Mohon tunggu...
Maydi Hanivirgine
Maydi Hanivirgine Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Karakteristik Nasi Ponggol Setan dan Hubungannya dengan Mata Pencaharian Masyarakat Kota Tegal

7 Januari 2021   23:06 Diperbarui: 7 Januari 2021   23:11 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliner. Sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com/Rembolle

Tegal merupakan salah satu kota yang menjadi bagian dari kesatuan wilayah Jawa Tengah. Wilayahnya berada di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Menjadi salah satu daerah yang berdiri di wilayah pantai utara Jawa, Tegal sering dijadikan tempat persinggahan dan perdagangan. Hal ini sudah ada sejak zaman koloni Belanda dulu. Banyak nelayan dari berbagai daerah yang turut singgah di daerah Tegal karena Kota Tegal sudah terkenal menjadi daerah dengan potensi perdagangan yang tinggi. Oleh karena banyaknya pendatang, kehidupan di Tegal diwarnai dengan akulturasi budaya dari penduduk lokal dan pendatang (Vibriyanti, 2014:46).  Selain itu, Tegal juga dikenal sebagai garda pertahanan logistik bagi Kerajaan Mataram. Hal ini jelas memengaruhi kehidupan bagi masyarakat lokal. Pada abad ke-16, Tegal menjadi daerah dengan pusat perdagangan, agama, dan asimilasi kultural yang sangat ramai. Secara historis, salah satu faktor ramainya perdagangan di Tegal adalah karena masyarakat lokal mampu menjalin hubungan yang baik dengan negeri Tiongkok dan pedagang asal Gujarat (Koja). Dalam praktiknya, para pendatang ini tidak hanya membuat sebuah kultur kebiasaan baru di kalangan masyarakat Tegal, namun mereka juga bertanggung jawab atas adanya persebaran ajaran agama (Vibriyanti, 2014:47).

Jika ditelusuri lebih detail lagi, kehidupan perdagangan di Tegal menjadi sebuah unggulan dari kota ini. Dengan basic perdagangannya, Tegal mampu menopang poros ekonomi sehingga menjadi daerah yang cukup kuat untuk berdiri sendiri. Hal ini tentu berimbas pada kehidupan sekarang, di mana Tegal menjadi daerah yang masih sangat eksis. Sampai saat ini pun, kegiatan berdagang menjadi lapangan utama yang banyak diminati oleh masyarakat Kota Tegal. Hal ini terbukti dari ramainya para pedagang yang banyak ditemui di pinggir jalan, baik pedagang dalam skala penjualan yang besar maupun juga dalam skala yang kecil.

Pedagang yang sering ditemui adalah pedagang-pedagang makanan atau minuman. Ketika berkunjung ke alun-alun (sebelum revitalisasi), pandangan mata akan disuguhkan dengan puluhan para pedagang kaki lima. Mereka menjual berbagai jenis kuliner, mulai dari jajanan ringan sampai makanan berat. Selain terkenal akan warteg dan hasil lautnya, Tegal juga banyak dikenal sebagai daerah yang kaya akan kulinernya. Satu hal yang menarik dari kota ini adalah kekreativitasan dari masyarakat dalam mengolah hasil pangan yang ada.

Salah satu dari sekian banyak makanan khas dan makanan yang eksis di Tegal adalah nasi ponggol. Makanan ini sangat mudah dijumpai di sepanjang jalan Kota Tegal. Nasi ponggol merupakan makanan yang di dalamnya berisi nasi dengan lauk sambal goreng tempe. Nasi dan sambal goreng tempe ini kemudian dibungkus dengan menggunakan daun pisang yang dipincuk dengan dua biting lidi kecil di kedua ujungnya (Asdhiana, 2010). Namun, zaman sekarang banyak pedagang yang menggunakan kertas minyak yang dilapisi koran sebagai alas luar untuk mengganti alas daun pisang tersebut. Selain dibungkus dengan menggunakan daun pisang dan kertas minyak, ada beberapa pedagang yang menggunakan daun jati. Penggunaan daun pisang dan daun jati ini dipercaya menambah rasa cita rasa nikmat di dalamnya.

Di kalangan masyarakat Tegal, nasi ponggol biasa disebut dengan sega ponggol, di mana sega merupakan nasi dalam bahasa Jawa. Sangat mudah untuk menemukan makanan olahan tempe ini. Sebab, banyak sekali masyarakat yang menjualnya di sekeliling kota. Nasi ponggol biasanya dijadikan sebagai menu sarapan. Hal itulah yang menyebabkan banyak pedagang yang menjual nasi ponggol di pagi hari. Namun, tidak sedikit juga yang baru mulai membuka usahanya di sore hari. Pada dasarnya, nasi ponggol sangat nikmat untuk disantap kapan saja tanpa ada waktu tertentu (Asdhiana, 2010).

Nasi ponggol tidak hanya terkenal di Tegal saja. Makanan ini pun turut eksis dalam kehidupan sehari-hari di kota-kota tetangga, seperti di Brebes, Pemalang, dan sekitarnya. Sebab kekhasan dan kesederhanaannyalah nasi ponggol menjadi makanan yang ramah bagi masyarakat. Oleh karena itu, ada beberapa pendapat yang berkaitan dengan munculnya nasi ponggol. Jika ditilik dari perjalanannya, tidak ada sebuah sumber yang menyatakan bahwa nasi ponggol berasal dari Tegal. Asal mula adanya nasi ponggol kemudian menjadi bahan perdebatan bagi masyarakat Tegal, Brebes, dan Pemalang.

Pada zaman dulu, sega ponggol merupakan makanan yang sengaja dibuat untuk para pekerja di sektor perkebunan tebu. Ponggol biasanya disajikan sebagai menu makanan yang diberikan oleh majikan atau mandor kepada para pegawainya. Sama halnya di Tegal, nasi ponggol juga diberikan untuk para petani bawang sebagai menu sarapan saat hendak pergi ke kebun.

Menurut penuturan dari Mbah Soewarso Ronggo Kastuba (pensiunan matri polisi di awal kemerdekaan) tahun 1979, sega ponggol diberikan untuk para pekerja perkebunan tebu ada zaman penjajahan Belanda dulu. Pemberian nasi ponggol yang telah dipincuk merupakan bentuk pembagian yang adil dan cukup untuk semua pekerja. Dari cerita beliau, kemudian ditarik hubungan bahwa pabrik gula banyak ditemukan di daerah Tegal maka nasi ponggol tetap khas milik Tegal dan Brebes (Mas Agus, 2013).

Sambal goreng tempe yang ada di dalam nasi ponggol menjadi daya tarik tersendiri. Sebab, tempe yang dimasak dengan sambal ini memiliki rasa manis dan pedas yang menggugah selera (Asdhiana, 2010). Rasa pedas yang dimiliki sambal goreng tempe merupakan representasi dari kebiasaan masyarakat Tegal yang sangat menyukai olahan makanan dengan rasa pedas. Rasa pedas dalam ponggol juga dapat ditemui pada banyak masakan-masakan yang ada di warteg atau warung Tegal.

Penyebutan nasi ponggol sering disandingkan dengan kata setan di belakangnya, menjadi nasi ponggol setan. Dari namanya, makanan ini sudah menjadi perhatian khusus bagi masyarakat luar daerah yang baru pertama kali mendengarnya. Pengertian setan yang dimaksud bukanlah wujud hantu yang berada di tempat para pedagang nasi ponggol. Secara historis, nasi ponggol setan memiliki beberapa versi pemaknaan terhadap kata setan tersebut. Versi pertama menyebutkan bahwa interaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan tak kasat mata. Dalam pengertian ini, kata setan diartikan sebagai sekat pembatas antara penjual dan pembeli. Menurut cerita yang beredar, dulu pembeli memang tidak bisa melihat penjual nasi ponggol tersebut secara langsung.

Oleh karena itu, setan di sini diartikan sebagai sesuatu yang seram. Versi kedua menyebutkan bahwa penambahan kata setan setelah frasa 'nasi ponggol' merupakan representasi rasa pedas yang sampai membuat kesetanan bagi penikmatnya Saking pedasnya dan tidak ada kata yang dapat mewakili rasa itu sehingga nama makanan ini disebut sebagai nasi ponggol setan. Rasa pedas pada sambal goreng tempenya memang sangat terlihat jelas. Dengan warna cokelat kemerahan, orang-orang akan tahu bahwa ponggol memiliki rasa pedas (Islamiya, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun