Mohon tunggu...
Maya A. Pujiati
Maya A. Pujiati Mohon Tunggu... Penulis -

Penulis yang masih perlu terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Efek Novel "Go Keo No Noaki": Ketika Jati Diri Anak Terwakili

27 Agustus 2015   20:00 Diperbarui: 27 Agustus 2015   20:41 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu apa hubungan reaksi anak-anak dengan  pengakuan dan penerimaan? Setelah saya coba pelajari, ada satu kekuatan GKNN yang sebelumnya luput dari perhatian saya, yaitu: meskipun icon cerita ini sepertinya hanya 2, yaitu Keo dan Noaki, namun jumlah keseluruhan tokoh yang dominan dalam cerita ini cukup banyak, sekitar 8 anak. Dan penggambaran karakter dari delapan tokoh ini diberi porsi yang berimbang. Artinya, pembaca bisa melihat ciri khas yang kuat dari mereka tanpa membuat dua tokoh utamanya "tenggelam". Dan itulah yang saya duga  membuat anak-anak begitu "welcome" terhadap buku ini.

Tanpa sadar, banyaknya karakter yang diangkat penulis, membuat anak-anak merasa bahwa sifat-sifat mereka terwakili. Saya bisa menyimpulkan begitu karena mendengar mereka saling bertanya, "Menurut kamu, aku seperti siapa?". Ada yang bilang dirinya Keo, ada yang bilang ia mirip Lady, Noaki, atau setengah Lady dan setengah Noaki. Anak lain merasa dirinya mirip Seb, Ajeng, Toby Chen, dan beberapa tokoh lainnya. Ketika karakter-karakter yang mirip mereka dibuat begitu istimewa di novel ini, maka otak "bawah sadar" anak-anak seolah digembirakan, diterima, dan diakui. 

Refleksi

Setiap orang tua, pernah menjadi anak-anak, dan tahu betul, betapa berharganya sebuah pengakuan akan "prestasi" yang dibuatnya, baik kecil atau besar. Saat masih kanak-kanak, orang tua juga pasti pernah merasakan, betapa berartinya ketika mereka diterima apa adanya, tanpa terlalu banyak tuntutan untuk menjadi ini dan itu. Namun saat kita telah menjadi ayah atau ibu, anehnya seringkali lupa akan kebutuhan itu. Bisa dimaklumi sih, kesibukan makin kompleks setelah jadi orang tua. Akan tetapi, apakah kebutuhan anak-anak  akan pengakuan lantas menjadi lenyap? Ternyata tidak. "Kehausan" itu tetap ada dengan segala variasi, kadar, dan bentuknya. Beberapa anak mungkin hanya memendamnya dalam hati, namun bisa jadi ada juga anak-anak yang terus mencarinya sendiri di tempat lain, meski tak jarang wujudnya bikin orang tua justru ketar-ketir. Novel GKNN membuat saya berkaca dan lebih peduli akan hal itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun