Itu adalah hari yang paling dingin di bulan Maret 2009, kalau saya tidak salah ingat. Saya membawa setumpuk buku-buku dari Badan Perpustakaan Daerah Sumatra Barat ke sebuah sekolah dasar swasta di Padang. Saya sudah cukup lama mengenal sekolah itu, jadi tahu apa saja yang ada di perpustakaannya yang kecil.Â
Memang ada majalah anak-anak dan buku cerita, tapi jauh lebih banyak lagi buku-buku pelajaran sekolah. Perpustakaan itu, sepengetahuan saya bukan tempat yang dengan suka rela dilirik anak-anak. Umumnya, bila jam istirahat tiba, anak-anak lebih memilih bermain di luar atau berbincang-bincang sambil memakan bekal sekolahnya.Â
Jadi, saya bilang pada kepala sekolahnya kalau saya mau membawakan anak-anak itu beberapa bacaan, dan kalau mungkin, memotivasi mereka untuk membacanya di rumah.
Saya lalu duduk di perpustakaan sekolah yang sangat kecil, ukurannya sekitar 2x3 meter. Seorang guru memanggil murid-murid kelasnya dan mengajak mereka ke perpustakaan. Anak-anak itu duduk melingkari saya. Saya bilang kalau saya punya buku cerita. Anak-anak itu tidak nampak tertarik. Oke, itu buku, so what? Mungkin begitu yang ada di pikiran mereka.Â
Saya lalu mengambil sebuah buku cerita bergambar, kemudian membacakannya untuk mereka. Di tengah cerita, ketertarikan mulai muncul. Saya letakkan buku  itu, lalu tanpa dinyana mereka berebut mengambilnya. Berlomba ingin tahu bagaimana kelanjutan cerita itu.
Inilah kejadian awal yang kemudian menginspirasi terbentuknya Kelas Kreatif Indonesia (KKI), sebuah komunitas yang juga menjadikan namanya sebagai nama gerakan. Berawal dari keprihatinan terhadap rendahnya keberaksaraan anak-anak Indonesia, saya dan beberapa orang teman berinisiatif untuk membentuk semacam kegiatan yang akan memotivasi anak-anak untuk menyukai bacaan sedari dini.Â
Pada mulanya, kegiatan di sekolah dasar swasta tersebut akan dilanjutkan dan diluaskan ke berbagai sekolah, tapi kemudian bencana gempa pada 30 September 2009 membuat rencana itu tertunda. Perlu waktu yang cukup lama untuk pulih dari dahsyatnya bencana. Tercatat, sejak kegiatan di SD swasta itu yang berlangsung selama tiga bulan (Maret-Mei 2009), kegiatan serupa baru diadakan lagi pada Maret 2015. Kali ini tempatnya di gedung Perpustakaan dan Arsip Propinsi Sumatra Barat, dengan persiapan lebih matang, dan visi yang lebih panjang.
Sinergi Komunitas
Apa itu konsep pendidikan semesta? Bagi kami para relawan KKI, konsepnya sederhana: yakni setiap elemen masyarakat saling bersinergi untuk mencapai tujuan bersama. Sebagaimana setiap orang punya potensi masing-masing, setiap komunitas atau lembaga di masyarakat juga punya potensinya sendiri-sendiri. Sebuah peradaban tidak ditegakkan oleh satu atau dua elemen, ia ditegakkan secara bersama-sama oleh setiap unsur masyarakat. Sebuah tujuan besar tidaklah mungkin dicapai sendiri, ia harus dikejar bersama.
Kami di KKI berupaya untuk menyatupadukan semua sumber daya ini. Itulah sebabnya, pertama-tama kami mendekati badan pemerintah, sebagai tempat yang kami yakini punya sumber daya sangat besar. Beberapa kali KKI melakukan semacam audiensi, termasuk dengan kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Sumatra Barat, Drs. Alwis, untuk menghadirkan program-program literasi yang menyasar anak-anak.
Sumber daya lain yang juga tak bisa kami abaikan adalah sumber daya personal yang berserakan di tengah masyarakat. Mereka ada, tapi nyaris tak terdeteksi. Orang-orang yang berjiwa relawan ini harus dikumpulkan, karena mereka ibarat sebatang lidi yang akan kuat dan terasa manfaatnya bila bersama.Â
Hasil Kerja
Kegiatan KKI dimulai pada Maret 2015. Bentuknya adalah pengadaan kelas menulis kreatif di gedung Perpustakaan dan Arsip Sumatra Barat. Murid yang disasar adalah mereka yang masih berusia SD, atau berusia antara 8-13 tahun. Banyak orang yang keliru menyangka bahwa kelas menulis kreatif adalah semata kelas mengarang atau mengkhayal-hayal.Â
Sebenarnya tidak begitu. Materi kelas menulis kreatif yang kami susun bertujuan untuk pertama-tama mengajarkan sistematika berpikir, bagaimana memilih ide-ide (pikiran) yang layak untuk dikemukakan dari sekian lintasan ide yang muncul (pada akhirnya ini juga mendorong anak untuk berpikir dulu sebelum membicarakan sesuatu), dan cara mengungkapkannya dengan baik. Hingga Mei 2016, kami sudah membina tiga angkatan kelas di Badan Perpustakaan dan Arsip Sumatra Barat.
 Ujung tombak kegiatan ini adalah para relawan yang rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran bahkan mungkin uangnya untuk mengajarkan kelas penulisan kreatif di sekolah-sekolah. Perpustakaan daerah pun siap membantu dengan armada pustaka kelilingnya. Kegiatan KKI sekolah periode pertama ini berlangsung selama dua bulan dan selesai akhir Maret 2016 lalu. Penyelenggaraan KKI periode kedua akan dilangsungkan sehabis lebaran. Siswa binaan KKI bertambah, esok juga akan menyasar anak-anak di pesisir pantai Padang.
Harapan
Dalam satu setengah tahun ini, berkat sinergi yang terjadi antara KKI, Badan Perpustakaan dan Arsip Sumatra Barat, Dinas Pendidikan Kota Padang, Media (Harian Rakyat Sumbar), dan relawan, kami sudah mencapai beberapa hal, di antaranya: membina hampir 150 siswa dalam kelas-kelas literasi, membawa para siswa ini untuk menjadi anggota aktif perpustakaan, menemukan calon-calon penulis baru (sebagian tulisan siswa binaan KKI sudah dipublikasikan di harian Rakyat Sumbar dan Harian Padang Ekspres), dan insyaallah kumpulan tulisan-tulisan terpilih para siswa binaan KKI akan diterbitkan dan diluncurkan pada festival sastra yang akan digelar di gedung perpustakaan provinsi Sumbar Agustus mendatang.Â
Peristiwa di hari paling dingin pada Maret 2009 itu buktinya. Bagaimana sebuah upaya kecil (membacakan cerita) ternyata berbuah pada tumbuhnya minat siswa untuk meminjam dan membaca buku-buku yang saya bawa.
Ah, tiba-tiba saya ingat kalau dua seri Harry Potter saya belum mereka kembalikan.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H