Badai Menerpa
Orang bijak mengatakan bahwa perjalanan hidup berkeluarga itu, ibarat sebuah biduk yang mengarungi lautan lepas. Ada kalanya, akan ada badai, angin, dan gelombang yang akan datang menghadang, menimpa, dan menerpa.Â
Pada waktu lain, lautan akan menjadi teduh, tenang, dan memberi rasa damai. Kemudi harus dikuasai. Lautan harus diselami. Pilihan antara karam, kandas, tenggelam dan sampai ke labuhan, terletak pada kekuatan cinta dan kesetiaan kedua insan yang mengarunginya.
06 Jan 1965, Tjipta -Rose, dua insan dimabuk cinta itu, sepakat untuk berlayar bersama. Dengan melibatkan Tuhan, keduanyapun mengayuh bahtera mereka. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kedua makhluk Tuhan itu, mengawali pelayaran mereka dengan cuaca dan suasana lautan yang amat buruk. Angin, badai, dan gelombangpun datang datang menerjang.
Di tengah-tengah cobaan itu, Tjipta tidak cemas, gelisah, takut, pun lari meninggalkan Rose meratap seorang diri atau sebaliknya. Keduanya kompak mengendalikan kemudi dan sekata, sepikiran, mengarahkan layar kapal mereka. Badaipun berlalu, kapal tetap melaju, dan tiba dengan selamat sampai kelabuhannya.
Tak Silau Ditimpa Sinar Kegemerlapan
Mengenang kembali perjuangan hidup Tjipta-Rose, untuk menjadi seperti saat ini, saya teringat akan sebuah kata bijak yang mengatakan bahwa "Berkat Tuhan itu tersedia pada banyak pintu-pintu kehidupan.Â
Ketika engkau mendapati bahwa salah satu pintu tidak menyediakan berkat Tuhan itu, cobalah untuk mengetuk pintu yang lain". Lewat pengalaman hidup Tjipta-Rose, pameo itu menjadi nyata, real, Â dan hidup. Bukan sebuah pepesan kosong, bukan sekedar ungkapan indah penghias bibir, atau pelipur lara sesaat di saat duka.
Setelah mendapatkan semuanya, harta, kesuksesan, status sosial yang mumpuni, anak-anak dan cucu-cucu yang gagah dan cantik-cantik, bapak Tjipta dan Ibu Rose, tetaplah membumi.Â
Cinta dan kesetiaan mereka tetap terjaga, terjamin, terpelihara, dan lestari. Tidak ada yang tergoda dengan berbagai tawaran dunia yang indah dan menggiurkan. Mata dan hati keduanya tidak silau oleh kegemerlapan hidup dan tidak bermegah di atas keadaan.Â
Tak Lekang Oleh Waktu
Orang bijak mengatakan bahwa"Jatuh cinta itu mudah, tetapi untuk membangunnya, amat sulit". Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia, Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa "Setiap saat, beribu-ribu pasangan di dunia ini, datang ke hadapan Allah untuk mengucapkan janji sehidup semati dengan angan-angan, impian, dan khayalan yang tinggi untuk berbahagia.Â
Akan tetapi, angan-angan, impian, Â dan khayalan itu tidak disertai dengan kesadaran yang sungguh bahwa orang yang diajak untuk mencapai angan-angan dan impian itu adalah manusia biasa yang punya kekurangan dan keterbatasan. Maka, yang terjadi adalah banyak keluarga yang akhirnya tercerai berai, bubar, dan gagal mewujudkan impian itu.Â
Bapak Tjipta dan Ibu Rose, telah membuktikan kepada dunia bahwa cinta yang sulit dibangun ditengah-tengah ego manusia, dapat dikalahkan kalau memang memiliki komitmen bukan hanya janji semata.Â
Kekurangan pasangan, dapat dilengkapi untuk menghasilkan kesempurnaan, kalau memang ada komunikasi dan relasi cinta yang hangat untuk mencapai kebahagiaan. Membangun keluarga yang bahagia, tidaklah mudah. Pasti ada padang gurun yang harus dilewati. Maka, dalam situasi demikian, jadikanlah Allah sebagai sumur atau mata air untuk datang dan menimbah kesegaran dan kelegaan padaNya.Â
SELAMAT BERBAHAGIA BAPAK TJIPTA DAN IBU ROSE. TETAP DAN TERUSLAH MENJADI INSPIRASI HIDUP BAGI BANYAK ORANG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H