Mohon tunggu...
Maximus Ali Perajaka
Maximus Ali Perajaka Mohon Tunggu... Dosen - Dosen; Penulis

Alumnus STFK Ledalero, Maumere-Flores, Asian Social Institute Manila, Philippines, CCFA Program, Des Moines, Seattle, WA

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Komunikasi Sadar Budaya": Penting dan Niscaya (2)

3 Januari 2021   11:31 Diperbarui: 3 Januari 2021   11:55 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku 'Komunikasi Sadar Budaya - Nuansa lain Studi Komunikasi Lintas Budaya' (2020), adalah hasil olah pikir kritis dan kreatif,  putra asli Indonesia  yang  mesti diapresiasi dan disebarluaskan. Pasalnya,  selain pemabahasannya bersifat komprehensif, sebagaimana judulnya, buku ini  benar-benar memberi nuansa ang berbeda. 

Keunikan itu tentu saja karena Pater Lukas Batmomolin meramu tema komunikasi dan budaya --tema pokok buku ini--, setelah melakukan pengembaraan akademis yang panjang (1983-2000),  mulai dari Ledalero, sebuah desa terpencil di Indonesia timur, hingga ke Washington D.C., ibukota negara adidaya, AS. 

Buku ini juga merupakan buah refleksi kritis atas pengalaman pelayanannya sendiri selama 30 tahun, sejak di penerbitan Katolik di Ende, Flores,, hingga menjadi Communication Coordinator Provinsi SVD Chicago, AS,  dan menjadi  dosen tamu di berbagai forum  internasional.  

Pater Lukas membagi tulisannya atas tiga Bagian, tidak termasuk bagian Pendahuluan dan Penutup.  Pada bagian 'Pendahuluan', dia menekankan pentingnya kesadaran (saya atau kita sebagai pribadi) akan keberadaan pribadi 'yang lain'.

Pada 'Bagian Pertama: Komunikasi dan Budaya' (hal.39-176), dia mengulas secara detil mengenai awal perkembangan studi komunikasi dan budaya;  paradigma-paradima studi komunikasi dan budaya (paradigma fungsionalis atau sosial ilmiah, interpretatif, kritis, dan dialektis; dan faktor-faktor penting studi komuniasi dan budaya seperti faktor respresntatif dan konstituitif dari komunikasi, faktor budaya sebagai kata kerja dan pengertian 'budaya' yang sangat beragam; faktor diri (self) independen vs interdependen; persepsi diri, terutama aspek yang terfokus pada diri sendiri (relational self-focused), dan yang terfokus pada yang lain (relational other-focused); dan faktor bahasa.

Menurut dia, faktor bahasa misalnya, dapat berfungsi tidak hanya untuk membantu seseorang memahami kesamaan antar sesama umat manusia, melainkan juga untuk membantu kita memahami perbedaan dan keanekaragaman pemikiran dan sikap dari pribadi lain karena pengaruh budaya yang berbeda. Pemahaman semacam itu memiliki implikasi yang mendalam sehubungan dengan pengembangan kesadaran kritis tentang hubungan sosial. Memahami hubungan sosial dan cara kerja budaya lain adalah dasar dari urusan bisnis globalisasi yang sukses.

Pada 'Bagian Kedua: Memahami Perbedaan Antar Budaya' (hal.187-341), Pater Lukas mengulas secara lengkap mengenai konteks perbedaan antara budaya. Di sini, dia bahkan  secara khusus membahas perbedaan budaya berdasarkan nilai, persepsi dan pandangan dunia; orientasi nilai; orientasi manusia -- alam; orientasi waktu; orientasi aksi vs relasi. 

Selanjutnya, dia mendiskusikan mengenai perbedaan budaya menurut dimensi-dimensi nilai ala Geerzt Hostede dan catatan kritis atasnya. Yang menarik, bagian ini dilengkapi dengan ulasan mengenai kerangka konseptual pengenai perbedaan antar budaya (hal.258-341) , suatu pambahasan yang  sering diabaikan oleh para penulis buku-buku sejenis.

'Bagian Ketiga: Komunikasi Sadar Budaya' adalah  jantung dari buku ini (hal349-451). Pater Lukas mengawai bagian ini dengan mendiskusikan perihal kesadaran yang berproses menggunakan tujuh perspektif. Pertama, ia menjelaskan perspektif hermeneutika antar budaya ala Merlau-Ponty. Menurut perspektif ini, komunikasi sadar budaya melibat empat faktor penting yaitu kognisi, empati, sikap dan tindakan. Dengan demikian, komunikasi antar budaya adalah sebuah upaya yang berproses untuk menjadi pribadi yang memiliki kompetensi budaya (being) dan kemampuan untuk mewujdukannya lewat sikap dan perilaku individual (doing).

Selanjutnya ia mengemukakan perspektif  Jurgen Habermas tentang pribadi-pribadi yang berkomunikasi secara sadar (rasional) dalam mansyarakat menggunakan bahasa. Dia pun menyinggung soal empat faktor komunikasi sadar budaya menurut Richard L. Wiseman, yaitu motivasi, pengetahuan,  sikap dan tindakan.

Kemudian ia juga mendiskusikan perihal asumsi-asumsi dasar komunikasi sadar budaya yaitu resistensi, ekspektsi, kepekaan dan keterbukaan;  aspek indikatif komunikasi sadar budaya; dan model perkembangan kepekaan  budaya  yakni tahap etnosentris, dan  tahap etnorelatif; serta dialog antar budaya baik melalui diskursus budaya, maupun  pemberdayaan masyarakat (dialog sebagai ruang bersama, membangun dialog dalam budaya sendiri, dan dialog untuk memaknai pengalaman hidup kolektif).

Pater Lukas menutup bagiaan ketiga dari bukunya, dengan mendiskusikan perihal dinamika interanksi pribadi dan kelompok antar budaya. Menurut dia, dinamika perkembangan moda trasportasi dan model komunikasi yang begitu pesat dewasa ini, sangat memepengaruhi komunikasi antar budaya dalam level praktis. Hal lain yang turut mempengaruhi adalah fenomena cultural-hybrid, di mana di dalam diri satu pribadi terdapat dua atau lebih identitas budaya yang berbeda. Selain itu, ada pula dinamika yang disebut adaptasi dan akultutras.

Hal yang juga mendapat perhatian khusus Pater Lukas adalah soal indentias online. Menurut dia, identitas diri berkaitan dengan rasa nyaman dan keterbukaan berkomunikasi antara budaya. Sayangnya, kejelasan identitas kurang tercermin dalam forum komunikasi online atau medoa sosial yang kini sangat marak. Makanya, tak mengherankan apabila komunikasi sadar budaya berkembang kurang optimal dalam forum online dan media sosial.

Pada bagian 'Penutup' Pater Lukas membahas mengenai etika dalam komunikasi antar budaya. Secara ringkas dia menyatakan bahwa pada umumnya etika berkomunikasi (antar budaya) mengemban dua fungsi utama yaitu pertama, sebagai sistem yang mengatur pola perilaku individual (systemic constraint); dan kedua, sebagai sarana pemberdayaan (empowerment) individual.  Kedua fungsi itu dapat dialami pada saat yang bersamaan (hal.463-482).

Catatan Kecil

Setelah membaca buku ini, perkenankan saya membuat beberapa catatan kecil sebagai berikut:

Pertama, dari segi isi, buku ini sangat bernas relevan dengan situasi Indonesia dan tuntutan globalisasi sekarang. Oleh karena itu, sebagaimana harapan Pater Lukas sendiri, buku sangat mumpuni untuk dijadikan suplemen tektbook atau bahan ajar matakuliah Pemahaman Lintas Budaya di Perguruan Tinggi di Indonesia. Selain bernas,  buku ini saya kaya konsep dan teori mengenai komunikasi dan budaya yang  dengan nuansa baru, yang tak muncul dari buku-buku sejenis yang bereded di Indonesia.

Namun, supaya semakin relevan dengan konteks Indonesia, barangkali baik untuk edisi revisi nanti, Pater Lukas dapat memperkaya pembahasan dengan sejumlah teori dan praktik komunikasi dan kebhinekaan budaya di Indonesia. Selebihnya, Pater Lukas (berdasarkan refrensi ilmiah dan pengalaman pribadi) perlu mendiskusikan  juga kiat supaya orang Indonesia dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang yang berbudaya asing (negara dan bangsa lain).

Kedua, waktu membaca buku ini, saya tebawa pada pengalaman masa kuliah di Ledalero, ketika membaca tulisan Pater Lukas di Seri Buku Vox. Alur pembahasan dan gaya berbahasanya tak banyak berubah. Tentu saja,  secara pribadi,  hal ini  adalah sebuah kenikmatan tersendiri, sebuah nostalgia. 

Namun, tentu saja hal seperti itu tak aka bisa dirasakan oleh para pembaca di Indonesia pada umumnya, yang dalam satu dekade terakhir makin akrab dengan buku-buku yang disajikan dengan bahasa ilmiah popular. Usul saya, kalau boleh, pada edisi revisi nanti, Pater Lukas dapat  menggunakan jasa editor yang akrab dengan gaya bahasa atau selera pembaca Indonesia masa kini.

Ketiga, buku ini memang tidak dirancang secara khusus menjadi sebuah bahan ajar. Namun,  apabila Pater Lukas menghendaki agar buku dapat dijadikan bahan ajar, maka materi pembahasan perlu dipenggal dan dibagi ke dalam 14 topik pembahasan sesuai jumlah pertemuan kuliah yang lazim diterapkan di kampus-kampus di Indonesia. 

Menurut panduan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI, setiap topik pembahasan buku ajar, diawali dengan rumusan capaian pembelajaran, kompetensi yang hendak dicapai, pembahasan materi, dan ditutup dengan soal latihan atau tugas.

Selanjutnya, secara pribadi saya berpendapat bahwa buku ini  sangat penting dan niscaya atau semestinya dimiliki dan dibaca oleh masyarakat penyuka buku, khususnya para akademisi dan pemerhati bidang komunikasi dan budaya. 

Soal harganya, saya berpendapat  begini: Menimbangkan proses penulisan yang panjang dan pembahasan yang bersifat intedisipliner dan komperehensif, banderol harga yang dipatok Tokopedia.com sebesar Rp 185.000 per buku adalah sebuah takaran biaya yang rasional.

Akhirnya, kiranya ulasan yang saya kemukakan di atas, dapat menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk sebelum membeli/menggunakan buku ini. Dan, masukan kecil bagi Pater Lukas untuk membuat edisi revisinya. Terima kasih. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun