Semenjak ayah saya mengalami kebangkrutan usaha pada sekitar tahun 1995, saya tidak pernah membayangkan bisa sampai posisi pada saat ini. Bahkan ketika lulus SMP di tahun 1997, saya sengaja memilih SMK dengan harapan bisa langsung bekerja jika telah menyelesaikan pendidikan kejuruan yang saya pilih. Saya pun harus menerima kenyataan pahit tidak bisa langsung melanjutkan kuliah karena terbentur biaya. Padahal saat itu saya dinyatakan lulus ujian masuk di sebuah perguruan tinggi di Bandung.
Saya harus mengubur harapan saya untuk bisa kuliah dan akhirnya saya bekerja. Namun keinginan saya untuk menempuh pendidikan tidak pudar. Sambil bekerja, saya sempatkan untuk kursus bahasa Inggris dua kali dalam seminggu.
Dua tahun berselang, saya melihat ada kesempatan dan kondisi keuangan keluarga semakin membaik. Keinginan saya untuk kuliah muncul lagi. Saya kemudian meminta (dengan sedikit memaksa) kepada orangtua agar dibolehkan untuk kuliah dan berhenti bekerja. Alhamdulillah orangtua memberi jalan. Akhirnya saya mendaftar di sebuah perguruan tinggi swasta di Kabupaten Bandung. Sengaja saya memilih program studi pendidikan bahasa Inggris dengan harapan saya bisa menjadi guru bahasa Inggris di sekolah. Itu saja harapan saya saat itu.
Tahun demi tahun berlalu, saya menjalani aktivitas sebagai mahasiswa. Saat akhirnya lulus dan menjalani wisuda, alhamdulillah saya dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik. Atas prestasi itu, saya ditawari untuk menjadi dosen di almamater kampus tempat saya belajar. Setelah menjalani masa percobaan selama enam bulan, di tahun berikutnya saya kemudian dijadikan sebagai dosen tetap. Saya pun menjalani profesi saya yang baru tanpa merencanakan apa yang ingin saya lakukan selanjutnya. Saya berpikir harapan saya untuk kuliah sudah terlaksana.
Namun tiga tahun berikutnya, saya dihadapkan pada permasalahan. Pada saat itu, keluar peraturan baru yang mengharuskan dosen untuk memiliki kualifikasi minimal S2. Bermaksud untuk mengikuti peraturan, saya pun mendaftar ke PTN di Bandung dan memilih jurusan yang sama: Pendidikan Bahasa Inggris. Saat itu saya mulai gundah, karena walaupun posisi saya sudah jadi dosen, tapi pendapatan bulanan belum mencukupi untuk membiayai kuliah S2 sendiri. Sempat putus asa, karena ketika mencari-cari informasi tentang beasiswa pun rasanya persyaratannya susah.
Saat itu, salahsatu dosen senior di kampus tempat bekerja memberi saran: mengapa saya tidak kuliah ke luar negeri saja dan melamar beasiswa Dikti? Saran dia sempat saya ragukan. "Saya gak bisa, Bu. Kan saya dosen swasta", begitu jawab saya. Tapi beliau terus meyakinkan sampai mengantar saya ke Jakarta mendatangi kantor Dikti untuk meminta kejelasan informasi tentang beasiswa tersebut. Dan ternyata dugaan saya memang salah, syarat untuk mendaftar beasiswa Dikti adalah semua dosen (baik dari PTN atau PTS) yang sudah memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN).
Singkat cerita, setelah melalui berbagai perjuangan, alhamdulillah saya lolos wawancara dan berhak mendapat beasiswa Dikti untuk menempuh pendidikan S2 jurusan Teaching English to Speaker of Other Languages (TESOL) di University of Edinburgh, Skotlandia. Untuk pertamakalinya dalam sejarah saya naik pesawat dan keluar negeri. Ini pengalaman yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya masih ingat, ketika masih kursus bahasa Inggris, saya pernah menuliskan Singapore di bawah pertanyaan negara mana yang ingin saya kunjungi. Dulu rasanya untuk bermimpi naik pesawat atau keluar negeri saja saya tidak sanggup karena melihat kondisi ekonomi yang saya miliki.
Pengalaman kuliah di luar negeri ini membuat saya 'ketagihan'. Padahal saya hampir-hampir tidak bisa mendapat gelar seperti yang saya harapkan karena nilai-nilai saya di bawah ambang batas kelulusan. Karena jatuh cinta dengan Edinburgh, saya bermimpi ingin melanjutkan kuliah di kota yang sama. Harapan saya didukung oleh rektor di tempat saya bekerja. "Mumpung masih muda" katanya. Namun, ketika saya mengutarakan rencana saya pada orangtua, sempat terjadi penolakan. Orangtua menginginkan jika saya menikah dulu. Mungkin karena usia saya yang sudah masuk kepala tiga saat itu.
Tapi alhamdulillah, lagi-lagi Allah menunjukkan kasihsayang-Nya. Tiga bulan kemudian saya dipersunting oleh laki-laki yang ternyata memiliki rencana yang sama: kuliah di Skotlandia. Setelah menempuh berbagai rintangan, akhirnya kami sama-sama mendapat tawaran di kampus yang sama: Glasgow. Tahun 2014 kami mulai menempuh kuliah bersama: suami S2 sementara saya S3. Saat itu kami pun membawa buah hati kami yang baru berusia lima bulan.
"Kok bisa? Bagaimana caranya membagi waktu antara menjadi mahasiswa, istri dan ibu?" pertanyaan serupa sering saya dengar ketika mengetahui kondisi saya. Terus terang, saya kesulitan. Tidak mudah rasanya menjalani masing-masing peran dengan maksimal. Harapan ingin selesai kuliah tepat waktu pun melesat dari rencana. Ditambah di tahun ketiga, saya hamil anak kedua. Belum lagi keputusan saya untuk menghomeschooling anak saya yang pertama. Butuh waktu sekitar lima tahun enam bulan bagi saya untuk menyelesaikan kuliah. Sementara, suami berhasil meraih gelar master dan di tahun berikutnya melanjutkan kuliah S3.
Namun alhamdulillah usaha berbuah hasil. Walaupun terlambat satu tahun dibanding teman-teman satu angkatan, akhirnya saya lulus juga. Dan banyak hikmah yang bisa diambil. Salahsatunya adalah agar saya tidak berhenti bermimpi. Karena dengan bermimpi bisa membuka jalan untuk berdo'a. InsyaAllah ada jalan jika disertai dengan usaha. Siapa sangka, anak kampung dan miskin seperti saya bisa dapat kesempatan yang masyaAllah luar biasa. Alhamdulillah. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Man jadda wajada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H