Menerima dan Memaknai Kehadiran Seorang Anak Sebagai Rahmat
Kehadiran seorang anak di tengah-tengah sebuah keluarga, seharusnya tidak hanya dipandang sebatas pelengkap cinta kasih, kebahagiaan, kegembiraan dan sukacita dari pasangan suami-isteri, tetapi lebih daripada itu, harus diterima dan dimaknai sebagai rahmat, berkat, dan kasih karunia Allah yang teramat berharga.Â
Allah menganugerahkan mereka secara cuma-cuma dan sukarela. Banyak keluarga yang tidak semujur keluarga-keluarga yang dipercaya dan diperkenankan untuk memiliki dan menikmati  rahmat, berkat, dan  karunia itu walaupun sudah berupaya lewat berbagaimacam cara dan jalan.Â
Ketika seorang lahir, ada, dan hidup di tengah-tengah sebuah keluarga maka, pada saat yang sama, pasangan yang bersangkutan menerima suatu kepercayaan, tanggung jawab, dan panggilan yang luhur dari Allah untuk menjadi orangtua, penanggung jawab, pemelihara, dan penjamin bagi kehidupannya, terutama membesarkan dan mendidiknya seturut kehendak, maksud, dan tujuan Sang Pemberinya yakni Allah itu sendiri.Â
Sebagai seorang ayah dan seorang ibu, kedua-duanya bertugas untuk menjadi pelayan atas kehidupan anak tersebut dan mengambil bagian dalam usaha Allah untuk memperbanyak dan memperluas kehidupan manusia di muka bumi ini.
Kerja Sama yang Tak Berkesudahan
Kerja sama sebagai pasangan suami-isteri terhadap kehadiran seorang anak, seyogyanya tidak mengenal batas. Tidak hanya terjadi saat merencanakan kelahirannya, tetapi itu terus berlanjut pada usaha bagi pendidikannya, baik secara moral maupun spiritual. Justru pada tahap atau bagian ini, kerja sama itu harus semakin padu, matang, dan mantap agar anak tersebut tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang utuh.Â
Keberhasilan sebuah keluarga tidak akan diukur dari bagaimana usaha keluarga tersebut untuk melahirkan anak sebanyak-banyaknya tetapi diukur dari sejauh mana keluarga yang bersangkutan bekerja sama untuk membesarkan dan mendidik anak-anak yang telah ada.
Pencapaian sebuah keluarga dalam membesarkan dan mendidik anak-anak yang dipercayakan Allah, akan menjadi cermin bagi orang lain untuk menilai, menakar, dan mengukur tanggung jawab dan kerja sama sebagai orangtua dalam membesarkan dan mendidik mereka.
Peran yang Tak Tergantikan
Setiap mereka yang telah berstatus "orangtua", hendaknya menyadari dengan jelas dan jernih bahwa penanggungjawab utama dalam dalam pendidikan anak-anak bukanlah guru atau yang lainnya apalagi "mbak google". Keluarga merupakan sekolah pertama dan utama bagi seorang anak dalam mengenal dan mengerti segala hal yang terkait dengan kehidupannya sebagai manusia.
Alasan utamanya adalah cinta kasih. Cinta kasih sepasang suami-isterilah yang melatarbelakangi kelahiran dan kehadiran seorang anak di dunia ini.Â
Maka, untuk selanjutnya, kesejatian cinta kasih itu akan diuji, lewat perjuangan untuk mengalahkan diri dan segala kepentingan lain demi membesarkan dan mendidik anak-anak.Â
Keberadaan sekolah, pendidik (guru), dan sarana lain seperti mbak google, hanyalah pelengkap untuk menyempurnakan tugas dan tanggungjawab sebuah keluarga dalam aspek kehidupan lain (pengetahuan) dalam diri seorang anak.
Mengukur dan Menakar Diri Melalui Proses Belajar dari Rumah
Proses belajar dari rumah karena Covid-19, dapat dijadikan sebagai patokan untuk mengukur sejauh mana kedalaman cinta kasih suami-isteri kepada anak-anak yang telah dilahirkan. Ketika mendampingi anak-anak di rumah, sudah pasti bahwa tenaga, pikiran, emosi atau perasaan sebagai orangtua akan terkuras.Â
Dalam situasi demikian, cinta kasih, kesetiaan, kesabaran, kreatifitas, dan berbagai hal baik lain yang ada dalam diri mereka yang dipanggil sebagai orangtua, akan teruji.Â
Ketika para orangtua kalah dan kurang dalam hal-hal baik yang ada dalam diri maka, tergoda untuk berteriak, mengeluh, mengesah, bahkan menyia-nyiakan rahmat terindah (anak) yang telah anugerahkan Tuhan. Sejauh ini, hal buruk ini telah terbukti bahkan ada orangtua yang tega membunuh darah dagingnya sendiri.
Dininabobokkan oleh Sekolah, Guru, dan Teknologi
Entah disadari atau tidak, jauh sebelum terjadinya proses belajar dari rumah, kebanyakan orangtua hanya menitikberatkan tanggungjawab pendidikan anak-anak kepada sekolah dan guru. Orangtua hanya tahu mencari uang, uang, dan uang.Â
Para orangtua berpikir bahwa uang dapat menyelesaikan segala hal. Sehingga ketika terdapat sesuatu yang tak beres dalam diri anak-anak, terkait dengan perkembangan pendidikannya, sekolah dan guru dengan mudah dijadikan sebagai kambing hitam.Â
Kemajuan teknologi yang amat pesat saat ini, terutama keberadaan aplikasi google, turut berperan dalam meninabobokkan orangtua dalam mendidik anak-anak. Google telah menyediakan segala sesuatunya sehingga orangtua hanya dituntut untuk memiliki handphone, pulza, kwuta internet, dan tahu mengklik maka, selesai persoalan.Â
Perlu diingat bahwa anak-anak sekarang lebih menguasai dunia teknologi dibandingkan dengan orangtuanya, jangan sampai karena anggapan itu, pendampingan secara emosional sebagai orangtua kepada anak-anak menjadi terabaikan.Â
Persoalan akan semakin rumit dan pelik kalau keberadaan anak-anak tidak disadari sebagai rahmat tetapi sebagai beban dan melupakan fungsinya sebagai pendidik pertama dan utama. Orangtua hanya akan terus berteriak, mempersalahkan, dan persoalkan peran pemerintah, sekolah, guru, dan sarana teknologi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H