Mohon tunggu...
Mawin Asif
Mawin Asif Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis apa yang terlintas, apa saja. Baik yang sepintas lewati nurani maupun membentuk lintasan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Bangsa Agak Beda

1 April 2023   20:58 Diperbarui: 1 April 2023   21:00 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar viral marak terjadi karena estafet media - media masyarakat yang berasal dari kiriman seseorang atau sebaliknya. Beberapa orang menjadi terkenal karena kreativitas, motivasi dan kelucuan. Kategori lain masih menjadi perdebatan netizen terkait baik buruknya. 

Respon orang tentang sesuatu, memang punya tingkat emosional berbeda - beda. Apalagi jika sudah mengemban kepentingan laten berkedok pribadi. Sangatlah sensitif pada konten - konten berisi kritikan atau lelucon yang belum pasti ditujukan ke golongan mudah baper tersebut. Bisa - bisa petani membabat rumput, disangka mengikuti suatu golongan karena barang yang dibawanya. 

Mahasiswa disangka memilih salah satu paslon karena mengacungkan tangan saat diabsen namanya oleh sang dosen atau anak kecil yang bermain tembak - tembakan dengan imajinasi jari berbentuk pistol. Sampai undangan pernikahan dari sanak saudara dicurigai merupakan berita hoax. Dan juga emak - emak naik motor belok kiri, gak sengaja sein kanan distempel kapitalis. Sedikit - sedikit gak viral, bukan di Indonesia namanya.

Tapi tentu bukan berkaitan dengan sila ke - 3 dari Pancasila, lantas seluruh pelosok Indonesia bersatu untuk memviralkan sesuatu. Melainkan disebabkan respon masyarakat Indonesia berlabel netizen yang tingkat sensitivitasnya melebihi perempuan yang sedang halangan. 

Respon tersebut bisa berupa mengomentari cuitan atau postingan, mengetag pelaku yang sedang tersohor, menyangkutkan hal tersebut dengan masalah pribadi pelaku, dan keunikan - keunikan untuk mengimplementasikan sisa mulut ke dalam tulisan. 

Dibilang apes juga bisa, seiris dari ragam netizen menjadi tersangka. Karena tak sengaja dibaca oleh pelaku dengan laporan dugaan penghinaan. Padahal masih banyak komentar lain yang dinilai lebih pedas. Mungkin balak untuk netizen tersebut sudah mode on. Hukum telah menggagalkan keberuntungan mereka hari ini buat lolos dari kebebasan berpendapat. 

Semoga saja Indonesia bukan negara dengan kritik negatif terbanyak karena masyarakatnya. Mari kita mulai bersama belajar memposisikan antara kritis dan celaan. Seperti membedakan mana yang hak dan mana yang bathil.

Berlanjut pada instagramable menurut hemat arti. Kata tersebut bisa dimakna foto atau video yang pantas untuk dipublikasikan oleh pemilik akun. Namun banyak pengguna Instagram menggunakan arti dari instragamable lebih ke rekomendasi - rekomendasi tempat menarik untuk didatangi. Tanpa menaruh kelayakan yang mereka lakukan. Para masyarakat berbagai kalangan, lebih tertarik mengejar keviralan diri mereka dengan menghalalkan segala tingkah. 

Demi meraup like dan komentar banyak, ada yang memposting konten nakal tanpa akal, berbahaya dan keterlaluan. Seperti video kanibal sabun, ahli gampar spion, prank - prank asusila, orang tua mandi tengah malam dan masih banyak konten foto atau video lain yang menjadi netizen geram untuk menorehkan perasaan dari sisa mulutnya.

Negara kita sudah terbawa globalisasi teknologi yang konstan menyeret gaya hidup manusia. Jangan sampai norma budaya di masing - masing daerah juga ikut berubah karena ada benalu dari budaya baru yang masuk. 

Sensitivitas bangsa Indonesia bisa digunakan sebagai senjata pamungkas, jika sifat tersebut ditempatkan pada waktu yang tepat. Contohnya saat merespon hal - hal yang akan menggeser budaya kita mengenai tata krama, etika dan nilai - nilai dalam berperilaku. 

Seyogianya lebih memviralkan budaya yang kita miliki secara kompak, ketimbang konten tidak jelas yang hanya untuk dipermalukan publik. Mungkin banyak yang belum tau, Ponorogo kemarin memecahkan rekor muri dengan penari jathil terbanyak. Sebanyak 2062 perempuan menari dengan kostum seragam demi melestarikan budaya dalam acara "Gebyar 2019 Penari Jathil".  Apakah respon netizen secepat menanggapi perkara yang negatif ? Ataukah rekor tersebut hanya berlalu begitu saja?
Dari hal itu, bangsa kita perlu banyak - banyak menyadari sekaligus instrospeksi diri terkait jati diri yang mulai terkikis.

Milennial ini, banyak orang menuangkan gagasannya pada cuitan atau postingan pada teras akun media mereka. Seuntai kalimat subversif untuk menghembuskan uneg - uneg di hatinya, mengkiaskan kitab suci dengan sesuai imajinasi yang terlintas otak, membicarakan orang lain sedang dia tidak berdamai dengan diri sendiri, dan jenis cuitan lain yang mengundang sensitivitas masyarakat yang sedang lemas - lemasnya. 

Sehingga dampaknya, tidak sedikit dari tataran masyarakat bawah hingga sekelas tokoh saling lapor - melapor. Undang - undang itu kan untuk batasan masyarakat agar tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Lah, sekarang malah dirasa lebih sebagai batasan perasaan personal atau golongan yang ingin dilindungi dalam naungan hukum. Jadi repot kalo buat masyarakat atau tokoh gampang emosi yang sedikit - sedikit lapor, kasihan penjaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun