Mohon tunggu...
Mayang Utami
Mayang Utami Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Bukan Kerajaan

10 September 2016   23:57 Diperbarui: 11 September 2016   00:33 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup mewah dan berkuasa di sebuah kerajaan tentunya menjadi impian banyak orang, namun apa jadinya jika segala kekuasaan itu diraih dengan cara yang tidak baik? Sayangnya, hal tersebut seringkali dilakukan oleh para pejabat negeri ini. Beberapa dari mereka bahkan berani membangun kerajaan pribadinya dalam tatanan negara Indonesia. 

Misalnya saja Yan Anton Ferdian, Bupati Banyuasin Sumatera Selatan, yang terlibat kasus suap baru-baru ini. Yan Anton memang cukup menarik perhatian publik lantaran ia merupakan putra Amiruddin Inoed yang pernah menduduki jabatan yang sama selama dua periode berturut-turut. Hal inilah yang kemudian membuat banyak orang menduga Yan Anton sebagai produk politik dinasti.

Sebenarnya, praktik politik dinasti ini bukanlah hal yang baru dalam dunia perpolitikan Indonesia. Sebut saja, Ratu Atut. Mantan Gubernur Banten itu tidak tanggung-tanggung dalam membangun kerajaan politiknya. Sejak menjabat Gubernur Banten, ia berhasil ‘membantu’ ibu tirinya, anak-anaknya, serta menantu-menantunya untuk menduduki berbagai posisi penting di provinsi Banten. (diunduh dari nasional.kompas.com, 9/10/16)

Jika ditilik lebih dalam, dinasti politik ini merupakan sebuah strategi untuk memperoleh sekaligus mempertahankan kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan tersebut kepada orang lain yang memiliki hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Mewariskan kekuasaan dengan cara demikian dapat dimaklumi jika dilakukan dalam lingkup kerajaan yang sebenarnya. Namun sebaliknya, hal tersebut berpotensi menjadi sebuah penyimpangan jika dilakukan dalam lingkup negara, apalagi negara yang berasaskan demokrasi seperti Indonesia.

Lalu, jika hal tersebut memang salah, mengapa tidak ada tindakan dari pemerintah? Pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk mencegah timbulnya praktik politik dinasti ini dengan membuat peraturan pada Pasal 7 huruf (r) UU nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan UU nomor 1 tahun 2015.

Pasal tersebut berisikan himbauan agar calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan pertahana. Maksudnya, para calon kepala daerah tersebut dilarang memiliki hubungan kekerabatan, hubungan darah, atau pernikahan dengan pertahana (kepala daerah yang sedang menjabat) saat pilkada berlangsung. Namun sayangnya, peraturan tersebut batal diterapkan berdasarkan sidang putusan perkara nomor 33/PUU-XIII/2015 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Konsep demokrasi yang berlaku di Indonesia sudah tentu bertetangan dengan politik dinasti ini, sebab konsep tersebut mengedepankan legitimasi dan reproduksi kekuasaan yang melibatkan orang banyak. Oleh sebab itulah, para pemimpin dan calon pemimpin seharusnya mengerti bahwa politik adalah urusan publik. Jadi, mari berpolitik dengan jujur agar Indonesia lebih makmur.

Referensi:

Kekuasaan dinasti politik, bawaslu-babelprov.go.id, diakses pada tanggal 8 Setember 2016

Produk politik dinasti bermasalah, kpk.go.id, diakses tanggal 9 September 2016

Titik kelam upaya pemberantasan politik dinasti di Indonesia, cnnindonesia.com, diakses pada tanggal 8 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun