Mohon tunggu...
Maya Asmara
Maya Asmara Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Seorang Mahasiswa Komunikasi

I'am a Traveler and foodies...

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menyongsong Era AI Dan Otomasi : Apakah Masyarakat Sudah Siap?

3 Februari 2025   21:02 Diperbarui: 3 Februari 2025   21:02 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto : Kompas.com)

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan otomasi telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, dari cara kita bekerja, berkomunikasi, hingga bagaimana industri beroperasi. Perusahaan-perusahaan kini semakin mengadopsi AI untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sementara masyarakat mulai terbiasa dengan berbagai layanan otomatis, seperti chatbot di layanan pelanggan hingga kendaraan tanpa pengemudi. Namun, di tengah kemajuan pesat ini, muncul pertanyaan penting: Apakah masyarakat benar-benar siap menyongsong era AI dan otomasi?

Transformasi yang Tak Terhindarkan

Tidak bisa disangkal bahwa AI dan otomasi telah memberikan banyak manfaat. Di sektor manufaktur, misalnya, otomatisasi telah memungkinkan produksi dalam jumlah besar dengan tingkat efisiensi tinggi. Teknologi AI juga telah diterapkan dalam bidang kesehatan, membantu dalam diagnosis penyakit dengan lebih akurat dan cepat. Dalam kehidupan sehari-hari, kita semakin bergantung pada asisten virtual seperti Siri, Google Assistant, atau Alexa untuk menyelesaikan tugas-tugas sederhana.

Namun, meskipun teknologi ini membawa berbagai kemudahan, tidak semua orang siap menghadapinya. Banyak yang masih skeptis atau bahkan khawatir bahwa AI akan menggantikan pekerjaan manusia secara masif, menyebabkan pengangguran besar-besaran. Di sinilah letak tantangan utamanya: bagaimana kita bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa tertinggal?

Dampak AI dan Otomasi pada Dunia Kerja

Salah satu kekhawatiran terbesar terkait AI dan otomasi adalah hilangnya pekerjaan konvensional. Menurut laporan World Economic Forum, sekitar 85 juta pekerjaan di seluruh dunia dapat tergantikan oleh mesin pada tahun 2025. Namun, laporan yang sama juga menyebutkan bahwa AI akan menciptakan sekitar 97 juta pekerjaan baru. Ini berarti, meskipun ada pekerjaan yang hilang, akan ada pula pekerjaan baru yang muncul, meskipun membutuhkan keterampilan yang berbeda.

Yang menjadi masalah adalah apakah masyarakat memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan baru tersebut? Saat ini, masih banyak tenaga kerja yang hanya memiliki keterampilan konvensional dan belum siap untuk beradaptasi dengan kebutuhan industri berbasis teknologi. Jika tidak ada upaya serius dalam meningkatkan keterampilan tenaga kerja, maka jurang antara mereka yang siap dan tidak siap akan semakin lebar.

Selain itu, AI juga berpotensi mengubah cara kerja secara fundamental. Banyak perusahaan mulai beralih ke sistem kerja yang lebih fleksibel dan berbasis teknologi. Konsep “gig economy”, di mana pekerja tidak lagi terikat kontrak jangka panjang dengan satu perusahaan tetapi bekerja secara fleksibel dengan berbagai proyek, semakin berkembang. Masyarakat harus mulai terbiasa dengan konsep ini dan mengembangkan keterampilan yang bisa digunakan di berbagai bidang.

Kesenjangan Keterampilan: Pendidikan Belum Sepenuhnya Siap

Pendidikan menjadi faktor krusial dalam kesiapan masyarakat menghadapi era AI dan otomasi. Sayangnya, banyak sistem pendidikan masih berbasis pada model lama yang belum sepenuhnya mengakomodasi perubahan teknologi. Kurikulum di banyak sekolah dan universitas belum memberikan cukup penekanan pada bidang-bidang yang akan sangat relevan di masa depan, seperti pemrograman, analisis data, dan kecerdasan buatan itu sendiri.

Selain itu, pelatihan ulang bagi pekerja yang sudah berada di dunia kerja masih sangat terbatas. Banyak pekerja yang telah bertahun-tahun bekerja dalam satu bidang tidak memiliki kesempatan atau sumber daya untuk meng-upgrade keterampilan mereka agar tetap relevan di era baru. Jika tidak ada inisiatif yang kuat dari pemerintah maupun perusahaan dalam menyediakan program reskilling dan upskilling, maka akan semakin banyak pekerja yang kehilangan daya saing.

Di sisi lain, pendidikan karakter juga tidak boleh diabaikan. Teknologi bisa berkembang dengan cepat, tetapi kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan empati tetap menjadi keunggulan manusia dibandingkan AI. Oleh karena itu, pendidikan di masa depan harus mampu menyeimbangkan antara keterampilan teknis dengan keterampilan sosial agar generasi mendatang bisa tetap berdaya saing.

AI dan Otomasi Bukan Ancaman, tapi Peluang

Alih-alih melihat AI dan otomasi sebagai ancaman, kita seharusnya melihatnya sebagai peluang. Sejarah menunjukkan bahwa setiap revolusi industri memang selalu diiringi dengan perubahan besar dalam dunia kerja. Ketika mesin pertama kali diperkenalkan di sektor pertanian, banyak pekerjaan yang hilang, tetapi muncul pula industri baru yang lebih maju. Hal yang sama juga terjadi di era digital saat ini.

Salah satu contoh nyata adalah dalam bidang kewirausahaan. AI memungkinkan individu atau bisnis kecil untuk mengakses teknologi canggih yang sebelumnya hanya bisa digunakan oleh perusahaan besar. Dengan adanya alat otomatisasi, bisnis kecil bisa lebih mudah mengelola keuangan, pemasaran, hingga produksi, tanpa harus memiliki tim besar.

Selain itu, AI juga membuka peluang di sektor yang sebelumnya kurang berkembang. Misalnya, dengan adanya analisis data berbasis AI, industri kreatif dan seni bisa berkembang dengan lebih baik. Musik, film, hingga desain grafis kini semakin banyak yang menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti peran manusia.

Bagaimana Masyarakat Bisa Bersiap?

Agar tidak tertinggal dalam era AI dan otomasi, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh masyarakat, pemerintah, dan perusahaan:

1.Pendidikan yang Adaptif

Kurikulum pendidikan harus segera diperbarui agar sesuai dengan kebutuhan masa depan. Tidak hanya di tingkat universitas, tetapi juga sejak sekolah dasar. Pemahaman tentang teknologi, data, dan kecerdasan buatan harus mulai diperkenalkan lebih dini.

2.Pelatihan Ulang untuk Tenaga Kerja

Pemerintah dan perusahaan harus bekerja sama untuk menyediakan program pelatihan ulang bagi pekerja yang terdampak otomasi. Program reskilling dan upskilling harus dibuat lebih mudah diakses oleh semua kalangan.

3.Fleksibilitas dalam Dunia Kerja

Masyarakat harus mulai beradaptasi dengan konsep kerja yang lebih fleksibel. Gig economy dan pekerjaan berbasis proyek akan semakin menjadi tren di masa depan. Oleh karena itu, memiliki keterampilan yang bisa diterapkan di berbagai industri akan menjadi nilai tambah.

4.Kebijakan yang Berorientasi pada Masa Depan

Pemerintah harus aktif dalam merancang kebijakan yang mendukung perkembangan AI, tetapi tetap berpihak pada kesejahteraan manusia. Regulasi terkait tenaga kerja, pajak teknologi, serta perlindungan hak pekerja harus diperhatikan agar AI tidak hanya menguntungkan segelintir pihak.

5.Membangun Pola Pikir Positif terhadap Teknologi

Ketakutan terhadap AI dan otomasi sering kali berasal dari ketidaktahuan. Oleh karena itu, edukasi tentang manfaat AI harus lebih banyak dilakukan. Teknologi seharusnya dilihat sebagai alat bantu yang meningkatkan kualitas hidup, bukan sebagai ancaman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun