“Bagaimana caranya?”
“Melalui kelopak mataku.”
“Maka, aku akan ingat kepadamu sebanyak butiran-butiran itu gugur.”
Rekaman percakapan kita masih tersimpan baik di dalam kotak kenangan, sayang. Apabila hujan tiba, kotak itu terbuka dan kenangan akan berhamburan ke luar. Lalu, aku mendengar percakapan itu lagi. Selalu begitu, meski dua tahun semenjak kepergianmu telah terlewati.
“Kau sudah membuat pilihan, kan?”
“Aku akan menikahinya.”
“Perempuan itu?”
“Iya, perempuan pilihan ayahku.”
Akhirnya kau menjawab. Jawaban yang telah mewakili pertanyaanku selama ini. Kita tahu bahwa situasinya tak pernah sederhana. Entah berapa kali kau memikirkannya. Dan ketika kau mengambil keputusan, mungkin pilihanmu tidak bulat betul. Ada bias pada setiap yang tampak, seperti katamu pada saat itu.
Aku pun tak mudah untuk menerimanya. Semua orang mengerti jika ada hikmah di balik segala kisah. Tapi hanya sedikit yang menganggukkan kepala. Mungkin karena penerimaan sering dianggap kekalahan.
Tak mungkin awan berbelok arah. Aku hanya kuasa mencari pohon flamboyan di pinggir jalan yang berdaun rindang untuk sekadar menyembunyikan diri dari hujan. Sedapat mungkin kulindungi kertas agar tak basah. Lalu, akan kutulis puisi tentang 'gerimis’.