Mohon tunggu...
Andri Mulyawan
Andri Mulyawan Mohon Tunggu... Staff Administrasi Proyek -

Mahasiswa Ilmu Sosial Bergerak di Ilmu Politik dan Gender. Penyuka Fotography, Nulis Opini, Tiduran dan Makan, Kritis namun Membangun, dan Tukang Julid.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelabelan dan Simbologi, Penyebab Terdalam Ketidaksetaraan Gender

17 Agustus 2018   09:53 Diperbarui: 17 Agustus 2018   10:22 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Isu Ketidaksetaraan gender adalah salah satu isu masyarakat yang mengglobal bahkan dikaji didalam dunia internasional. Bahkan kesetaraan gender itu sendiri merupakan salah satu nilai yang terkandung didalam point Suistainable Development Goals sebagai salah satu capaian guna melihat indikator goalsnya suatu negara dalam mewujudkan SDG's itu sendiri.

Ketidaksetaraan gender adalah kondisi dimana didalam sebuah lingkup masyarakat menggambarkan posisi sub-ordinasi antara Pria dan Wanita. Ketimpangan ini sebagian besar ditemukan di negara - negara Partiarkhi dengan laki-laki sebagai dominasi tertinggi dibanding perempuan.

Ketimpangan gender itu sendiri merupakan salah satu penyebab daripada kasus kekerasan terhadap perempuan, pria yang tidak punya sifat dominasi, pria kemayu, seksisme, objektifikasi seksual, dll. hal tersebut akan ditemukan didalam masyarakat yang masih menganggap bahwa posisi wanita merupakan sub-ordinat di masyarakat.

Salah satu hal yang diperjuangkan didalam upaya mencapai kesetaraan gender adalah setara dalam posisi ekonomi, politik, kehidupan bermasyarakat, pendidikan, dan lain-lainnya supaya posisi wanita bisa setara dengan pria.

Namun, Feminisme Post-Modern menyebutkan bahwa salah satu indikator mengapa wanita dan pria mempunyai posisi yang asimetris adalah "simbologi" atau "pelabelan" yang diciptakan masyarakat. 

Feminisme Post-Modernisme sendiri adalah salah satu aliran feminis yang melepaskan simbologi masyarakat dan image ciptaan masyarakat yang dibentuk berabad - abad lamanya

Beberapa Perspektif Feminisme Post-Modern diantaranya:

1. Helena Cixous menyebutkan bahwa dikotomi (dikotomi merupakan salah satu konsep teologi yang menyatakan bahwa diri manusia dapat dibedakan dalam dua aspek yaitu jiwa yang bersifat rohani dan tubuh yang bersifat jasmani ) manusia dibedakan menjadi dua, perempuan dan laki-laki dengan digambarkan selalu perempuan itu pasif dan laki - laki itu aktif, perempuan itu lemah, dan laki laki itu kuat.

2. Luce Irigaray menyebutkan bahwa perempuan dan hasrat seksualnya itu imaginer, atau khayal, atau ilusi, yang diakui oleh irigaray adalah perempuan hasil ciptaan maskulin atau perempuan yang sebagaimana diimajinasikan oleh laki-laki dan laki-laki menciptakan perempuan yang disebut "perempuan" itu langsing, berambut panjang, girly, elegan, dll.

Simbologi atau Pelabelan di masyarakat terhadap perempuan menurut feminisme Post-Modernisme adalah salah satu indikator terdalam penyebab ketimpangan gender. 

Masyarakat akan senantiasa menggambarkan bahwa perempuan itu harus berambut panjang, harus langsing, harus putih (aliran putih sama dengan cantik biasanya ditemukan di negara Partiarkhi seperti Indonesia ), dll.

Perempuan yang tidak memenuhi syarat tersebut akan mengalami kekerasan verbal. Mereka akan menjadi korban perundungan di beberapa hal sehingga sebagian besar akan mengalami depresi yang berkepanjangan namun sebagian kecil bisa bertahan melawan kekerasan verbal tersebut.

Selain image feminin atau cantik itu sendiri. Perempuan biasanya digambarkan didalam masyarakat sebagai seseorang yang manut kepada laki-laki. Perempuan digambarkan masyarakat lebih parahnya dianalogikan sebagai "benda", Perempuan biasanya digambarkan sebagai golongan kedua dari masyarakat.

Kasusnya yang lebih parah adalah tentang kasus pemerkosaan, ketika seorang wanita diperkosa oleh pria, sebagian masyarakat menyalahkan wanita yang berpakaian seksi karena dianggap menyulut nafsu pria. padahal pemerkosaan akan selalu mengancam perempuan jika pada dasarnya mindset pria adalah kotor atau ngeres.

Simbologi terhadap perempuan dan gambaran terhadap posisi perempuan dianggap merugikan perempuan itu sendiri, terbukti ketika kasus pemerkosaan yang dialami oleh wanita yang berpakaian seksi, masyarakat akan melontarkan kata-kata kotor kepada wanita yang berpakaian seksi karena sudah terkonstruk seangat lama dan tumbuh didalam masyarakat bahwa perempuan seksi akan menyulut nafsu pria.

Namun, simbologi didalam masyarakat akan sulit dihilangkan. namun bisa dikendalikan, mengendalikannya adalah dengan membebaskan wanita untuk lepas dari simbologi yang diciptakan oleh masyarakat tanpa harus mereka mengalami perundungan akibat hal yang tidak sesuai dengan pelabelan masyarakat. Biarkan mereka hidup seperti manusia pada umumnya. Menghilangkan pikiran predatorisme, pikiran seks sebagai salah satu hal yang utama, memandang posisi wanita dan pria bukan dari jenis kelamin biologis yang mereka terima dan memanusiakan manusia.

Kesimpulannya adalah, tulisan ini menjawab pertanyaan dalam masyarakat "hal apa yang paling mendasar daripada terciptanya ketidaksetaraan gender ?" - terciptanya ketimpangan gender yang mendasar dan paling menempel dalam diri manusia itu sendiri adalah "pelabelan" atau simbolisasi dan standarisasi masyarakat.

*Referensi :
1. Putnam Thong, Rosemarie. (2000), Feminism Post-Modern : Feminist Tought Fourth Edition : Palgave Macmillan. Page : 90 - 129

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun