“Berapa sewa satu perahu?” tanyaku pada seorang pemilik perahu motor.
“Enam ratus ribu,” jawabnya, “maksimal 15 orang”. Perahunya berwarna biru laut dengan garis merah di sekelilingnya. Tak ada nama yang tertulis di situ.
“Berapa lama?”
“Terserah. Antar jemput.”
Aku dan teman-teman seperjalananku setuju. Aku menapakkan kaki di buritan. Perahu bergoyang pelan. Di bawah perahu, air beriak dalam warna hijau muda. Puluhan ekor ikan kecil berenang-renang dalam warna coklat tua. Aku turun ke dasar perahu. Memasang pelampung berwarna jingga dan duduk seperti anak yang bersiap menanti hadiah kenaikan kelasnya yang pertama.
Kuhirup udara dalam-dalam. Ada yang dihantarkan angin dan gelombang yang meriak lembut. Namanya kenangan. Aku terseret jutaan emosi kebahagiaan dan kebebasan. Aku merasa kanak lagi. Saat perahu berlayar, aku merentangkan tangan ke luar perahu. Pernah pada satu masa aku menjadi bocah perempuan yang gembira menyauk air laut yang hangat dengan jemari kecilnya. Kini masa itu kembali. Air laut yang hangat membasahi kulitku. Menyusup ke dalam pori-pori. Mungkin menyatu dalam aliran darahku. Betapa, semua yang dibawakan laut selalu tidak pernah bisa diduga.
(bersambung…)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H