Mohon tunggu...
yunita nurisfa mayasari
yunita nurisfa mayasari Mohon Tunggu... -

hanya mencari kebahagiaan lewat sebuah tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Mampukah Aku Menjadi Sepertimu, Mama

23 Desember 2013   19:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No Peserta : 498

Matahari masih menyapaku pagi ini, udara sejuknya pun masih bisa kurasakan, Alhamdulillah. Walau badan masih lemah, wajah yang sayu, rambut sedikit gimbal, badan yang lusuh karena dua hari ini aku tak mandi. Aku berusaha bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar. Entahapa tanggapan suami dananak-anakku ketika melihat penampilanku saat ini. “Wah, mama udah sembuh”. Fira putri kecilku berlari memelukku. “Adek kangen mama, mama jangansakit lagi ya”, rengeknya manja. Diiringi senyuman hangat suami dan anak pertamaku, Alya. Ada perasaan bahagia saat itu, ku balas memeluknya erat dan mencium pipi halusnya. Tetapi, Ya Tuhan, sesaat hatiku mengeluh. Kupandangi ruangan yang berantakan, dari ruang tamu sampai dapur, rumah ini seperti kapal pecah. Mainan berserakan, kertas-kertas dan alat tulis bertebaran, bantal, sandal, piring kotor, semua berserakan di lantai. Belum lagi debu yang menutupi lantai dan semua perabotan. “Kenapa rumahnya berantakan gini, siapa yang habis marah-marah?”. Pertanyaan ku ini kutujukan kepada mereka semua, Mas, Alya dan Fira. Tetapi yang ku dapat hanya tatapan dan senyuman. Aku mengerti maksud senyuman dan tatapan dari mereka, “Mau gimana lagi, lah wong mamanya sakit”.

***

Bbrrr… dingin. Setelah dua hari tak merasakan guyuran air, tubuhku menggigil. Meskipun begitu, kurasakan kesegaran dan semangat sesudahnya. Rapih sudah diriku. Mataku masih saja berkeliaran di antara ruang-ruang, bingung, mana yang harus kukerjakan dahulu. Tebersit di fikiranku, “Inikah nasib seorang ibu? tak jauh beda dengan pembantu, dari A sampai Z semua harus aku dan aku”, aku pun mengeluh. Kuayunkan tangan, satu persatu kukerjakan, dengan badan yang masih gemetaran, ternyata aku belum makan. “Mas, kenapa gak bantuin sih? Nyapu, cuci piring, atau apa aja kek yang gampang”, keluhku pada suami yang saat itu sedang libur. “Hehehe…”, hanya itu yang keluar dari bibirnya. Sambil terus asik main Play Station bersama Alya.

Saat mesin cuci kuputar, disambi mencuci piring yang sudah menumpuk sejak kemarin, fikiranku melayang jauh. Satu sosok kukenang dalam lamunanku. Terbayang satu wajah penuh cinta namun begitu tegas, penuh kasih tapi tak pernah memanjakan, penuh perhatiandengan berbagai omelan, mama. Bayangan mama terus bermain di pelupuk mataku. Kukerjakan semua tugasku sambil terus memikirkannya. Sosokyang begituhebat, kuat dan tangguh, begitulah penilaianku untuknya. Timbul pertanyaan di benakku, “Bagaimana dulu mama bisamengerjakan semua pekerjaanya? tanpa beban dan tanpa keluhan”. Padahal mama mengurus kami, kelima anaknya dengan jarak usia yang berdekatan. Hmm.. membayangkannya saja sudah sakit kepalaku.

Kriingg…kriingg…, telephone di ruang keluarga berkali-kali berdering. Sepertinya tak ada yang mengangkat telephone. Aku melangkahkan kaki dengan cepat, menuju ruang tengah. Kuperhatikan Mas dan Alya yang sedang asik bertarung di PS dan Fira asik denganbonekanya. Kuperhatikan lagi ruangan ini. Bukankah tadi sudah kurapihkan, kenapa sekarang berantakan lagi? aku hanya bisa menarik nafas panjang. Kriing.. kriing… Sekali lagi telephone berbunyi, tetapimereka tetap tak ada yang bergeming. Ku hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala, “Astaghfirullah..”, desahku. Dan segera menuju meja telphone.

“Assalamualaikum..”, suara salam dari telphone. Suara itu sangat aku kenal, suara yang selalu kurindu, suara yang bisa menenangkan hatiku di saat-saatjutek begini.

“Waalaikumsalam ,Ma”. Jawabku pasti.

Banyak yang aku dan mama bicarakan saat itu. Salingbertanya kabar, maklum saja sudah hampir seminggu aku tak memberi kabar padanya. Saat itu kukatakan kabarku baik, walaupun kenyataannya aku belum sembuh benar. Kemudian mama bertanya apa menu masakanku hari ini. Ia juga bertanya bagaimana kabar cucu-cucu dan menantunya. Oh mama… betapa pedulinya engkau padaku dan keluarga kecilku ini. Saat itu ingin sekali aku berteriak memanggilmu. Ingin sekali aku mengadu padamu. Ingin ku dengar omelanmu bahkan terkadang menegurku dan memarahiku. Tapi semua tak terucap, karena tiba-tiba saja telphone terputus. Kucoba menelphone kembali, tetap tidak tersambung, “Telephone yang anda tuju belum terpasang”. Suara operator itu membuatku sedikit kesal.

***

“Obatnya jangan lupa diminum ya Mey”. Mas berpesan padaku sebelum ia berangkat ke kantor. “Jangan lupa masak yang enak ya”, katanya lagi, sambil mencubit pipiku dan kemudian mencium keningku. Kubalas dengan pelukan dan melepasnya dengan senyuman. Sebenarnyahatiku senang dengan perlakuan manis suamiku, tapi setelah kepergiannya aku tetap saja manyun. “orang masih lemes masih aja disuruh masak” gerutuku.

Anak-anak sudah berangkat sekolah. Tinggallah aku sendiri, terasa begitu sepi. Kuingat lagi hari-hari kemarin. Sebulan ini dua kali aku jatuh sakit, kenapa ya? Aku berusaha mengoreksi diri. Terbayang wajah Mas yang keletihan sepulang kerja, pergi pagi pulang petang, lalu ia dapatkan wajahku yang buram, atau kondisiku yang tidak fit. Terbayang pula wajah anak-anakku yang bermandi peluh sepulang sekolah, dan memanggilku “Mama lapar, mama masak apa?”. Lalu pantaskah aku menggerutu, saat mereka ingin bersantai menikmati hari liburnya? Mengapa aku menuntut mereka membantuku untuk mengerjakan pekerjaanku? Oh tuhan.., karena inikah aku sakit? Apa aku terlalu menuntut mereka untuk menjadi sempurna?Benarkah aku seseorang yang perfecsionis? Sehingga saat semua tak tercapai sesuai inginku, otakku tak mampu berfikir, hingga tubuhku lemah dan akhirnya sakit. “Ya Allah…”, kemudian tetes demi tetes air jatuh dari mataku.

Kriing…, bunyi telephone di ruang tengah mengejutkanku.

“Assalamualaikum…”, jawabku dengan suara agak serak.

“Waalaikumsalam.., kenapa Mey?”, suara mama dari balik telephone.

Aku tersentak. Tak kukira mama paham perubahan suaraku. Kucoba tarik nafas dalam, mencoba tenangkan perasaanku.

“Gak apa-apa ma”, aku mencoba berkilah. Aku tahu mama tidak mungkin begitu saja percaya.

“Jawab kenapa, kalo gak mama gak mau nelpon lagi”. Sudah kuduga, mama pasti mengeluarkan jurus ancamannya itu.

“Kemarin Mey sakit ma”. Ku coba membuka cerita. Pastilah omelan mama akan beruntun kudengar. Tapi itu juga yang akan membuatku tenang. Omelan mama juga yang akan membukakan hati dan fikiranku. Entah mengapa, tapi dari dulu itu yang kurasakan. Banyak nasehat dan ceramah yang kudengar, tapi jika mama belum berkotbah, masih belum kufikirkan.

“Sakit apa? Kenapa lagi? emang gak bosan ngasih uang ke dokter? Sebulan sampe dua kali…, kalau lagi banyak uang sedekah aja, jangan sakit!”. Aku yang tadinya agak cengeng, bisa tersenyum mendengar deretan pertanyaan mama. Kalau tidak ku potong omelannya, pastilah sudah sepanjang gerbong kereta.

“Mama, emang gak mau dengar curhat Mey?”, ucapku pelan. Beliau pun mengiyakan. Aku pun bercerita, mengeluarkan semua apa yang telah mengganggu fikiranku saat ini.

“Mey capek ma. Semua Mey kerjain sendiri. Mas dan anak-anak bukannya bantuin malah makin berantakin. Udah tau Mey sakit, kerjaan ditumpuk. Bukannya bantuin kek, kan jadinya Mey pusing ma, belum lagi….”, belum selesai aku curhat mama memotong ceritaku. “Dengerin…!”. Dari nada suaranya sepertinya mama siap untuk menasehatiku, menegurku, memarahiku, entah apapun itu. Kujawab “Iya , ma”. Kudengarkan semua petuah dan nasehatnya. “Jadi orang itu harus banyak bersyukur. Jangan Cuma bisa menuntut. Lagi pula tugasmu itu sudah sewajarnya. Emang mau dibalik? suamimu kerja di rumah, nyapu, nyuci, masak, semua yang biasa kamu kerjakan dikerjakan suamimu. Terus kamu kerja di luar cari nafkah, pergi pagi pulang kadang malam, mau? Dia gak bisa bantu harusnya kamu paham, dia capek kerja di luar, belum lagi mungkin bertemu orang-orang yang tidak bersahabat, bikin hatinya jengkel. Dia juga meninggalkan kamu dan anak-anak dengan hati yang was-was. Bekerja dengan tenaga dan fikiran itu lebih capek Mey”. Mama melanjutkan ceramahnya, “Terus anak-anakmu. Mereka itu masih kecil, belum mengerti. Pelan-pelan kamu ajari, jangan dimarah. Suatu saat mereka akan berlari menjauhimu, jika masa kecilnya hanya merekam kemarahanmu. Ajarkan mereka bertanggungjawab, pelan-pelan, pasti mereka mengerti. Kalau kamu memaksakan kehendakmu, kamu sendiri yang rugi Mey, itu buktinya sakit kan? Lama-lama bisa jantungan”. Mama mengambil nafas sejenak, dan melanjutkan ceramahnya “Belajar ngertiin orang itu bagus, gak bakalan rugi. Lagi pula untuk istri semua tugas di dalam rumah tangga itu dihitung pahala, gak susah untuk dapatin syurga, kalau kita mau ikhlas mengerjakan pekerjaan di rumah. Kalau capek ya istirahat sebentar. Toh presiden juga gak datang kerumah kita”. Mama memberikan sedikit candaan. Kemudian melanjutkan, ”Bersihkan hati Mey, jadi kita bisa tenang”. Mama menutup ceramahnya pagi ini. Aku hanya terdiam, meresapi apa yang sudah mama sampaikan barusan, benar-benar mengetuk hatiku.

Oh mama…bangganya aku padamu. Engkau tak pernah mau memanjakan ku, membiarkan aku tenggelam dalam kesalahan. Jika aku benar, engkau hanya memintaku bersabar. Dan jika aku salah engkau akan menegurku, menasehatiku dengan ceramahmu yang sejuk.

Bisakah aku menjadi seseorang yang baik sepertimu, mama. Seseorang yang sangat sabar, kuat dan tegar. Engkaulahbidadari syurga, di telapak kakimu syurga itu nyata. Wanita sholehah yang penuh cinta. Mama, semoga engkau tak malu memiliki anak sepertiku, dan semoga aku pun takkan pernah membuatmu malu. Mama, suatu kebanggaan bagiku bisa menceritakan kepribadianmu, suatu kebahagiaan yang tak terukur aku menjadi anakmu, dan suatu kemuliaan bisa mendapatkan ridhamu. Mama , perasaanku melebihi apa yang aku ucapkan saat ini, betapa aku sangat sayang padamu, engkau idolaku. Mama I love you.

***

Penulis :Yunita Nurisfa Mayasari

www.kompasiana.com/MayaNitasamaaja

tweet @Nurisfamaya

Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

( Grup FB : http://www.facebook.com/groups/175201439229892/ )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun