menteri pada Kabinet Indonesia Maju-nya itu. Hal ini dikemukakan oleh Presiden Jokowi pada siding kabinet paripurnanya pada 18 Juni 2022 lalu, yang akhirnya mengundang isu reshuffle. Presiden Jokowi memberikan sinyal ini secara eksplisit pada tubuh pemerintahan jilid II. Reshuffle ini dipertimbangkan bahwa hal ini dinilai sebagai hal yang mendesak dan juga atas desakan masyarakat kepada pemerintah