Sudah 73 tahun Indonesia menikmati kemerdekaan dari penjajahan dan kolonialisme yang membuat masyarakat Indonesia sengsara, terkekang, terintimidasi, dan lain-lainnya.Â
Dari mulai penjajahan Portugal lalu Spanyol yang datang ke Indonesia. Â Lalu datang menggantikan Portugis dan Spanyol yaitu Belanda dan VOCnya.Â
Setelah selama 3 abad lamanya Hindia Belanda dan VOC menjajah Indonesia datang penjajahan dari bangsa Asia yaitu Jepang selama 3.5 tahun sampai Indonesia mendeklarasikan kemerdekaanya.
Merdeka adalah lepas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Merdeka merupakan sebuah kebebasan bagi makhluk hidup untuk mendapatkan hak untuk melakukan apapun.Â
Para Founding Father dan pahlawan kita sudah berjuang dan mengorbankan dirinya untuk mencapai kemerdekaan negara kita Indonesia tercinta. Beberapa diantaranya harus meninggalkan keluarganya untuk berjuang melawan kolonialisme Hindia Belanda. Beberapa diantarnya mati tanpa jejak, diasingkan, disiksa, diintimidasi dan dijauhkan dari rasa nyaman.
Mereka melawan Kolonialisme atau yang disebut sebagai penjajahan. Penjajahan adalah suatu sistem dimana suatu negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lain, tetapi masih tetap berhubungan dengan negara asal.Â
Kolonialisme adalah salah satu sistem saling menguasai satu dengan lainnya. Menguasai dalam hal sumber daya baik alam maupun manusia, pendidikan, kemanusiaan dan apapun yang dimiliki oleh negara yang terjajah.
Lalu, bagaimana di era setelah 73 tahun Indonesia merdeka apakah masih bisa dianggap kita sudah terbebas dari  kolonialisme? Untuk menjawab pertanyaan berikut, dan untuk menganalisis bagaimana penjajahan di era kontemporer ini, kita harus menggeser pemahaman daripada kolonialisme dan merdeka ke segi yang paling dalam yaitu Individu.
Yang dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah kolonialisme berbentuk baru yang parahnya mengancam kehidupan, merampas hak untuk hidup dengan tenang, merampas keyakinan untuk bereskpersi dan berprestasi, lebih parahnya menimbulkan depresi yang berlebihan sampai angka bunuh diri tinggi. Kolonialisme ini disebut sebagai bullying atau perundungan.
Dan Olweus dalam bukunya "Bullying at School: What We Know and What We Can Do"Â (1993): Seseorang menjadi korban bullying ketika dia berulangkali dan dari waktu ke waktu terkena aksi negatif oleh satu orang atau lebih siswa lainnya, dan dia kesulitan membela dirinya.
Menggambarkan perundungan sebagai kolonialisme gaya baru adalah ketika seseorang menjadi korban perundungan, dia akan dirampas segala bentuk hak untuk mengekspresikan diri. Semisal ketika seseorang diejek mempunyai badan yang besar, berjerawat, berbekas jerawat, berbopeng, tidak mulus, tidak putih, dan lain-lainnya.Â
Mereka akan dengan berusaha melawan itu dengan tidak menjadi diri sendiri. Mereka korban perundungan tersebut akan memilih dua pilihan tindakan : mengikuti apa yang mereka mau ataupun depresi hingga bunuh diri.
Perundungan seperti ini timbul daripada simbologi yang diciptakan masyarakat tentang makna cantik. Feminisme Post-Modern baik Luis Irigaray ataupun Helena Cixous meyakini bahwa simbolisme yang diterapkan di masyarakat luas tentang standar dari makna cantik dan tampan yang sangat physical oriented ini merupakan salah satu penyebab ketimpangan gender.Â
Perundung akan melakukan hal seperti kekerasan verbal dan kekerasan terhadap nilai karena mereka berpatok kepada simbologi yang sudah lama tercipta dari masyarakat berabad -- abad. Termasuk  memaknai cantik atau tampan secara fisik. Sehingga, yang mengalami perundungan atau bullying akan melawan hal itu dengan mengikuti apa yang distandardkan atau disimbolkan masyarakat tentang makna "cantik" dan "tampan" itu sendiri.
Sebagian besar orang yang dirundung akan memilih untuk melawan perundungan dengan cerita seperti apa yang perundung  mau. Misalnya si A di rundung karena badannya tidak pantas mengikuti pageant karena kurang tinggi, kurang putih, kurang muscular, kurang tampan, dan lain-lain.Â
Si A akan mengikuti apa yang perundung  mau dengan mengeluarkan kocek besar ke dermatologis, menyiksa diri dengan fitness berlebihan, membeli produk pemutih yang siapa tau bakal berakibat fatal terhadap mukanya, dan pengorbanan lain yang tidak terhitung harganya hanya demi ingin mengikuti standard perundung.
Gambaran diatas merupakan salah satu penjajahan atas individu dengan individu lainnya. Perundungan dengan menggunakan simbologi kuno daripada makna cantik dan tampan merupakan salah satu hal yang harus di lawan di era kontemporer ini.Â
Melawan perundungan adalah makna merdeka dari hal-hal yang membelenggu yang paling dalam. Merdeka dari invasi pemahaman-pemahaman yang sudah kuno dan tidak layak untuk dipakai lagi. Merdeka dalam berekspersi dan berprestasi tanpa harus mengikuti standar perundung.
Feminisme Post-Modern menyajikan salah satu nilai dan value dalam melawan "perundungan" yaitu Beautiful in your ways ala Lady Gaga -- Born this ways.Â
Melawan perundungan dengan mengikuti apa yang dimau oleh pelaku perundungan adalah bentuk kolonialisme baru individu.Â
Melawan perundungan adalah tetap berprestasi dan  menginsipirasi orang lain dengan kondisi fisik tidak mengikuti apa yang perundung mau.Â
Melawan perundungan bukan seperti kamu rela menyerahkan diri kepada koloni yang bernama pelaku bulllying tersebut. Tetapi melawan perundungan adalah tetap menikmati hidup dan tetap bereskpresi tanpa mengindahkan cacian dan makian mereka terhadap dirimu.
Tetap menjadi dirimu sendiri adalah salah satu bentuk perlawanan paling mendasar yang menurut hemat saya paling bisa memukul mundur perundung. Tumbuhlah seperti apa yang kamu mau, berekspresilah sesuai dengan apa yang kamu mau, merdekalah ! merdeka dari kekangan perundung !Â
Dirgahayu Indonesia yang ke 73 ! mari kita sukseskan perayaan kemerdekaan ini dengan doa. Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 73 ! Indonesia  You can do it !.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H