Mohon tunggu...
Andri Mulyawan
Andri Mulyawan Mohon Tunggu... Staff Administrasi Proyek -

Mahasiswa Ilmu Sosial Bergerak di Ilmu Politik dan Gender. Penyuka Fotography, Nulis Opini, Tiduran dan Makan, Kritis namun Membangun, dan Tukang Julid.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memikirkan Ulang Kesetaraan Gender di Era Kontemporer

8 September 2018   22:27 Diperbarui: 8 September 2018   22:44 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kesetaraan gender adalah salah satu point penting didalam pencapaian Suistainable Development Goals. Politisi dan pembuat keputusan di seluruh dunia sadar akan hal tersebut.

Beberapa komitmen besar-besaran telalh dilakukan di kalangan internasional. Tujuan Suistainable Development Goals yang baru-baru ini diadopsi memasukan kesetaraan gender sebagai tujuan strategis dan para pemimpin G-20 secara resmi berkomitmen untuk membawa 100 juta wanita tambahan ke dalam angkatan kerja pada tahun 2025.

Sebelum melihat kesetaraan gender tersebut, kita harus melihat pengertian gender. Istilah gender dalam kehidupan sehari -- hari merujuk kepada keadaan seksual biologis atau jenis kelamin yang secara fitrah, atau mengaitkan suatu gender berdasarkan preferensi fisik sesuai dengan keadaan fisik yang sudah ada sejak lahir. 

Namun hal ini dikonstruksi secara sosial oleh feminis, menurut feminisme hal tersebut sangatlah "bersekat" karena setiap manusia mempunyai sifat kewanitaan dan kelelakian yang berbeda, bahkan bisa saja mereka terjebak didalam tubuh yang tidak sesuai dengan karakterisktik dan jiwa mereka sehinga feminisme mengartikan Gender sebagai karakteristik atau karakter setiap manusia. 

Karakter itu dibagi menjadi dua, maskulinitas dan femininitas apa yang disebut maksulinitas seperti kekuatan, otonomi, rasionalitas dan dominan, sementara femininitas apa yang disebut sebagai ketergantungan, kelemahan, emosionalitas, dan bersifat pribadi. Artinya untuk melihat gender secara fisik sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai sisi maskulinitas dan femininitas yang berbeda sehingga kaum feminisme menganggap bahwa gender adalah sebuah karakteristik yang tertanam didalam tubuh manusia, bukan keadaan fisik seseorang.

Dekonstruksi ini dianggap sangat cocok untuk menerjemahkan keadaan di zaman sekarang. Ketika salah anggapan tentang pengertian kesetaraan gender. 

Sexual harrasment yang dilakukan oleh perempuan didalam kasus Jojo dianggap bukan bentuk sexual harrasement atau sexism karena korbannya laki-laki. Radikalisme Neno Warisman dan Ratna Sarumpaet dianggap sebagai bentuk daripada hasil kesetaraan gender, seolah-olah yang membenci kesetaraan gender menganggap bahwa dua akibat diatas merupakan salah satu akibat daripada digaungkanya kesetaraan gender.

Perlu dipahami bahwa, yang perlu diangkat dari posisi sub-ordinat adalah feminintas. Walaupun secara sejarah wanitalah yang mempunyai posisi sub-ordinat di dunia ini dan secara biologis yang mempunyai sifat feminintas adalah wanita (dominan femininitas). 

Perlu kita lihat bahwa alasan utama mengapa wanita tersubordinasi adalah kondisi fisik dan pemikiran yang feminin yang dianggap tidak bisa melakukan hal-hal yang apa yang biasa dilakukan oleh maskulin pada umumnya.

Lalu, beberapa kasus perundungan terhadap laki-laki kemayu juga akibat daripada superioritas maskulinitas terhadap femininitas. Laki-laki berperspektif feminin (berperspektif feminin bukan berarti berdandan feminin, perspektif feminin adalah bagaimana dia sebagai manusia melihat masalah dan bertindak menggunakan femininitas seperti emosi dan hati ) dianggap anomali dan tidak sesuai dengan norma adat. 

Disinilah kita harus melihat bahwa ternyata akar utama penyebab ketidaksetaraan gender adalah tentang bagaimana feminintas dianggap subordinat dan dibawah maskulinitas.

Gender telah menyajikan pengertian bahwa, tidak selamanya hal ini dikaitkan dengan biologi dan sexual preferences. Mengartikan gender dengan biologi dan kodrati hanya dianggap menimbulkan ketimpangan yang sangat jauh. Menimbulkan ambiguitas yang semakin kabur, dan tidak bisa menjelaskan bagaimana perempuan-perempuan yang menggunakan hal-hal kekerasan sebagai jalan utama didalam penyelesaian masalah dan perilaku pelecehan seksual yang dilakukan oleh perempuan.

Maka dari itulah, perlu penggeseran makna gender yang dianggap bahwa gender secara kodrati tidak relevan dalam menjelaskan kejadian Neno Warisman, Ratna Sarumpaet, dan akun-akun IG perempuan yang berkomentar melecehkan kepada laki-laki seperti kejadian Jonathan Christie. Ada perlu pemikiran baru bahwa yang perlu diangkat subordinasinya adalah feminintas supaya bisa berdampingan bersama dengan maskulinitas dalam menjaga perdamaian dan keharmonisan dalam dunia tentunya.

Kesimpulannya adalah, kesetaraan gender adalah upaya mengangkat subordinasi feminintas terhadap superiorias maskulinitas. Selama ini, wanita yang dianggap kelas dua didalam dunia internasional ternyata akar penyebabnya adalah kondisi yang lemah dan perspektif feminin yang dianggap tidak bisa melakukan apa yang maskulin lakukan. 

Bukan wanita yang semata-mata secara kodrati adalah kaum sub-ordinat dan akan menimbulkan perundungan ketika feminintas didalam tubuh laki-laki. Karena seharusnya memang pada dasarnya, maskulinitas dan feminintas harus berdampingan satu dengan lainya terutama dalam upaya menjaga perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun