Mohon tunggu...
Mayasari Noer
Mayasari Noer Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Widuri & Charlie "Chaplin"

19 Mei 2017   13:30 Diperbarui: 19 Mei 2017   15:27 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“You have a very beautiful dark eyes.”

“But I like yours more than mine.”

“Oh, c’mon.”

*

     “Widuri, kamu harus coba ikan haringnya…enak. Ayo coba! I’ll pay for you!”

     “Please pay another thing for me, like buy me a house, but not this!” aku mencoba melepaskan cengkraman tangan Charlie yang sedari tadi mendorongku ke kios yang menjual tumpukan ikan mentah dan ikan asap.

     Charlie menunjuk ke seorang bocah lelaki yang menghabiskan ikan haring berukuran kecil dengan sekali lahap, “Kamu kalah Widuri.” aku tak peduli samasekali. Yang kupedulikan, adalah ketika melihat sang ayah mengelus rambut bocah tadi.

     “Chaplin, he loves him so much.” aku tak bergeming dari tempatku.

     “Kamu tidak pernah? My father always did the same…did you have a nice timewith your father?”

    “Yap, tentu saja.” aku menjawab asal-asalan.

     “Wanita cantik suka berbohong. Kamu juga. Tapi kalau kamu makan ikan haringnya, I’ll do the same to you like he did to his son.” aksen western Charlie ala Dutch yang samasekali tidak bisa hilang dalam bahasa Indonesianya yang sangat fasih, terdengar nakal. Aku tersenyum, “You are a very niceperson, Chaplin.”

    “Tapi kamu tidak bisa sebut namaku dengan benar.” Charlie menunjukkan wajah pura-pura tersinggungnya. Aku menepuk bahunya jengkel, “Dan namaku? Widuri dan Linda terlalu jauh jaraknya…tapi Chaplin dan Charlie? Wait…kenapa kamu panggil aku Widuri? Apa pacarmu dulu waktu kuliah di Indonesia juga kamu panggil Widuri?” mataku berbinar-binar usil.

    Charlie terlihat berpikir sejenak. “Widuri, aku tidak mau cerita.”

    “Ok, tapi ajak aku keliling Mastricht ya? Aku pingin ke jembatan itu. Pemandangan kanalnya bagus.” aku menunjuk ke arah jembatan besar yang menghubungkan sisi kota yang lain dengan sisi kota tempat kami berada. Di sepanjang kanal yang membelah kota, berjejer bangunan-bangunan kuno antik. Dengan atap-atap tinggi menjulang dan jendela-jendela kokoh berbingkai putih, dari jauh bagaikan sangkar burung yang dicat merah bata, putih, coklat, bahkan hijau.

    Sebenarnya, aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Di sini aku belajar untuk sangat menghargai kehidupan pribadi orang lain. Suatu jawaban yang sangat terus terang, dan aku harus menerimanya tanpa bertanya lebih lanjut – ada apa sebenarnya?

    “Beres bos,” Charlie menarik tanganku, dan setengah berlari aku mengikuti langkah kakinya yang lebar. “Hari ini terlalu hangat untuk bercerita sedih, ada kamu, kita harus tertawa seharian.” Charlie memamerkan senyum lebarnya. “Ayo, kamu kutraktir ice cream.”

    Kami akhirnya berhenti untuk menikmati semangkuk ice cream di sebuah kafe yang menggelar meja dan kursi di luar. Semuanya dipadati orang yang bersantai sambil berjemur, sekedar minum cold beer atau segelas witte wijn dingin sambil menikmati kentang goreng dengan garlic sauce. Ada juga beberapa pasangan yang duduk saling bertatap-tatapan dengan mesra, saling menggenggam tangan, tanpa berkata-kata. Selalu menyenangkan untuk melihat sesuatu yang indah, walau itu kebahagiaan orang lain yang samasekali tidak kukenal.

    “Widuri, kamu tahu kan orang Belanda sangat tergila-gila sama makanan Indonesia?”

    “Yap, di Leeuwarden banyak restaurant Indonesia, juga ada TOKO, KIOS.” aku sibuk menyendok ice cream ke mulutku, seolah takut akan direbut Charlie.

    “Hehe, tahu tidak di snack bar mereka jual kentang goreng dengan satay sauce, satay ayam, juga kerupuk emping. Even McDonald, they sell satay sauce. Juga di supermarket mereka jual lumpia goreng Semarang, sop buntut, baso sapi, semuanya instant!”

    “Wah, rasanya bangga ya jadi orang Indonesia. Chaplin, aku minta sedikit ya ice cream-mu. Punyaku sudah habis.” tanpa menunggu jawaban, aku menyendok ice cream rasa manggo dari mangkuk Charlie. “Enak,”

    “Kamu wanita Indonesia yang sangat rakus dan sedikit tidak sopan.” Charlie benar-benar mulai akrab dengan kebiasaan rakusku.

    “Hehehe…aku kan tidak perlu sopan. Kamu kan bukan orang Indonesia, lagian kita kan teman.” sahutku membela diri.

    “Aku memang bukan orang Indonesia, tapi aku juga tergila-gila semua tentang Indonesia, aku pingin tinggal di sana. Hidup di sana sangat kaya…mataharimu selalu hangat.” Charlie menerawang jauh, “Anyway, thanks for calling me a friend.” mata biru Charlie terlihat jernih dan bersinar keperakan. Terbias cahaya matahari, di sini di bawah birunya langit di Mastricht.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun