Harus diakui bahwa dari kenyataan yang ada, setidaknya sebelum diberlakukan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), bahwa manajemen atau pengelolaan kelas (sebagai bagian dari manajemen berbasis sekolah [MBS] dan manajemen pendidikan – yang juga merupakan salah satu faktor utama penyebab rendahnya mutu pendidikan kita sebagaimana adanya banyak hasil penelitian tentang bidang ini) dalam Sisdiknas kita atau yang real dalam pengimplementasiannya di sekolah-sekolah (pendidikan formal) pada semua jenis dan jenjangnya (kecuali pada jalur pendidikan Non Formal dan Informal) menjadi terabaikan atau tidak mendapat perhatian yang serius dari para guru, pimpinan sekolah, pengawas mata pelajaran/sekolah hingga pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan baik pada tingkat pusat maupun daerah.
Hal ini tentunya berdampak pada timbulnya berbagai dampak negetif dalam suatu upaya yang terintegrasidalam satu sistem dalam upaya meningkatkan prestasi anak didik dan mutu pendidikan secara umum. Tidak dapat dikelolanya atau menata – mengatur, memimpin, menciptakan, dan mengendalikan sebuah kelompok, tempat atau situasi belajar yang sesuai dengan materi pelajaran yang akan disampaikan dengan metode tertentu – sesuai, situasi perkembangan (usia/mental) peserta didik, perkembangan/tuntutan jaman, akan menyebabkan anak didik menjadi pasif, tidak bersemangat, jenuh atau membosankan dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas yang tentunya tidak saja menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan, atau menurunnya prestasi belajar mereka. Akan tetapi dalam kurun waktu tertentu akan berdampak pada tidak adanya kemauan atau semangat mereka untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikutnya atau akan menghambat pula upaya dalam menumbuhkan masyarakat belajar (learning society), yakni masyarakat yang memiliki budaya belajar secara terus menerus (Achir, 1997). Keadaan ini dapat diperparah lagi bila dalam penerapan suatu metode mengajar oleh guru tidak sesuai! Sebab ketepatan dalam penyampaian materi pembelajaran dengan metode pembelajaran – mengajar yang benar akan mempermudah dan mempercepat proses penyampaian ilmu kepada anak didik.
Model atau bentuk-bentuk penataan kelas sebagaimana yang tentunya “kita” masih ingat semuanya pada masa-masa sebelum tahun 2003 terlihat, terkesan atau sepertinya sama/terformat dalam satu pola yang sama di semua jenis dan jenjang pendidikan formal (sekolah) kecuali pada jalur pendidikan non formal/informal, di samping karena mengacu pada dasar peraturan atau pedoman yang sama, juga kita harus akui begitu besar/kuatnya pengaruh/intervensi para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan di tanah air hingga masuk ke ruang kelas (dapat dikatakan seperti itu), yang mengatur guru “harus begini dan begitu” sesuai kemauan yang “berkuasa” dalam bidang ini. Guru sepertinya tidak punya kebebasan dalam menerapkan suatu konsep atau metode yang telah dikuasainya atau berdasarkan pengalamannya selain yang sudah ditunjuk atau dikasi juklak/juknisnya.
Senada dengan uraian singkat pengaruh kekuasaan ini, adalah pendapat salah seorang tokoh pendidikan di tanah air yang menyampaikan pendapatnya terkait menurunnya hasil akhir nilai ujian nasional dari beberapa daerah yang terkemuka dalam pendidikan, sehingga secara peringkat seharusnya tidak boleh berada di bawah daerah-daerah yang selama ini tidak dianggap unggulan dalam bidang pendidikan, yang ditayangkan secara live (langsung) oleh salah satu Stasiun Televisi Lokal seusai pengumuman tersebut oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan Juni 2016 (tanggal dan nama stasiun televisi lupa). Lebih lanjut mengenai gambaran dari model penataan kelas yang dimaksud, adalah seperti bentuk dalam kelas yang berada dalamdesign yang permanent, harus adanya papan tulis yang tertempel pada dinding/tembok kelas bagian depan, susunan kursi dan meja peserta didik yang menghadap ke depan, posisi kursi dan meja guru yang berada di antara meja/kursi siswa dengan papan tulis.
Kemudian pada sisi lain dari dinding/tembok kelas terdapat foto-foto/gambar para pahlawan nasional kita, peta atau simbol-simbol negara lainnya dan sebagian juga terlihat berdiri satu atau dua lemari/rak buku atau tempat lain untuk menyimpan perlengkapan kelas atau untuk proses pembelajaran lainnya, seperti kapur tulis/spidol, penghapus papan tulis, mistar besar/panjang, bola dunia/globe dan alat peraga mengajar. Sedangkan pada sebagian sekolah terutama pada jenjang pendidikan dasar (SD/SMP) perlengkapan seperti ini disimpan di kantor, gudang atau tempat khusus lainnya yang disediakan.
Apalagi dengan penerapan prinsip-prinsip manajemen – pengelolaan kelas dalam mengelola sebuah kelas sebagai suatu organisasi kecil/kelompok – sistem sosial dalam sebuah lembaga pendidikan – sekolah, tentunya dapat dikatakan hampir tidak ada sama sekali sebagaimana dalam paparan awal di atas, yang telah disinggung bahwa ini adalah salah satu indikator atau faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Kecuali hanya sekedar membentuk pengurus kelas (organisasi/kelompok – sistem sosial) oleh guru/wali kelas, yang terdiri dari ketua, wakil ketua kelas, sekretaris dan bendahara kelas yang biasanya tidak disertai uraian akan tugas/fungsinya secara detail kecuali yang sedikit nampak adalah ketua kelasnya yang menjalankan tugas-tugas yang paling umum yang berlangsung sejak dahulu kala, yakni memimpin barisan sebelum masuk kelas atau pada upacara di sekolah, membantu guru mengambil daftar hadir/absen di kantor/ruang guru bila lupa, mengambil buku-buku paket pelajaran atau lainnya di kantor/perpustakaan sekolah untuk dibagikan ke teman-temannya.
Padahal ada 14 prinsip manajemen sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry Fayol yang sebagian besardapat diaplikasikansecara penuh untuk mengelola sekolah – termasuk kelas di dalamnya dengan baik, seperti pembagian kerja, keseimbangan wewenang dan tanggungjawab, disiplin, kesatuan komando, kesatuan arah, mengutamakan kepentingan organisasi (sekolah) di atas kepentingan individu, kompensasi yang adil, sentralisasi, rantai scalar, tata tertib, keadilan, stabilitas kondisi karyawan (tenaga kependidikan yang ada di sekolah), inisiatif dan semangat kesatuan.
Atau paling tidak terdapat 4 (empat) prinsip yang digunakan MBSuntuk mengelola sekolah dan seterusnya ke kelas, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip system pengelolaan mandiri , dan prinsip inisiatif sumber daya manusia (SDM). Di mana dari atau dalam hubungan dengan prinsip-prinsip ini dapat dilihat beberapa pengertian tentang pengelolaan kelas sebagai berikut,
1) pengelolaan kelas yang bersifat otoritatif, yakni seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan mempertahankan ketertiban suasana kelas, disiplin sangat diutamakan;
2) pengelolaan kelas yang bersifat permisif, yakni pandangan ini menekankan bahwa tugas guru adalah memaksimalkan perwujudan kebebasan siswa;
3) pengelolaan kelas yang berdasarkan prinsip-prinsip pengubahan tingkah laku;