Minggu  18 Juni 2023 adalah momen pertama kami menjumpai Mama Sorgum. Seorang Ibu yang begitu energik bukan hanya mengurus keluarga, tetapi juga berkontribusi memperjuangkan kedaulatan pangan lokal. Mama Maria Loretha demikian Ia biasa disapa. Ia tinggal di hamparan pertanian Waiotan, Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur.
Mama Loretha adalah seorang perempuan Dayak Kalimantan Barat, Ia lahir di Ketapang, 28 Mei 1969. Ia menempuh pendidikan formal di SMA Fransiskus 1 Jakarta dan menyelesaikan Strata satu Hukum di Universitas Merdeka, Malang.
 "Sejak kecil saya sudah biasa hidup di alam -berlibur ke pedalaman, ke hutan Kalimantan (ikut Datok atau Kakek saya ke hutan). Saya ikut memanen padi dan labu besi di kebun. Saya ikut memancing di sungai. Hal ini yang kemudian membuat saya tidak terkejut ketika saya mendapatkan suami -berasal dari Waibalun, Flores Timur-  yang kemudian mengajak saya untuk tinggal di sini (Pajinian), tempat yang mungkin bagi sebagian orang berkeberatan lantaran tidak ada listerik, akses ke kota jauh, pasar semingu sekali, tetapi saya bisa bertahan" demikian tutur Mama Loretha.
Pola hidup  yang sudah Ia biasakan sejak kecil akhirnya memampukan Mama Loretha menempuh masa depannya secara gemilang. Semangat hidup berkebun sudah ditanam oleh Ayahnya sejak kecil. Ayahnya adalah seorang Pejabat Negara yang memiliki minat berkebun, beliau seorang hakim yang terkenal sekaligus pekerja kebun yang handal pada masanya.
"Bapak mengajarkan kepada kami bahwa setiap kali liburan kuliah tiba, kami bukan pergi ke mall atau plasa untuk bersenang-senang, tetapi kami pergi mengecek ikan di kolam, mengecek sayur kangkung di kebun, dan mengecek padi di sawah yang bapak tanam bersama kariawan/tukang kebun di luar Jakarta -yang bisa ditempuh sekitar satu setengah jam dari Jakarta. Waktu tugas di Madiun Jawa Timur juga Bapak menanam jeruk dan sirsak. Jadi hal-hal itu terekam dengan baik di alam bawah sadar saya" demikian Mama Loretha melanjutkan kisahnya.
Memiliki Ayah Pejabat yang aktif dalam dunia pertanian membuat keluarga Mama Loretha tidak pernah kesulitan soal pangan. Keluarga mereka tetap mengonsumsi makanan dari hasil kebun mereka sendiri selama tinggal di Jakarta. Padi yang dihasilkan dari sawah yang dikelola oleh ayahnya cukup untuk dikonsumsi keluarga.
Kemudian, bagaimana Mama Loretha bisa keluar sebagai pemenang? Ia meraih prestasi dan penghargaan nasional maupun internasional yang cukup banyak antara lain, Bidang Sains dan Keteknikan "Sorghum Bergizi, Sorghum Berduit (Academia NTT Award, 2011), Bidang Prakarsa Lestari Keanekaragaman Hayati (KEHATI AWARD, 2012), Perempuan terinspiratif bidang lingkungan (KARTINI AWARD 2012), Innovators for The Public 2013, Global Washington DC (ASHOKA AWARD, 2013), Perempuan Inspiratif Lingkungan (NOVA Award, 2014), Bidang Pengabdian Masyarakat (Anugerah Seputar Indonesia RCTI, 2015), Bidang Pendidikan (Tupperware "She Can!" Award, 2015), Nominasi perempuan penggerak pangan (Caritas Internasionalis, Roma-Italy, 2015), Perempuan pemerhati lingkungan pendidikan anak usia dini (Kementrian Kebudayaan & Pendidikan RI, 2016), Pelopor, Penggerak Sorghum dan Petani Teladan (Kementrian Pertanian HPS RI, 2016), Asian Social Impact (ASHOKA Award - Singapore, 2018), Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila bidang Social Entrepreneur (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, 2019), Anugerah Perintis lingkungan Restorasi Pesisir, Sorgum dan Cendana (oleh Direktorat KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup, 2021).
Mama Loretha telah meraih segudang prestasi, tetapi ketekunanya dalam berkebun tak pernah usai. Setiap gerak langkahnya menunjukkan kelihaian seorang petani modern yang menjanjikan perubahan. Ia hadir sebagai petani dengan berbagai inovasi yang menginspirasi banyak orang. Sesekali di sela-sela perbincangan kami Mama Loretha selalu menyinggung soal pola hidup yang ditanamkan Ayahnya dan sudah Ia hidupi sejak kecil. Semangat berladang, menyusuri hutan, berburu dan memancing rupanya telah terekam dalam alam bawah sadar yang kemudian membentuk dirinya secara utuh.
Mama Loretha mengenal sorgum untuk pertama kalinya pada bulan April tahun 2007. Saat itu seorang Ibu yang bernama Maria Helan memberinya sepiring Sorgum. "waktu itu saya diberi sepiring lolo -Sorgum atau jagung Solor atau Wata Blolon- oleh Ibu Maria Helan yang diatasnya diberi parutan kelapa. Saya makan dan saya rasa sangat enak. Lalu saya minta tambah lagi, ternyata beliau juga dapat dari kakaknya. Untuk meminta benih pun saya harus minta di kakaknya. Dari situ saya memulai ziarah Sorgum. Saya mendapatkan setengah gelas, dan itu tidak cukup untuk kebun seluas 2,5 hektar.
Pengalaman tersebut membuat Mama Loretha merasa ada sesuatu yang mendorong dirinya untuk mendapatkan benih-beni tersebut, untu kemudian dilestarikan. Tahun 2010 Ia mulai berburu benih sorgum. Benih sorgum berwarna merah ditemukan di  Nobo, Kecamatan Ilebura, Kabupaten Flores Timur.  Benih Sorgum berwarna hitam ditemukan di Desa Pajinian dan masih banyak lagi benih sorgum yang Ia temukan di berbagai pelosok NTT. Benih-benih tersebut diambil dan dibudidayakan.
Awalnya Mama Loretha tidak memiliki motivasi untuk menjadikan usahanya sebagai bisnis yang menghasilkan uang. Tujuan pertamanya adalah untuk menyelamatkan Palsma nutfah, benih-benih, keanekaragaman hayati yang ada di Bumi Flores Timur dan NTT umumnya. Kemudian ada keuntungan lain, pengetahuan yang diperoleh mengenai trend global super food. Super Food yang begitu terkenal di luar negeri ternyata selama ini sudah dikonsumsi oleh orang Flores seperti Lolo, Jali, Jewawut dan masih banyak lagi.
"Saya punya harapan ke depan, bahwa gerakan sorgum dan tanaman-tanama lokal lannya ini tidak perlu menunggu siapapun untuk menanam. Kita tidak boleh takut untuk mengangkat kearifan lokal dan hal-hal baik yang kita miliki. Mari kembali pada tradisi dan kearifan lokal kita." Demikian ungkap Mama Loretha mengakhiri pembicaraanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H