Mohon tunggu...
maxmeroekh
maxmeroekh Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Maka Menangislah Yesus II

13 Mei 2011   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:46 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bagi Rasa Bagi Cerita Buat Emmanuel

(oleh maximillian meroekh)

Ini bukan soal agama beragama. Di sini dan didalam hal ini hanya sekedar mau mengetengahkan ide-ide tua mengenai apa yang seharusnya dan pantas, ditengah carut marut kehidupan yang cenderung menjadi semakin liar. “KASIH, menghormati sepenuhnya pada yang mahakuasa, mempedulikan sesama dalam konteks berbuat sesuatu untuk orang lain sama seperti apa yang diinginkan mereka perbuat bagimu”masih pantas untuk terus-menerus dikedepankan dalam target-target kehidupan bersama yang lebih sejuk dan saling mempedulikan satu sama lainnya . Ijinkan kami memahami dari tulisan pendahulu, Lukas dan Yohanes.

SEJARAH menorehkan berita dari dan di dalam zaman. Bahwa ada Yesus yang sempat menangis di depan publik. Ia adalah seorang lelaki muda yang kuat. Dia matang, teguh pendirian, walau sendirian tanpa dukungan institusi keagamaan apapun. Dia mengisi hari-hari di tanah jajahan Romawi di abad pertama, menyebarkan suatu ideologi, KASIH, kepada dunia. “Mengasihi TUHAN dengan segenap hati dan dengan seluruh akalbudi, dan pada saat yang sama mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Buatlah sesuatu bagi orang lain, sama seperti apa yang engkau ingin mereka buat untukmu”. Dia datang menawarkan KASIH, dan itu diri-Nya sendiri. Dia memulainya dari tanah leluhur di negeri terjanji, yang ketika itu lagi dijajah oleh pemerintah Romawi Raya. Usia-Nya baru tigapuluh tiga tahun ketika Ia meratapi kota Yerusalem.

Hanya Dia saja yang tahu, mengapa Dia menumpahkan airmata, menangis di hadapan publik. Berita menangis seorang tokoh seperti demikian pasti akan menimbulkan bermacam reaksi dan tanggapan. Sebuah peristiwa dimana ada seseorang yang menangis. Dan Ia menangisi sesuatu. Dalam hal ini, tangisan ini jelas jauh daripada memanipulasi sikap-sikap keberpihakan kepada mereka yang lemah atau tertindas. Atau sekedar melakukan pencitraan diri demi sesuatu target yang enggan di sebutkan kepada orang lain. Mungkin saja karena adanya rasa bersalah yang melekat, ataukah ada penguatan niat yang masih disimpan. Siapapun hanya bisa mengira.

Pada sebuah momentum perjalanan mendekati hari-hari akhir bertugas, selalu saja ada bayang-bayang perpisahan yang seakan menantikan ketika. Bayang-bayangnya setia mengikuti menantikan hari yang akan gelap. Sebutkan itu batas, karena demikian adanya. Hanya Dia sendiri saja yang tahu.

Sebagai manusia, Ia berpikir betapa masih miskinnya kualitas para kader penerus yang sudah dibina selama tiga tahunan sembari menjelajahi Tanah Perjanjian. Sebagian besar mereka memang adalah orang-orang sederhana dengan pendidikan sederhana. Beberapa yang lain lebih terdidik. Mereka ada yang bekerja sebagai nelayan,penagih pajak, dan ahli keuangan. Sesuatu yang sama pada mereka adalah, bahwa mereka telah melepaskan pekerjaan sendiri, meninggalkan rumah dan keluarga. Ke-12 murid memilih mengikuti Dia, berpindah-pindah dan dari saat ke saat. Merekalah kelompok murid pertama. Dia pun berpikir akan kemungkinan adanya terpaan kesulitan yang siap menghadang mereka, para murid, di depan; di belakang perpisahan yang telah ditulis sejarah berabad-abad sebelumnya. Peristiwa ini manusiawi adanya.

Sebagai yang bukan manusia, sesungguhnya hanya bisa dipikir ataukah justru harus dipercayai dalam kepasrahan kepada Yang Maha Kuasa. Betapa peristiwa itu terjadi dan berlangsung ketika Ia sedang menempuh perjalanan menuju Yerusalem, sehari dua hari sehabis menghadiri perjamuan syukur di Rumah keluarga Lazarus. Di mana tamu utama pesta itu adalah Yesus sendiri. Pestapun kemudian bubar, karena tak ada pesta yang tak pernah bubar. Pasti ada saja janjian akan bertemu kembali. Sementara Dia menyadari paham, inilah perkunjungannya yang terakhir kerumah sahabat-sahabat di Betania. Tak akan ada lagi tawa dan santap bersama. Betapa pesta itu telah ditutup dan ditandai dengan tumpahan wewangian minyak narwastu, dan sekaan lembut rambut perempuanyang pasrah dalam syukur; ungkapan kasih merespons KASIH yang sudah menghapus kekelaman pengalaman masalalunya.

Sebagaimana biasa selama tiga tahunan, didalam setiap perjalanan Dia ditemani serombongan para murid dan pengikut. Biasanya rombongan akan bertambah besar dan arak-arakan orang akan bertambah panjang didalam perkenanan-Nya ataukah mungkin karena menumpuknya harapan-harapan kehidupan yang semakin mandeg. Penuh tanya, sarat pengharapan dan mimpi.

Di dalam perjalanan, Dia ditemani oleh para murid yang duabelas, ditambah dengan sejumlah pengikut. Termasuk juga para pengagum lainnya. Menyebutkan pengikut, bisa berarti mereka yang memang memahami dan sedia mengejawantahkan ajaran-ajaran-Nya. Tetapi bisa juga terhisap mereka yang datang demi kepentingan dan pementingan sesuatu yang lain.

Di antara serombongan iring-iringan orang banyak, bisalah diperkirakan ada beberapa mata-mata dari pemerintah Romawi yang berkuasa. Demikian juga ada sejumlah kakitangan dari pemimpin agama Yahudi yang selama ini berseberangan pendapat dalam tafsir dengan-Nya. Atau bahkan ada hadir orang-orang yang membenci Dia dengan bermacam-macam alasan. Mereka membenci karya-Nya, sekaligus membenci orang-Nya. Sesuatu karya yang memang tak pernah lepas dari diri dan pendirian. Selalu melekat mewujud didalam ekspresi kehadiran, yang membuat para musuh semakin teguh membenci Dia.

Inilah buah kebencian yang aneh. Karena cuma berangkat dari ekspresi pemahaman dan penafsiran agama yang berbeda, atau sengaja dibuat beda. Beda tafsir atas hubungan percaya dan pengabdian kepada yang mereka panggil atau sebut TUHAN. Para pemimpin agama Yahudi membenci Dia, hanya karena takut kehilangan pamor, popularitas, di antara sesama anak bangsa Yahudi. Mereka selalu berusaha memanipulasi keadaan dengan memberikan pandangan yang menyesatkan kepada para penguasa Romawi demi memperkuat jabatan, dan status sosial mereka. Padahal kebenaran yang dikehendaki selayaknya dipedomani atau diadili oleh hatinurani sendiri dan tidak hanya oleh hukum positif.

Dia, adalah TUHAN yang menangis! Dia juga lelaki muda berusia 33 tahun. Pekerja yang ulet. Betapa Dia menjadi tulang punggung keluarga, bekerja mencukupkan kehidupan bersama mereka sepeninggal ayah mereka Yusuf. Yesus bekerja sebagai tukang kayu di Natzaret selama duapuluhan tahun menopang hidup janda Maria ibu-Nya, dan adik-adik-Nya.

Dia sekaligus adalah manusia utuh yang menangis! Mengapa demikian? Katanya, sekali lagi, karena hakekat KASIH yang melekat dan mewujud tampil dari nama-Nya. Demi nama Itu sendiri yang senantiasa mengasihi dunia ciptaan-Nya. Peristiwa menangis itu telah terjadi. Tumpahan perasaan manusiawi yang entah, di kerumunan masa pengikut dengan berbagai pendapat dan alasan, yang mengikutinya.

Yesus pernah menangis di perjalanan dari seberang Sungai Yordan menuju ke Betania ke rumah Keluarga Lazarus. Ketika itu, Dia belum lama menyingkir dari Kota Yerusalem karena adanya kelompok-kelompok orang Yahudi yang mau menangkap Dia. Atas tuduhan tunggal, Dia menghujat Allah. Sebelumnya dalam suatu perdebatan diseputar nama Itu, mereka sempat mau melempari Dia dengan batu karena alasan pencemaran nama TUHAN. Selalu ada saja orang-orang di sepanjang zaman yang merasa berhak mewakili TUHAN dalam seribu satu alasan.

Ia memilih datang ke Betania. Ia memenuhi panggilan Maria dan Marta untuk menolong Lazarus yang sakit, dan kemudian keburu meninggal. Sekalilagi, dalam hal ini Dia memilih menolak permintaan menyembuhkan Lazarus dengan melambatkan kedatangan-Nya. Dia mau melakukan dan memberikan yang lebih. Pertolongan kepada keluarga Lazarus, dilakukan dengan menghidupkan kembali Lazarus; memang menimbulkan sukacita yang sangat, bagi keluarga dan orang sekampung di Betania.

Pada waktu yang sama popularitas nama-Nya juga terus menaik. KASIH dan kebaikan menyebar ke seluruh negeri, mulai menggetarkan pusat kekuatan agama Yahudi. Para pemimpin agama bersekongkol, menjadikan itu sebagai alasan untuk membunuh Yesus. Dia mulai dicari-cari untuk ditangkap dan diadili oleh para pemimpin agama Yahudi; bahkan dengan meminjam tangan militer dengan alasan demi kewibawaan Romawi Raya. Demikianpun Lazarus yang bangkit, juga dijadikan target pembunuhan demi menyetop popularitas Yesus.

Kali ini, Dia, Yesus kembali menangis di tepian jalan menurun, menuju kota Yerusalem. Yesus berdiri di suatu ketinggian pada bukit Zaitun. Ia mengambil tempat dan posisi yang memungkinkan agar bisa menatap ke arah kota suci. Dengan perasaanNya yang entah, sukar ditebak. Yesus menangisi Yerusalem kota Sion. Bisa saja Dia menangisi masa lalu didalam menapaki kenangan. Ataukah menangisi kekinian dan masa depan kota ini, atas nama pengharapan yang seakan mustahil. Karena memang harus demikian adanya.

Ada apa dengan tangisan Yesus tersebut? Atau mengapa Yesus menangis? Paling tidak kita hanya bisa menafsir. Sebab kita bukan Dia. Siapapun kita apakah kita saksi mata, atau orang yang belajar memahami literatur sejarah, terkadang akan mandeg dalam pemahaman ataupun dalam keengganan yang entah.

Dokter Lukas menulis, Yesus menangisi Yerusalem justru dalam perjalanan menuju Yerusalem sesudah Dia menangis di perjalanan menuju rumah sahabat karibnya di Betania. Inilah Perjalanan terakhir Yesus ke kota suci, Perjalanan Yesus terakhir ke kota impian Daud yang awal mulanya dibangun oleh Raja Solaiman memenuhi impian ayahnya Daud. Belakangan kota itu diruntuhkan dan Bangsa Pilihan ditawan musuh dan dibuang ke Babel selama tujuhpuluh tahun. Kota kemudian direstorasi kembali, pengalaman mana sempat berulang.

Yesus menangisi Yerusalem, kota yang dibangun Herodes. Beberapa waktu sebelumnya, Dia menentang dengan teguh, akan penguasa dan teolog di tengah-tengah kerumunan orang banyak di Bait TUHAN. Dia menantang mereka untuk meruntuhkan Rumah TUHAN, Bait Allah, di Yerusalem, dan Ia akan membangun kembali dalam waktu tiga harian.

Yesus dielu-elukan oleh orang banyak. Para pengikut, simpatisan, demikianpun para musuh, mengikutinya ketika Ia berjalan memasuki kota Yerusalem. Yesus menangisi kota Yerusalem. Apakah Yesus menangis karena terkenang akan masa lalu kota Yerusalem? Alkitab mencatat bahwa kota ini adalah yang terakhir dikunjungi Yesus sebelum Ia disalibkan dan mati. Ia memandang Yerusalem dari Bukit Zaitun. Ia memandang dibalik Yerusalem. Ia memandang ke depan di balik masa kini. Apakah penolakan dan kebencian dan pembunuhan oleh sebagian orang yang tadinya mengelu-elukan Dia, akankah berlanjut di hari-hari ini ?..................

Yesus menangis karena para murid pertama masih kerap bimbang di ujung perpisahan. Mereka belum juga memahami dan meyakini bahwa Yesus yang setiap hari ada bersama-sama mereka, menyampaikan ajaran, membuat banyak tanda-tanda ajaib, adalah sang Juru Selamat yang berabad-abad dinanti-nantikan. Yesus mau mereka mengenal dan mengakui hakekat-Nya dengan tulus dan tanpa paksaan, atau karena terpaksa.

Sesuatu yang telah terjadi pada kota Jerusalem tetap membekas pada sejarah dunia di hari ini.Jerusalem sebagai salah satu kota penting di dunia menyimpan banyak cerita, masalalu. Bahwa selama 3.000-an tahun, Jerusalem mengalami paling tidak puluhan kali penaklukan dan restorasi atas kota ini sejak dibangun Raja Solaiman. Berbagai penguasa dunia silih berganti menguasai wilayah ini, dan kini menjadi ibu kota Israel. Hari inipun Yerusalem pun bukan tanpa masalah. Masih diperebutkan atas nama sejarah, dan entah akan usai….

Yerusalem, Yerusalem, kota impian, Yesus masih menangis di hari ini dan ke depanpun. Kita hanya bisa larut dalam bermenung, kalaupun tak sampai menangis…..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun