Belakangan kita disajikan dengan polemik informasi tentang pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama tentang Surat Al Maidah ayat 51. Informasi itu begitu deras mengalir seolah menyudutkan sang Gubernur yang berlatar belakang non-Muslim, terutama di media sosial.
Sangat sederhana memahami kenapa hal itu menjadi polemik di tengah masyarakat. Salah satu alasannya adalah karena saat ini adalah masa di mana pemanasan menuju pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung pada 2017 mendatang.
Namun bukan itu yang menjadi titik tolak sebuah fenomena munculnya polemik pernyataan itu. Yang menjadi persoalan adalah dangkalnya pencarian sebuah kebenaran yang saat ini tengah melanda masyarakat modern.
Atau, meminjam bahasa Haidar Bagir, masyarakat sekarang sudah terjerembab ke dalam totaliterianisme sebagai akibat dari terpinggirkannya filsafat dari sendi-sendi kehidupan.
"Enggak usah khawatir. Saya berhenti oktober 2017. Dengan program yang baik pun, bapak masih bisa panen dengan saya kalau saya tidak terpilih jadi gubernur," kata Ahok dalam sambutannya kepada warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, Selasa (27/9/2016) seperti dikutip salah satu media berbasis internet.
"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongi dengan Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak bapak-ibu," pesan Ahok kepada mereka.
Pernyataan Ahok, sapaan akrab Gubernur DKI Jakarta itu kemudian menyebar luas melalui media sosial yang kini tengah menjadi identitas kemodernan. Seolah menjustifikasi bahwa Ahok, gubernur kafir yang menistakan agama Islam melalui Alquran Surat Al Maidah ayat 51. Tentunya dengan pemahaman yang dangkal.
Dangkal di sini, baik dalam artian memahami pernyataan Ahok, ataupun dangkal memahami dan meyakini tafsir dari Surat Al Maidah ayat 51.
Berangkat dari polemik itu, era digital yang tengah berjalan saat ini merupakan sebuah keniscayaan dari modernitas. Sementara modernitas adalah suatu masa yang dilalui masyarakat saat ini. Masyarakat modern menuntut sesuatu berjalan cepat, mudah, dan singkat. Pada akhirnya muncul dunia digital yang dianggap mampu menjawab persoalan-persoalan itu.
Para pakar psikolog menyebut modernisasi memunculkan paradigma baru yang cenderung pragmatis dan materialistis. Hal itu telah menipiskan standar kultural dan religius menjadi gaya hidup yang lebih praktis dan rasionalis.
Meskipun kehidupan modern memberikan banyak kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, apakah di era modernitas ini manusia sebagai “Hayawan Naatiq” dapat semakin andal mengendalikan sisi hewaninya?
“Kita pun melihat betapa kemanusiaan sekarang seperti kehilangan kontrol atas kekuatan-kekuatan historik yang mempermainkannya tanpa mampu berbuat banyak untuk mengarahkannya. Sejarah pun menjadi semacam gergasi besar yang menhgantam kemanusiaan dari segala arah hingga ia babak belur dibuatnya. Timbullah kebingungan dan keputusasaan di mana-mana. Kalau tidak cukup intelijen untuk memilih lari ke suatu “relativisme saintifik”, akhirnya kelompok-kelompok manusia yang tak sabar dan tak punya stamina cukup ini memilih untuk mengikatkan diri ke dalam berbagai macam totaliterianisme, baik politik maupun keagamaan-entah itu fundamentalisme atau paguyuban-paguyuban mistikal yang menjanjikan kepastian-kepastian secara gampang.” (Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam).
Pendeknya, filsafat seharusnya mampu menjawab persoalan modernitas dan memberikan pengaruh sebelum kelompok-kelompok manusia yang tak memiliki stamina yang cukup tadi, menjatuhkan pilihan terhadap berbagai totaliterianisme.
Atau justru sebaliknya, pelaku-pelaku industri (politik, ekonomi) memanfaatkan fenomena modernisasi yang cenderung membentuk masyarakat pragmatis dan materialistis untuk mengambil keuntungan. Sehingga modernitas hanya memperkaya sebagian kecil pihak, sementara kelompok yang tak memiliki stamina tadi tetap pada kebingungan mereka. Di mana keadilan?
Filsafat, lebih jauh lagi filsafat Islam harusnya mampu menjawab keniscayaan modenitas dalam konteks gejolak yang ada di tengah masyarakat. Pemahaman filosof muslim ribuan tahun lalu baik tentang teori esensi dan eksistensi hingga teori Wujud dalam Hikmah Muta’aliyah yang ditutup oleh Mulla Sadra, harusnya bisa menjelma dan menjawab tantangan modernitas.
Di tahun 2000-an Tasawuf nyaris menjadi jawaban atas permasalahan modernitas yang tengah melanda saat itu. Di mana dunia digital belum bergerak terlalu masif. Bahkan, mesin pencari informasi di dunia maya (search engine) masih diduduki oleh Altavista sebelum akhirnya tergusur oleh raksasa dunia maya Google.
Haidar Bagir dalam bukunya “Buku Saku Tasawuf Positif” menyertakan sejumlah data, salah satunya jejak pendapat yang diadakan oleh BBC pada 20 April 1998 menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat barat masih membutuhkan agama.
Namun, apakah data itu masih relevan dengan fenomena digital yang saat ini sedang menjadi identitas masyarakat modern? Belum lagi, ditambah fenomena ISIS, Arab Spring, konflik Suriah yang mana memaksa kelompok-kelompok yang tak memiliki stamina tadi kemudian terjerumus ke dalam totaliterianisme.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI