Kalau ditanya, apa sih kata-kata paling jahat, menyakitkan dan sampai sekarang belum bisa kamu maafin?Â
Wah, kayaknya banyak ya. Tapi diantara semua itu ada beberapa kata yang sampai sekarang bikin dada aku sesak dan pengen marah banget rasanya kalau ingat kejadian itu. Diantaranya adalah:
 "Ngapain sih kamu kesini-sini. Kamu tuh kayak orang idi*t tau gak?!"
 "Pukul aja dia, pukul!"
 "Eh, dia itu kan orangnya rada miring," kata mereka semua sambil tertawa, seolah itu adalah lelucon paling lucu yang bisa mereka lakukan. Bisakah kalian bayangkan bahwa ternyata ada sekelompok anak perempuan kelas dua SMP yang sudah bisa berkata sedemikian jahat seperti itu?
Dan dalam diamku yang mematung, aku sekali lagi hanya "bisa" diam. Ingin sih rasanya marah tapi seorang guru pernah bilang kalau anak perempuan itu tidak boleh bertengkar. Apalagi bertengkar dengan teman di sekolah. Itu tidak elok dan tidak pantas.
Katanya, anak perempuan itu harusnya lemah lembut, sabar dan menjauhi konflik. Jika ada yang berbuat salah denganmu, doakan saja agar dia mendapat hidayah. Layaknya tokoh-tokoh utama dalam sinetron tahun 2000-an yang dikenal punya hati yang jauh lebih baik dari malaikat.
Tapi sekarang aku merasa bahwa semua itu omong kosong. Bagaimana aku yang dulu bisa menerima begitu saja nasehat tidak berguna itu?!
Kenapa aku harus mendengarkan apa kata beliau yang bijaksana itu tentang bagaimana seharusnya perempuan bersikap ketika dia ditindas?
Seharusnya 17 tahun yang lalu, aku bisa membela diriku tanpa takut akan dinilai tidak pantas atau tidak elok hanya karena aku seorang perempuan.
Jika ditindas, ya lawan! Persetan dengan yang namanya nama baik atau citra sebagai anak perempuan yang baik.
Seharusnya dulu aku tendang saja kepala mereka satu-satu saat mereka menindasku dengan kata-kata jahat itu. Seharusnya aku melawan atau membela diriku sendiri. Bukannya hanya diam dan melihat bagaimana mereka merendahkanku.
Aku benci diriku sendiri. Aku benci diriku yang dulu yang tak bisa membela diri sendiri dari anak-anak sok borjuis itu.
Sudah belasan tahun berlalu, kau tahu apa yang ku dapat dari sikap sabar yang dulu aku punya? ya, trauma issue atau ada juga yang menyebutnya inner child. Aku punya trauma sendiri jika mendengar orang berteriak. Aku takut berada di keramaian karena takut orang-orang akan menilaiku salah. Mudah marah dengan alasan yang tak jelas. Sulit tidur nyenyak dan menyimpan amarah yang tiba-tiba bisa meluap kapan saja.
Aku benci seperti ini, jika boleh kembali ke masa lalu akan kuhajar saja kepala mereka satu-satu.Â
Tapi aku tahu itu tidak mungkin. meski saat ini atau mungkin di masa lalu teknologi akan semakin canggih, tidak ada yang namanya mesin waktu. Semua itu hanya teori dan aktraksi hiburan di film-film. Kita tidak akan bisa kembali ke masa lalu mau seperti apapun kita menginginkannya.
Masa lalu akan menjadi masa lalu dan masa depan kita tidak ada yang tahu. Kita tidak akan bisa kembali hanya untuk memperbaiki apa saja yang kurang. Itu mustahil dan hanya bisa kita lakukan adalah menerima. Dan aku pun sampai saat masih terus belajar untuk memaafkan diri sendiri tentang apa yang tidak aku lakukan di masa lalu.
*** menulis adalah cara lain ku untuk sembuh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H