Mohon tunggu...
Maya Valentina
Maya Valentina Mohon Tunggu... -

Did you See That?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Senjakala Partai Golkar: Ketika Rekonsiliasi Hanya Ajang Kompromi Politik Elit Senior

22 Maret 2016   15:32 Diperbarui: 22 Maret 2016   15:59 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Valentino Barus, Pemerhati Politik UGM

Kisruh berkepanjangan kian menggerus dan merongrong jati diri Partai Golkar. Beringin yang dulu tampak kokoh kini tampak terhuyung menahan terpaan angin dan lebatnya hujan. Mengingat sejarah panjang Golkar dalam mengawal pembangunan bangsa, sangat disayangkan jika rakyat yang selama ini bernaung dirimbuhnnya daun harus melihatnya tumbang.

Jika harus mengambil langkah penyelamatan, tentulah langkah itu harus luar biasa. Tunas-tunas baru harus ditumbuhkan agar harapan masyarakat yang bernaung bisa kembali dipulihkan. Inilah saatnya Partai Golkar mengambil langkah strategis untuk melakukan regenerasi. Memberanikan beringin muda muncul kepermukaan utuk masa depan.

Ke depan, Golkar butuh cara-cara baru, gagasan-gagasan baru, langkah-langkah baru untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang tidak mudah. Lingkungan strategis dimana Golkar tumbuh tak lagi sama dengan kondisi saat ini, perlu-ada penyesuaian baru di tangan generasi muda Golkar.

Bukan kali ini saja Golkar didera dengan masalah besar. Pasca reformasi 1998, Golkar mampu belajar cepat menghadapi gonjang-ganjing politik dengan melakukan regenerasi dan penyegaran. Golkar bisa beradaptasi dengan lingkungan politik baru, menyambut alam demokrasi dengan penuh keterbukaan. Bermodal mesin partai yang mengakar hingga ke daerah, Partai Golkar tetap dicintai rakyat bahkan hingga Pemilu 2014 lalu. “Suara Golkar, Suara Rakyat” bukan sekedar selogan kosong. 

Kini, kehebatan adaptasi beringin diuji kembali. Tantangannya tak kalah berat. Persaingan politik internal menjadi pemicu utamanya. Memang, tradisi pergantian kekuasaan di tubuh Partai Golkar selalu diwarnai perpecahan namun tidak mengurangi taji golkar dalam Pemilu. Tercatat sejak Munas Golkar tahun 1999, banyak kader yang pindah dan mendirikan partai baru. Pertama bernama Partai Keadilan dan Persaseniorn dan kemudian berubah Partai Keadilan dan Persaseniorn Indonesia.

Enam tahun kemudian usai Munas tahun 2004, lahir Partai Gerakan Indonesia Raya yang didirikan oleh salah satu calon kesenior umum Golkar Prabowo Subianto. Calon kesenior umum Golkar lainnya yakni Wiranto juga keluar dari partai beringin dan mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat. Sejarah kembali berulang pada 2009 saat Surya Paloh gagal meraih kursi kesenior umum Partai Golkar. Surya Paloh kemudian keluar dan mendirikan Partai Nasional Demokrat.

Berbeda dengan konflik peralihan kekuasaan sebelumnya, kali ini Golkar benar-benar dihadapkan pada perpecahan dua kubu yang sama-sama adu kuat mengklaim berkuasa penuh: Kubu Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie (Ical) dan Kubu Munas Ancol yang dikeseniori oleh Agung Laksono (AL). Berbagai kesepakatan hingga jalur hukum ditempuh namun tidak menyurutkan persaingan, bahkan nyaris melumpuhkan mesin partai. Menghadapi dua agenda besar mendatang yakni Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019, Golkar hanya akan menjadi penonton jika tidak mau menyudahi konflik.

Kesempatan baik muncul tatkala dua kubu yang berseteru bersepakat untuk menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) dan membuka kesempatan untuk melakukan regenerasi. Meski energi besar kader sudah ditujukan untuk langkah penyelamatan besar tersebut, namun hingga kini balum ada kejelasan mengenai kelangsungan Munaslub. Terlebih saat putusan MA akhir Februari lalu. Para elit senior  sama-sama menunjukkan gelagat untuk membatalkan Munaslub dan tetap mempertahankan dominasinya dalam tampuk kekuasaan partai.

Kompromi yang dilakukan elit senior Partai Golkar sama-sekali bukan untuk menyelamatkan organisasi, melainkan untuk tetap berkuasa. Ini membuktikan bahwa dalam tubuh Golkar sekarang bercokol terlalu banyak elit yang sesungguhnya hanya ingin menggunakan partai ini untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompoknya semata. Tak ada upaya konkrit dan terukur untuk memperbaiki keadaan partai yang sedang sekarat dan sangat mendesak untuk diselamatkan.

Selain itu, Golkar kini terlalu banyak “pendatang”, yang bukan kader asli Golkar, ingin menancapkan dominasinya secara terus menerus dengan segala cara agar bisa menunggangi partai demi kepentingan sempi. Mereka tidak peduli bahwa partai ini butuh regenerasi, memberi jalan kepada pemimpin-pemimpin muda yang lebih energik dan potensial membawa partai ini ke jalan yang lebih baik.

Generasi muda Golkar mesti bersatu melawan upaya tak sehat ini. Munaslub adalah langkah awal yang sangat penting untuk bisa mengembalikan kejayaan Golkar yang telah hilang. Hanya melalui Munaslub ini regenerasi dalam tubuh Golkar dapat diteruskan. Munaslub akan memberi jalan bagi generasi muda membawa energi baru dengan visi yang lebih segar, relevan dan dapat menjawab tantangan zaman. 

Regenerasi menjadi isu krusial dalam tubuh Golkar setelah terbukti kepemimpinan elit senior gagal mengembalikan kejayaan masa lalu dan justru memerosokkan Golkar dalam kondisi sangat memprihatinkan seperti sekarang ini. Upaya mengulur-ulur waktu Munaslub tidak lain adalah bagian dari agenda untuk tetap mempertahankan kekuasaan. Karena itu, sekali lagi, pelaksanaan Munaslub sesegera mungkin adalah harga mati.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun