Mohon tunggu...
Al. Maydee
Al. Maydee Mohon Tunggu... -

seorang manusia yang mencoba belajar dan mengajar and try to be agood servant of God

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kontemplasi Puasa dalam Kontek "Ya" dan "Tidak"

19 Agustus 2010   12:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Puasa terkadang dapat bersifat anjuran, satu saat yang lain bersifat keharusan, pada waktu yang lain sifatnya menahan tetapi dalam konteks lain puasa bersifat memaksa.Dalam konteks dan hakikat dasarnya puasa itu mengajari kita untuk menghayati bahwa dalam kehidupan ini kita berada dalam pergaulan dengan hak, bergaul dengan kewajiban, juga dengan anjuran dan larangan. Puasa dalam ranah filosofis bisa kita terjemahkan sebagai kewajiban untuk “tidak” terhadap sesuatu yang seharusnya “iya”, atau dapat diterjemahkan sebaliknya keputusan untuk “iya” terhadap sesuatu yang halal untuk “tidak”.

Dalam konteks fiqh islam kita diberikan hak untuk membalas kezhaliman yang kita terima dengan balasan yang sama, jadi apabila kita ditampar pipi kanan kita,maka kitaberhakmenampar kembali pipi kanan orang yang menampar kita tersebut. Tetapi kita kemudian mempuasai hak kita tersebut dengan memaafkan. Puasa hak kita dengan pemaafan ini dilakukan untuk menuju tingkat kemuliaan yang lebih tinggi dari Tuhan semesta alam dibandingkan jika kita pakai kehalalan kita untuk membalas sebuah kezhaliman.Dalam kontek ini puasa adalah bersifat pengharaman (tidak/jangan) atas sesuatu penghalalan(Ya/boleh).

Konsep “ya” dan “tidak” dalam skala yang lebih luas dapatkita analogikan dengan puasa dari hak untuk punya uang sebanyak-banyaknya lewat pembatasan terhadap tingkat kepemilikan kita dengan memberikan kepada orang yang kekurangan di sekitar kita.Situasi sebaliknya dapat dilakukan dengan puasa dari kemelaratan sehingga kita mengorbankan waktu untuk mencari uang sebanyak mungkin guna memerangi kemelaratan yang dapat berkembang kepada tingkat kefakiran, Hal yang membuat kita khawatir karena pada tingkat tertentu dapat membahayakan iman. Dua konsep analogi ini mensiratkan satu hal bahwa puasa itu ekuivalen dengan “ya” dan “tidak” sehingga dalam perkembangannya kita memerlukan puasa untuk menghalau kemiskinan yang dapat membahayakan kualitas iman kita yang dapat membuat terjerembab kedalam kekufuran dan puasa dari kekayaan karena dikhawatirkan dapat menurunkan derajat kesalehan kita dengan terjangkiti penyakit wahn, Sehingga satu saat kita puasa dari jumlah kekayaan dan pada situasi yang lain kita puasa dari kefakiran.

Konteks “ya” dan” tidak” dari puasa kita transformasikan lebih jauh lagi, misalkan kita berpuasa untuk tidak menjadi seorang pejabat, bukan karena menjadi seorang pejabat itu haram hukumnya, tetapi kondisi iman dan mental kita serta realitas politik dan budaya disekeliling kita justru dapat membuat kita terjerumus untuk melakukan keharaman yang lebih tinggi, lebih terstruktur sehingga menjadikan efek mudhorotnya lebih tinggi dari efek maslahatnya, sehingga dalam konteks ini kita berijtihad untuk berpuasa menjadi pejabat.

Masih banyak nilai-nilai puasa dalam berbagai sifatnya yang dapat menjadi bahan perenungan untuk kita yang menjadi media kontemplasi lebih jauh pada nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, budaya yang sejatinya adalah menuju tataran kualitas nilai yag lebih agung yang dicita-citakan dalam al-baqoroh 183.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun