Sudah sepekan semenjak seseorang menaruh kotak berwarna merah jambu berhiaskan pita kuning pada meja teman dekatku, hingga waktu itu temanku yang sering kali kupanggil namanya Radya bertindak uring-uringan tidak jelas. Setiap hari dalam waktu tertentu bertanya dan mendiskusikan denganku barangkali siapa yang mengirim kotak itu. Aku mengangkat bahu, berlagak tidak tahu.
Mungkin dia adalah pengagum rahasiamu, begitulah yang pertama kali aku katakan saat Radya menanyakan kira-kira siapa identitas pengirim. Yah, seperti buku-buku romantis yang satu dua kali kubaca---aku tidak terlalu menyukai jenis buku seperti itu--- sering sekali seseorang memberikan sesuatu secara diam-diam karena tidak ingin menunjukkan wajah beralasan terlampau malu atau hanya ingin terkesan misterius saja. Atau mungkin memang dia membiarkan dirinya tidak diketahui.
"Itu sih tidak mungkin, Ardian." Aku mengernyitkan kedua alisku ketika Radya mengatakan hal itu. Tidak mungkin mengapa? Aku balik bertanya padanya, tapi dia diam seribu bahasa. Tidak menanggapi. Tak puas dengan keterdiaman itu, kemudian sekali lagi aku mengajukan tanya, sudah kau buka isinya?
Kembali, aku tak mendengar suara dari mulut mungil miliknya. Yang kudapatkan hanyalah gelengan kepala pelan dengan gerakan yang sedikit ragu. Ada apa dengan dia?
Ruangan kelas yang akan kami tinggalkan 8 bulan kemudian---yang artinya juga aku harus bersedia tinggal dengan waktu yang sama untuk kemudian ditinggalkan--- ramai dengan suara riuh anak laki-laki bermulut petasan yang berteriak seperti orang utan dan anak perempuan yang berpikir suaranya merdu padahal kupikir tidak lebih baik bila kubandingkan seperti suara domba tercekik. Astaga, mulutku jahat sekali. Keadaan kelas layaknya sekumpulan monyet-monyet, karena tidak ada guru yang seharusnya mengajar, adanya tersisa tugas yang abai untuk mereka taruh perhatian apalagi untuk dikerjakan.
Aku dengan Radya bukanlah termasuk sekumpulan monyet-monyet itu, maksudku orang-orang seperti yang aku sebutkan sebelumnya, kami berdua atau hanya aku adalah orang dari kelompok yang terpinggirkan. Tidaklah populer juga tidak menonjol dan menjadi perhatian oleh kalangan mata guru karena nilaiku bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan. Berteman dengan Radya, membuatku sedikit malu. Dia adalah orang yang berprestasi, satu-satunya orang yang menaruh minat dengan semua tugas-tugas itu.
Aku adalah dari seseorang kalangan yang terbuang, kelas tidak membutuhkan opini dariku karena kehadiranku pun seperti layaknya karakter NPC dalam sebuah game seperti yang sering aku mainkan. Aku, Radya, atau juga mungkin siswa lain yang memiliki nasib yang sama, adalah orang yang diam membisu ketika yang lain tergelak tertawa-tawa sambil mengucurkan air mata.
Orang berkacamata tebal adalah aku yang diam-diam menertawakan kebodohan semua orang, walaupun dia juga sepenuhnya menyadari jikalau dia juga tidak lebih pintar. Kelompok orang-orang yang menyedihkan, dan aku masuk di dalamnya dan membaur bersama orang-orang seperti aku.
"Boleh aku bercerita? " Aku tidak bisa menutupi rasa terkejutku ketika Radya mengatakan hal itu. Selain terperanjat kaget karena suaranya mematahkan lamunan singkatku, inilah pertama kalinya teman dekatku, yang memang tidaklah bisa dikatakan terlalu dekat ini mau bertukar cerita seperti kali ini. Aku sedikit malu mengatakan kita adalah teman dekat karena realita sebenarnya kita terpaut jarak yang jauh, menciptakan keasingan dan sesuatu yang sedikit kurang nyaman.
Mata Radya yang bulat dan berwarna kecoklatan itu memandang kedua netraku, sontak saja aku langsung mengangguk. Mengartikan kalau tatapannya itu adalah tanda dia menunggu jawaban dariku.
"Kau tahu kan, aku suka sekali menggambar, aku suka sekali menggoreskan pensilku pada segala hal yang kuanggap cantik, seperti halnya dengan bunga anggrek yang kusukai atau gadis berambut panjang yang manis," Radya mengambil napasnya dalam, bersiap melanjutkan.
"... atau mungkin juga peri kecil dengan sayap yang indah di belakang punggungnya. Aku menyukai segala hal yang terlihat cantik."
Aku mengangguk menyetujui, aku tahu sejak awal ketika dia bahkan setiap hari kedapatan menggambar sesuatu dibalik bangkunya. Mungkin semua orang memang tahu itu, sesuatu yang tidak bisa Radya tutupi dan kupikir ini adalah suatu ciri khas dari dirinya.
"Tapi aku tak suka menggambar diriku, sesuatu yang tidak cantik selalu terpampang jelas ketika aku bercermin, dan aku membencinya. Pernah aku coba untuk menggambar potret diriku sendiri. Namun kau tahu? Seseorang yang ku gambar dengan guratan pensil itu, seseorang yang memiliki ciri fisik yang mirip denganku---karena memang inilah diriku--- terlukiskan cantik sekali."
Kata-kata yang terucap dari mulutnya seolah mengandung belati yang aku tahu, belati itu telah melukainya lebih dulu ketika sebelum dia mengatakannya padaku. Rasa rendah diri yang dia rasakan. Sudah berapa lama hal itu berselang?
".. Ini membuatku tak senang, aku seperti membohongi diriku sendiri. Aku merasa terhina, aku tak suka dengan itu, rasanya seperti bahkan oleh diriku sendiri aku mengejek dengan mengatakan ia cantik sementara dalam arti sebenarnya tidak, aku tidak menyukainya. Aku merusak potret sketsa itu, berusaha membuatnya lebih buruk. Karena ini lebih menyerupai diriku."
Ini sama sekali tidak benar. Radya, apa yang kau sedang berusaha sampaikan?
"Dalam suatu waktu, saat seseorang bahkan mungkin tidak mengatakannya dengan jelas, tapi aku tahu itu. Cantika Radya bukanlah gadis yang rupawan, meski arti dari sebuah namanya adalah demikian."
Kata-kata yang terlontar membuatku marah, benar-benar. Intonasi dalam suara Radya membuatku kembali percaya, dia memang merasa serendah itu dalam memandang fisiknya. Tahukah engkau kau salah besar?
"Radya dengar!" Dapat kulihat air mukanya yang awalnya sendu berubah sedikit terkejut ketika aku berbicara dengan nada yang menyentak.
"Apa benar kecantikan itu hal yang terpenting?" Radya tak menjawab atau setidaknya belum, masih dengan tampang terkejutnya.
"Apa yang kamu coba ingin katakan?" Â Â Â Â Â
"Ardian, kau tahu? Saat seseorang menjadi cantik, hidupnya menjadi lebih mudah. Dunia hanya berputar pada orang-orang dengan fisik yang rupawan, sementara aku jauh dikatakan demikian. Coba katakan dalam kacamata seorang laki-laki, bukankah kau menyukai seorang perempuan berwajah cantik, kukatakan bila kau bukan pemuja ketampanan kaum sejenismu."
"Radya, itu memang benar. Tapi bukan hanya itu, apa memang kaum kami serendah itu dalam bilik kacamatamu sebagai seorang perempuan?" Ada sedikit rasa tidak terima ketika dia berani menjelekkan bagian dari diriku. Â Â Â Â
Belum sempat, belum sempat dia membalas lagi aku segera meneruskan.
"Radya kamu cantik. Cantik dengan isi otakmu yang berisi, aku menyukai segala hal apa yang kau katakan sebagai hasil dari buah pemikiranmu. Bagaimana kamu berpikir dan bagaimana cara kamu berbicara. Kecuali dengan ini, aku membencinya. Seolah yang tadi hanyalah sebagai omong kosong yang menguap dari mulutmu. Kau cantik, Radya! Bagaimana kamu peduli dengan hal-hal yang semua orang bahkan tidak menaruh peduli, tapi kamu melakukannya."
Meski tak sempat aku perhatikan, tetapi Radya langsung terdiam, ekspresi terkejut jelas tergambar dalam roman mukanya.
"Aku tak menduga kau bisa mengatakan hal-hal seperti itu!"
"Kotak itu! Kotak yang kuberikan padamu, tapi sampai saat ini kau belum membukanya. Itu aku, aku juga yang menaruh hati padamu."
"Ya, kuakui aku memang terpikat dengan kecerdasan milikmu, namun bila aku boleh jujur. Aku tenggelam dalam dasar danau matamu yang aku pikir paling indah itu. Kamu cantik, Radya! Saking cantiknya kupikir aku rela mati tenggelam dalam air danau milik matamu dan terhunus tatapan tajam sorot matanya!" Yang aku tahu dengan benar, Radya tersipu dengan wajah memerah malu. Manis sekali. Aku harap dia membalas perasaanku.
"Seseorang benar-benar menyukaiku?" Aku mengangguk mantap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H