Mohon tunggu...
Maya Desvina Putri
Maya Desvina Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang

manusia biasa yang ingin pergi ke isekai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Integrasi Kebudayaan: Pendidikan Surau di Minangkabau

24 April 2024   12:08 Diperbarui: 24 April 2024   12:13 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/u9GERbVhjAnzwPfV7

Penilaian dan pandangan antara pengaruh Hindu dan Budha di Minangkabau selalu beragam. Pertukaran kesan dirasakan bolak-balik dari satu bentuk ke bentuk lainnya, dari satu pembuktian ke pembuktian lainnya. Dalam sejarah Minangkabau seperti yang ditulis para ahli sejarah, justru pengaruh Buddha yang menonjol, sedangkan jejak-jejak agama Hindu tidak tampak. Dalam hal ini, pengaruh Hindu bisa saja datang sejak abad ke-5. Bukti di masyarakat justru menunjukkan bahwa terjadi percampuran Islam dengan Hindu, bukan dengan Budha. Artikel ini bertujuan untuk memperkenalkan beberapa fenomena integrasi Hindu-Buddha yang ada dalam masyarakat Minangkabau dan secara budaya dan fisik hadir di masyarakat.

 

Minangkabau adalah kelompok etnis yang hidup terutama di pesisir barat Sumatera dan di Sumatera bagian tengah. Sejarawan dan antropolog mengatakan bahwa wilayah yang diduduki Minangkabau setidaknya menempati provinsi Sumatera Barat, sebagian Riau dan Semenanjung Negeri Sembilan Tanah Melayu. Namun karena semangat masyarakat Minangkabau yang begitu kuat, migrasi penduduk mereka juga menempati Aceh, seperti hal nya suku Aneuk Jamee Aceh Selatan; di beberapa bagian Melaka di mana orang Minangkabau di Melaka konon sudah sibuk sejak abad ke-12. Dinamika dan migrasi masyarakat Minangkabau di Nusantara tentu akan menjadi pembahasan tersendiri, namun dinamika dan migrasi masyarakat Minangkabau akan terkait dengan ditemukannya masyarakat Minangkabau dalam berbagai pengaruh yang dihadapi Nusantara. Dalam ungkapan Minangkabau dikatakan, "sakali aie gadang sakali tapian barubah" (Sekali banjir datang, begitu pula perubahan). Keterbukaan inilah yang menjadi kekayaan dan modal manusia masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, tidak sulit bagi masyarakat Minangkabau untuk membiasakan diri dengan pergaulan nusantara. Dalam ungkapan lain, "dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang", artinya mereka menyesuaikan perilakunya ketika berada di tempat orang lain. Beradaptasi dalam kesatuan nusantara. Dalam ungkapan makna lain, "di mana bumi diinjak, di sana langit dijunjung," artinya mereka menyesuaikan perilakunya ketika berada di tempat orang lain.

Dalam masyarakat Minangkabau, surau merupakan tempat ibadah sekaligus tempat belajar Al-Qur'an untuk menimba ilmu dunia lainnya. Surau juga merupakan tempat mempersiapkan seorang laki-laki untuk menjadi seorang pemimpin. Tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia yang berasal dari Minangkabau, seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, M. Natsir, Hamka dan lain-lain, adalah orang-orang yang dididik di Surau. Mulai dari membaca Al-Qur'an hingga belajar bela diri. Sistem surau dianggap sebagai sistem yang turut melahirkan tokoh-tokoh nasional dari Minangkabau dalam pergerakan nasional Indonesia. Itu sebabnya dia bangga, bahkan ada keinginan untuk membangun kembali sistem surau dengan gaya lama. Namun jika ditelaah lebih dalam, RA Karn mengatakan bahwa Surau yang juga disebut Azyumardi Azra adalah lembaga pemujaan arwah leluhur. Oleh karena itu, surau biasanya dibangun di tempat yang lebih tinggi. Menurut Azyumardi, Islam kemudian melanjutkan dan mengadopsi lembaga yang sudah ada sejak zaman pra-Islam ini. Suaru kemudian menjadi pusat pendidikan Islam di pedesaan, menjadi bagian dari keberadaan Nagari. Dalam sebuah nagari biasanya terdapat beberapa surau yang diawasi oleh kyai atau buya. Adapun bangunan surau/masjid di pedesaan Minangkabau banyak yang menyerupai candi, meskipun berbeda secara signifikan. Kemiripannya terlihat pada bentuk dan atap bangunan bertingkat.

Perlu dicatat bahwa masalah dalam sejarah Minangkabau adalah kurangnya penanggalan tertulis untuk periode awal hingga pra-Islam. Segelintir peninggalan arkeologi, filologi, sastra lisan, dan cerita rakyat telah menjadi referensi umum. Oleh karena itu, sumber-sumber sejarah Minangkabau awal seringkali agak sok atau kontradiktif. Demikian pula asal-usul Minangkabau, perkembangan sejarah sejarah, dan pengaruh Hindu di Minangkabau, yang mungkin bertentangan dengan sumber lain. Namun, kertas kerja belum akan membahas masalah perbandingan. Fokus bahasan ini adalah pemaparan fenomena mengenai bentuk dan akulturasi surau sebagai pengaruh Hindu di Minangkabau, yang di sisi lain bisa saja bercampur dengan pengaruh Buddha.

Fungsi Surau Sebelum Kehadiran Islam

Agama Hindu dan Budha pertama kali menyebar di Nusantara. Sebelum mengenal Islam, masyarakat Nusantara lebih dulu mengenal agama Hindu dan Budha. Begitu juga sebelum Islam datang, Minangkabau sudah lebih dulu mengenal dan menerima agama Hindu-Buddha. Jadi jangan heran kalau masyarakat minangkabau memiliki tradisi dan budaya yang mengandung unsur Hindu dan Budha.

Ini terkandung dalam Peninggalan Kerajaan Pagaruyung. Ketika kerajaan ini berkuasa pada tahun 1347 M, Raja Pagaruyung membangun sebuah surau bernama Adityawarman, yang berfungsi sebagai tempat ibadah umat Hindu dan Budha. Puncak menara bangunan surau yang runcing dan melengkung atau lebih dikenal dengan gonjong mencerminkan kepercayaan mistis tertentu. Bentuk ini masih dipertahankan sebagai lambang rumah adat di Minangkabau.

Fungsi Surau Setelah Kehadiran Islam

Tempat ibadah sangat penting dalam agama dan karena itu tempat ibadah merupakan bukti penyebaran suatu agama di suatu wilayah. Begitu pula dalam Islam, ketika Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah, hal pertama yang dilakukan Nabi Muhammad setibanya di kota Madinah adalah membangun masjid yang kemudian dikenal dengan Masjid Nabawi.

Dengan masuknya Islam, surau berubah fungsi dengan nuansa Islami tanpa harus mengubah namanya. Fungsi utama surau pada masa Syekh Burhanuddin mendakwahkan Islam adalah sebagai tempat pendidikan Islam untuk mendidik kader-kader ulama penggantinya. Dalam kronologi sejarah, surau ini menjadi satu-satunya induk pendidikan Islam di Minangkabau.

Di Minangkabau, Surau dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Surau Nagari adalah lembaga keagamaan selain masjid yang menjadi syarat seorang Nagari.

2. Surau Adat adalah tempat para pemuka suku/Ninik yang menjunjung tinggi budi pekerti anak kemenakan. Oleh karena itu, surau suku merupakan simbol kebaikan.

3. Surau paham keagamaan berupa pusat pengajaran dan pemujaan paham Tarekat, misalnya Surau Pasia Lubuk Nyiur, Surau Tanjung Limau Sundai, Surau Nyaman Taluk dan para ulamanya sangat berpengaruh terhadap Surau Tarekat.

Selain itu, Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama. Selain itu, surau juga menjalankan fungsi lain, antara lain sebagai lembaga pendidikan adat dan budaya. Hal ini dikarenakan Syekh Burhanuddin dikenal sebagai ulama yang menyesuaikan diri dengan budaya setempat dan hal tersebut diyakini sebagai salah satu kunci keberhasilan Syekh Burhanuddin dalam dakwah Islam di Minangkabau.

Berikut fungsi surau setelah hadirnya islam :

Sebagai tempat bermain anak laki-laki sejak pubertas.

Tujuan laki-laki Minangkabau yang telah mencapai pubertas tidur di surau adalah untuk menyediakan tempat bagi laki-laki Minangkabau untuk mengatur diri dan menjadi dewasa. Setiap anak laki-laki harus belajar Alquran, agama dan sains di malam hari sampai dia bermalam di surau.

Ini adalah aturan yang berlaku di Minangkabau karena orang tua tidak menyediakan kamar untuk laki-laki dewasa di rumah dan oleh karena itu mereka harus tinggal di surau. Aturan ini tentunya menjadi sangat penting karena secara tidak langsung dapat membentuk kepribadian, watak dan karakter generasi muda yang mencintai ilmu dan ilmu agama.

2. Sebagai tempat pelestarian adat dan warisan budaya Minangkabau

Silat atau Silek dalam bahasa Minangkabau adalah seni bela diri Minangkabau yang diwariskan secara turun-temurun. Silek diajarkan kepada para pemuda Minangkabau di surau.

3. Sebagai tempat konsultasi

Nabi SAW pernah bersabda: "Barangsiapa ingin melakukan sesuatu kemudian bermusyawarah dengan seorang muslim, maka Allah akan memberinya baptisan untuk memilihkan yang terbaik baginya." Musyawarah menjadi dominan dalam membangun suku, bangsa dan negara.

Sebelumnya, surau berperan penting dalam mewujudkan masyarakat Nan Sakato yang berarti masyarakat yang bersatu, rukun, rukun. Artinya masyarakat Minangkabau harus menjadi masyarakat yang hidup rukun tanpa banyak konflik pendapat untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Keberadaan Surau Saat Ini

Dalam keadaan sekarang, surau tak lagi berperan sebagai dasar dalam membangun karakter anak Minangkabau. Surau tidak lagi digunakan sebagai tempat tinggal anak laki-laki Minangkabau, tetapi sebagai tempat pelestarian dan transmisi adat dan budaya Minangkabau lainnya. Kalaupun surau saat ini masih digunakan untuk mengaji atau di taman pengajian. Hal ini bukan tanpa alasan, karena salah satu penyebab kemunduran keberadaan surau adalah perubahan pola migrasi masyarakat Minangkabau. Saat ini, mereka yang telah pergi ke luar negeri tidak kembali ke kampung halamannya bahkan setelah mereka menikah dan memiliki anak. Hal ini sangat berbeda dengan pola migrasi di masa lalu, dimana laki-laki Minangkabau yang sukses di perantauan kembali ke kampung halamannya dan kemudian berperan dalam keluarga ibunya.

Perubahan pola migrasi secara tidak langsung mempengaruhi fungsi surau di Minangkabau, seperti perubahan sistem kekeluargaan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, dimana anak laki-laki tidak lagi tidur di surau karena sudah disediakan kamar di rumah orang tuanya masing-masing. . Jika terjadi perubahan pola migrasi orang Minangkabau, anak laki-laki kelahiran asing yang sudah puber tidak akan tidur di surau. Hal ini juga dilakukan oleh penyebar "Islam" di Minangkabau, yaitu Syekh Burhanuddin. Dengan sokongan dan bantuan para sahabatnya yakni Idris, Khatib Majalelo, Syekh  Burhanuddin membangun surau sebagai pusat pendidikan Islam di Tanjung Medan, Ulakan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun