Masa Special
Umat Katolik Roma segera memasuki masa Prapaskah atau masa pertobatan. Bagi umat Katolik yang hidup, ada, dan berkembang di Indonesia, masa Prapaskah tahun 2024, terasa special dan langka karena jatuh berbarengan dengan hari Valentine Day dan Pesta Demokrasi alias Pemilihan Umum (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif). Terkait dengan Rabu Abu yang jatuhnya bersamaan dengan hari Kasih Sayang (Valentine Day), umat Katolik dapat menyambut moment bahagia itu dengan suatu ungkapan kasih sayang yang sederhana. Orang-orang tercinta dapat diajak untuk saling mendoakan dan saling memberkati satu sama lain karena suatu ungkapan kasih sayang tidak selamanya harus ditunjukkan dengan makan-minum dan pemberian kado yang mewah.Â
Sehubungan dengan Pesta Demokrasi, semua umat Katolik yang sudah mempunyai hak pilih tetaplah mendatagi TPS-TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk menyalurkan aspirasinya secara bebas dan rahasia pada saat itu. Penerimaan abu dapat dilakukan pada hari-hari selanjutnya sampai dengan hari Minggu Prapaskah pertama. Pastor paroki bersama dengan dewannya sedapat mungkin menentukkan waktu yang tepat untuk itu secara bijak. Gereja tidak boleh kehilangan rahmat pertobatan karena larut dalam merayakan hari kasih sayang dan pesta demokrasi.
Ritus Menerima Abu Di Dahi Atau Kepala
Umat Katolik memulai masa Prapaskah dengan ritus penerimaan abu di kepala. Abu yang sudah didoakan, diberkati, dan dibagikan itu, berasal dari hasil pembakaran daun-daun palma pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Masa PraPaskah Umat Katolik berawal dan mulai membentang dari ritus ini.Â
Dengan menerima abu di kepala, umat Katolik diajak untuk melihat siapa dirinya di hadapan Tuhan dan sesama. Allah melalui Gereja senantiasa mengajarkan bahwa umatNya terbentuk dan tercipta dari tanah. Di tangan Sang Pencipanya, ia dibentuk begitu indah dan menarik akan tetapi, ketika masanya tiba, ia akan rapuh, retak, bahkan hancur berkeping-keping.Â
Oleh karena itu, dalam seluruh pergumulan, pergelutan, dan perjuangannya untuk menggapai dan merengkuh semua keindahan, kemewahan, dan kemegahan hidup yang ditawarkan dunia, umat Katolik disadarkan untuk mengekang, mengendalikan, dan membatasi diri agar tidak rapuh,retak, dan hancur. Ia berasal dari debu, abu, atau tanah dan pada saatnya ia akan kembali kepada asalnya itu.Â
Masa Prapaskah menjadi saat yang tepat untuk bermenung, melihat kembali pada diri sendiri, untuk kemudian mengakui dengan sungguh kerapuhan, kelemahan, dan kekurangan-kekurangan dihadapan Tuhan. Kesempatan untuk memperbaiki diri selama masa Prapaskah dapat dilakukan dengan tiga hal yakni, berderma, berdoa, dan berpuasa.
Menghayati Tiga Pilar Kewajiban Agama
Dalam kehidupan spiritual bangsa Yahudi, terdapat tiga pilar kewajiban beragama yakni, berderma, berdoa, dan berpuasa. Ketiga pilar ini pulalah yang ditegaskan Yesus dalam kotbahNya di bukit. Menarik bahwa Yesus tidak hanya menyebut ketiganya secara gamblang tetapi menyertainya dengan penjelasan akan bagaimana pelaksanaannya secara terang. Untuk menggapai dan menikmati tujuan baik dari pengamalan, penghayatan, dan praktek akan ketiga kewajiban agama di atas dibutuhkan kemurnian hati. Jangan melakukannya seperti orang munafik.
Orang munafik dalam pandangan dunia Yahudi sama dengan pemain lawak atau pemain sandiwara. Apa yang ditampilkan di atas panggung tidak sesuai dengan suasana hatinya yang sesungguhnya. Mereka hanya dituntut untuk tampil sesuai dengan skenario sang sutradara guna menghibur penontonnya. Mereka dipuji dan disanjung setinggi mungkin akan tetapi, yang sejatinya adalah itu bukanlah diri mereka. Masa Prapaskah yang terbentang selama 40 hari lamanya, akan diisi oleh umat Katolik dengan berderma, bedoa, dan berpuasa atau pantang. Kotbah dan penjelasan Yesus tentang ketiga hal itu, kiranya menjadi tuntunan dan bimbingan yang sempurna untuk menggapai segala rahmat yang dijanjikan Allah melalui GerejaNya.
Secara umum, Gereja memiliki aturan, hukum, pun pedoman dalam mengatur pelaksaan aksi puasa umatnya. Akan tetapi dalam realisasinya Gereja selalu terbuka dan memberikan kebebasan kepada setiap pribadi untuk menentukkan apa saja yang perlu dan penting untuk dibatasi, dikekang, dan dikendalikan selama menjalani masa Prapaskah. Hal-hal duniawi (makanan, minuman dan kenikmatan-kenikmatan lain) yang sebelunnya dikonsumsi secara berlebihan, sedapatmungkin dikurangi. Niat baik untuk itu, hendaknya disesuaian dengan kemampuan fisik, umur, dan saran-saran baik dari pihak medis. Gereja tetap mengedepankan kesehatan dan keselamatan umatnya.Â
Ritus Pembasuhan Kaki
Gereja menutup seluruh rangkaian masa Prapaskah dengan suatu ritus lain yakni ritus pembasuhan kaki. Ritus ini dilaksanakan pada malam Kamis Putih sebagai simbol pelayanan penuh kasih dan tanpa pamrih kepada sesama. Selanjutnya, pada keesokkan harinya (Jumat Agung), Gereja mengenangkan peristiwa sengsara dan wafat Yesus Kristus di kayu salib. Maka, dapat dikatakan di sini bahwa masa Prapaskah umat Katolik merupakan suatu rangkaian perjalanan yang membentang dari kepala sendiri sampai kepada kaki sesama.Â
Kedua ritual keagamaan itu sarat akan makna dan nilai. Penghayatan yang tepat dan benar akan keduanya senantiasa mendatangkan rahmat, berkat, dan kebaikan-kebaikan yang berlimpah. Rasa sesal, rasa tobat, dan rasa rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama, mewujud dalam sikap menanggalkan seluruh kebesaran dan kemegahan yang melekat dalam diri untuk kemudian menunduk dan merendahkan hati untuk melayani orang lain dengan penuh kasih sebagaimana diteladankan oleh Yesus Kristus.Â
SALAM KASIH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H