Mohon tunggu...
Maydina NurilAulia
Maydina NurilAulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Hanya seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengungsi Rohingya di Bangladesh: Ketika Keramahan Berubah Menjadi Kebencian

29 Mei 2023   12:41 Diperbarui: 29 Mei 2023   13:22 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rohingya merupakan golongan kelompok etnis yang telah diusir dari kawasannya sendiri di negara Myanmar. Konflik antara golongan ini dengan negaranya telah dimulai semenjak tahun 1977 ketika pemerintahan Myanmar di kala itu meluncurkun Operation Dragon King ke daerah Rakhine yang merupakan kawasan yang ditempati oleh kaum etnis Rohingya (MSF, 2019). 

Operasi tersebut bertujuan untuk menangkap dan memperlakukan warga etnis Rohingya selayaknya kelompok ilegal yang masuk ke dalam negara. Termasuk dengan melakukan kekerasan hingga penyiksaan terhadap mereka. Sehingga, di masa itu juga warga etnis Rohingya itu dicabut kewarganegaraannya dan memulai siklus forced displacement yang terjadi di tahun-tahun berikutnya.

Gelombang besar kaum Rohingya yang kedua datang di tahun 2017 ketika terjadi konflik antara kelompok militia dengan militer Myanmar yang menyebabkan kurang lebih 700 ribu populasi Rohingya pergi ke Bangladesh. Fasilitas kesehatan dan kemanusiaan lainnya yang tersedia di dalam kamp di Cox's Bazar tidak dapat mengatasi gelombang yang datang sehingga sinyal kepada dunia internasional segera diluncurkan untuk memberi bantuan humanitarian (MSF, 2019). Sehingga, selepas dari tahun 2017 itu banyak warga Rohingya yang masih terus berdatangan. Populasi Rohingya menjadi terus naik hingga mencapai jumlah lebih dari 1 juta di dalam kawasan Cox's Bazar saja.

Keberadaan kelompok Rohingya di dalam Bangladesh dengan jumlah yang besar bukanlah tanpa alasan. Pada masa itu banyak sekali negara besar yang menutup batas wilayahnya apabila menyangkut pengungsi seperti Rohingya namun Bangladesh justru menerima mereka dengan lapang dada. 

Oleh karena itu, Bangladesh memegang status sebagai negara dengan jumlah pengungsi Rohingya terbanyak di dunia. Diketahui, terdapat 2 hal yang dapat menjelaskan aspek ini yaitu solidaritas muslim dan kemanusiaan serta warisan dari trauma di masa lalu Bangladesh.

Menurut Tazreena Sajjad (2020), setelah melakukan wawancara terhadap beberapa pihak yang ada di Bangladesh, islam menjadi dasar utama dari kebanyakan warga yang telah membantu. Karena warga Rohingya yang diusir kebanyakan beragama islam, serta fakta bahwa agama menjadi alasan utama dari kekerasan yang mereka alami, maka hal itu yang menyebabkan munculnya perasaan solidaritas terhadap mereka. Selain itu, dasar kemanusiaan juga menjadi motivasi bagi Bangladesh untuk membantu warga Rohingya.

 Seperti yang dikatakan oleh Perdana Menteri Hasina pada awalnya yang dengan terus terang menyatakan bahwa Bangladesh dapat membiayai warganya serta warga Rohingya. Sehingga, bagi Bangladesh pada saat itu tidak ada masalah untuk menerima Rohingya masuk ke dalam wilayahnya. Unsur zakat dan membantu orang yang kekurangan juga menjadi alasan bagi Bangladesh untuk membantu Rohingya. Bahkan banyak dari warga lokal yang berkecukupan ikut menyumbang terhadap kamp pengungsian atas dasar keinginan untuk bersedekah.

Kemudian, alasan yang kedua adalah Bangladesh yang dapat bersimpati dengan warga Rohingya atas kesulitan serta kekerasan yang telah dialami. Hal ini didasarkan kepada trauma masa lalu Bangladesh. Bangladesh yang telah merasakan periode konflik di bawah Pakistan di masa lalu merasa bahwa dengan adanya warga Rohingya yang datang dan meminta bantuan tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa adanya negara yang menaungi. Sehingga, Bangladesh menerima mereka dengan senang hati karena mereka telah tahu bagaimana rasanya tersiksa di bawah rezim yang menindas warganya.

Seiring dengan berjalannya waktu, tanggapan yang diberikan oleh warga lokal Bangladesh kian berubah drastis. Terdapat 3 fase yang bisa menjelaskan fenomena ini (Ansar dan Khaled, 2021). Fase pertama adalah ketika warga Rohingya datang secara berbondong-bondong di tahun 2017. Di fase ini, tanggapan yang diberikan oleh warga dan pemerintah cukup baik. Mulai dari memberikan bantuan, tempat tinggal, makanan, hingga fasilitas kesehatan. Hal ini juga menunjukkan cerminan dari alasan yang ditunjukkan di paragraf sebelumnya. Solidaritas yang ditunjukkan ini tersebar baik di level lokal domestik maupun level nasional serta dilakukan oleh pemerintah dan warganya.

Lalu, fase kedua dimulai ketika adanya organisasi, baik lokal maupun internasional, yang mulai mengambil alih manajemen dari situasi yang ada (Ansar dan Khaled, 2021). Fase ini memberikan perspektif yang baru kepada warga lokal mengenai dampak yang diberikan kepada wilayahnya. 

Kemudian, datanglah fase ketiga ketika rasa solidaritas yang tadinya diberikan kepada kaum Rohingya mulai berubah menjadi rasa tidak suka. Dampak yang terjadi terhadap komunitas lokal menjadi cenderung merugikan dibandingkan warga Rohingya. Misalnya saja bantuan yang diberikan oleh bantuan humanitarian selalu difokuskan kepada kelompok pengungsi Rohingya tanpa memerdulikan situasi lingkungan dan ekonomi bagi warga lokal.

Keberadaan dari etnis Rohingya di kawasan Bangladesh tanpa adanya masa depan yang jelas, terutama dengan usaha repatriasi dengan Myanmar yang tidak berjalan dengan lancar menyebabkan konflik antara warga lokal dengan mereka menjadi makin memanas. Tak hanya itu, bahkan bisa dikatakan bahwa keberadaan etnis Rohingya turut menjadi beban bagi negara Bangladesh. Perdana Menteri Hasina yang dulunya menyambut kaum Rohingya kian merubah pendapatnya di tahun 2019. 

Beliau berpendapat dengan merujuk kepada kelompok Rohingya sebagai ancaman terhadap keamanan Bangladesh (NDTV, 2019). Menurut Sajjad (2020), meningkatnya permasalahan mengenai infrastruktur, ekonomi, lingkungan, juga turut menaikkan isu mengenai land insecurity sebagai bahasan yang cukup populer di dalam konteks host country dan pengungsi.

Konflik yang muncul atas permasalahan Rohingya di Bangladesh meliputi persaingan pekerjaan antara warga lokal dan warga Rohingya. Hal ini kemudian menyebabkan penurunan drastis hingga 50% di gaji para pekerja kasar (Ansar dan Khaled, 2021). Selain itu, juga terdapat permasalahan mengenai persaingan dalam mendapatkan sumber daya alam yang ada di sekitar wilayah pengungsian. Perebutan wilayah tanah dengan warga juga menjadi perbincangan yang harus ditemukan solusinya. 

Berbicara mengenai tantangan yang ada, Uddin (2018) juga turut menekankan beberapa aspek yang harus segera dicari solusinya yaitu aspek food security, hukum yang mengikat terkait kesejahteraan dan keamanan warga pengungsi, masalah terkait dengan penyelundupan wanita dan anak-anak, degradasi lingkungan, serta populasi lokal.

Di antara semua masalah yang telah disebutkan di atas, maka sepatutnya pemerintah dan organisasi yang terlibat harus mencari solusi yang berkelanjutan. Karena dengan kurangnya minat yang diberikan oleh Myanmar untuk menerima kembali warga Rohingya, hal itu menyebabkan kesengsaraan yang dialami oleh warga lokal Bangladesh dan kaum Rohingya sendiri menjadi berstatus tidak jelas. 

Pemerintah dan organisasi yang terlibat harus lebih mempertimbangkan banyak hal agar situasi yang ada tidak semakin merugikan. Karena berdasarkan warga Bangladesh, di dalam agenda kebijakannya Bangladesh masih tidak mengikutsertakan dilema ini dan juga tidak tertarik untuk membahasnya (Ansar dan Khaled, 2021).

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dengan keberadaan kaum Rohingya di Bangladesh, niat awal Bangladesh yang ingin membantu Rohingya atas dasar kemanusiaan lama kelamaan turut berubah menjadi rasa kebencian. Hal ini dikarenakan keputusan mengenai repatriasi yang tidak kunjung dapat diterapkan. Di saat yang bersamaan keberadaan kelompok Rohingya di Bangladesh yang masih tidak memiliki kejelasan batas waktu semakin merugikan kondisi ekonomi warga dan lingkungan sekitarnya. Sehingga, diperlukan usaha diplomasi dan perumusan kebijakan yang sifatnya berkelanjutan untuk dapat mengatasi permasalahan ini.

 

Referensi:

Ansar, A., Md. Khaled, A.F. (2021). From solidarity to resistance: host communities' evolving response to the Rohingya refugees in Bangladesh. Int J Humanitarian Action 6, 16. https://doi.org/10.1186/s41018-021-00104-9

MSF. (2019). Timeline: A Visual History of the Rohingya Refugee Crisis. Doctors Without Borders. https://www.doctorswithoutborders.org/latest/timeline-visual-history-rohingya-refugee-crisis 

NDTV. (2019). Rohingya Refugees in Bangladesh are "Threat to Security": Sheikh Hasina. https://www.ndtv.com/world-news/rohingya-crisis-sheikh-hasina-says-rohingya-refugees-in-bangladesh-are-threat-to-security-2130945

Sajjad, Tazreena. (2020). As Bangladesh hosts over a million Rohingya refugees, a scholar explains what motivated the country to open up its borders. The Conversation. https://theconversation.com/as-bangladesh-hosts-over-a-million-rohingya-refugees-a-scholar-explains-what-motivated-the-country-to-open-up-its-borders-133609

Uddin, Nasir. (2018). Rohingya Refugees in Bangladesh: Five Challenges for the Future.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun