Article 19 of UDHR:
"Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers."
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 amandemen kedua:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."
Dunia dalam keadaan peperangan. Mulai dari konflik Rusia-Ukraina hingga konflik Israel-Palestina di Timur Tengah. Tidak lupa perselisihan antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
"The goal of war is peace, of business and leisure." - Aristotle.
"The true objective of war is peace." -Sun Tzu.
Tujuan peperangan adalah perdamaian. Namun, apa kenyataanya? Filsuf dan polimatik asal Inggris mengatakan: "War does not determine who is right, only who is left." Perang tidak menentukan siapa yang benar, tetapi siapa yang tersisa. Peperangan membawa kehancuran dan malapetaka bagi pihak yang terlibat. Tidak ada kemenangan yang hakiki, penderitaan lah yang ada. Berbagai cara telah dilakukan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik yang seringkali berujung pada peperangan tersebut. Namun, para pihak sering berujung dengan tidak damai. Apa penyebabnya? Bahasa.
Sangat disayangkan sekali jika manusia dilepaskan dari sejarah seperti kata Karl Marx. Manusia pada mulanya hanya memiliki satu bahasa dan dapat saling bekerjasama membangun menara babel. Masih ingatkan? Sayangnya Tuhan merasa manusia bersikap angkuh dan kemudian memecah belah mereka menjadi berbagai bahasa agar sulit untuk bekerjasama.
Hal ini kemudian berkembang menjadi perselisihan yang berujung konflik di antara satu dengan yang lainya. Bagaimana memperbaikinya? Dengan sikap rendah hati seperti ajaran Santo Vincent De Paul yaitu dengan mau menghilangkan sifat nasionalisme sempit dan mau dengan rendah hati mempelajari bahasa bangsa lain.
Semakin banyak bahasa yang dikuasai oleh seseorang, semakin mungkin orang tersebut untuk membawa perdamaian. Lupakan perkataan Voltaire sejenak: "Anyone who can make you believe absurdities can make you commit atrocities." sebab hal ini merupakan suatu argumen yang logis.
Sejarah memang tidak selalu berkata demikian. Perang saudara sering terjadi bahkan dengan bahasa yang sama. Dalam sosiologi, konflik peran dapat terjadi jika setiap orang memiliki pekerjaan yang sama. Sebuah hewan jantan yang bertemu akan memperebutkan betina yang sama. Namun, ada baiknya mengingat perkataan ilmuan penemu elektromagnetik terkemuka, Michael Faraday: "But, still try, for who knows what is possible?"
Salah satu upaya konkrit dari topik ini adalah apa yang telah penulis lakukan yakni menyatukan antara Tiongkok, Indonesia , dan Amerika Serikat melalui pembentukan Sekolah Chinese: Learn Bahasa 中文 WIth Max. Perpaduan antara tiga bahasa hanya dapat terwujud melalui kerja keras, disiplin, dan tekad yang kuat untuk mempelajari bukan sekedar bahasanya melainkan sejarah, budaya, dan adat-istiadatnya juga. Internet telah memudahkan kita untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang sangat luas sekali.
Berbicara bahasa suatu bangsa dapat dianggap sebagai tindakan menghargai atau mengapresiasi bangsa tersebut dan dapat membawa pengaruh perdamaian. Lupakan ambisi sempit untuk menguasai bangsa sendiri seperti perkataan Vladimir Putin: "If you aspire to be a leader of your own country, you must speak your own language, for God's sake." Ingatlah perkataan Plato: "He who does not desire power is fit to hold it." Barangsiapa yang tidak menginginkan kekuasaan cocok untuk memilikinya.
Akhir kata, semoga artikel ini dapat memberi manfaat dengan membuka wawasan para pembaca budiman. Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā. Semoga Semua Mahkluk Berbahagia. Sampai jumpa di artikel berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H